Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie Pilihan

Klepon Discorea with Dates

28 April 2023   18:12 Diperbarui: 28 April 2023   18:30 569 4
Menu ke sebelas  dalam seri "Lek Lek Ngayogyakarta"

Yang ini serius. Setelah tak kalkulasi, setahun ini kuantitas konsumsi berasku menurun drastis dibanding sebelum-sebelumnya. Penyebabnya tentu karena sudah sepuluh tahun lebih aku tidak pernah beli beras. Jadi, selama itu aku hanya makan nasi bila ada beras di rumah, entah dari mana datangnya.

Ilmu ini jangan ditiru. Kalau maksa, lakunya berat. Bukan. Bukan puasa atau tirakat. Tapi seperti leluhurku Eyang Joko Tarub, njenengan harus mengendap-endap mencuri selendang seorang bidadari yang lagi mandi di kali kalau mau terbebas dari tugas beli beras.

Itu mustahil. Pertama, sekarang ini sulit ketemu bidadari, apalagi yang mandinya trathakan turut kali. Kalau di spa mungkin masih ada. Tapi di sana dijaga satpam. Resikonya, njenengan konangan atau kalah dulu sama satpam.

Ke dua,  kalau toh nasib njenengan semujur itu, aku tak yakin njenengan memilih curi selendang. View di pinggir kali itu jelas bakal lebih menyita perhatian. Ngaku sajalah.

Tapi frankly, tahun ini memang tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Dinda Nawang Wulan kerap telat mengisi cepon wadah beras di rumah. Untungnya negeriku dianugerahi Tuhan kesuburan tiada tara. Tak ada beras, Taro tersedia gratis di mana-mana.

Sayangnya, keseringan makan keluarga caladium itu menjemukan juga. Padahal sudah berinovasi berbagai cara; direbus, digoreng, dibakar, digethuk, dibikin perkedel, jenang geol... rasanya kok ya tetap keladi-keladi juga. Apa ya jalan keluarnya?

Berulang kali aku menyinggung-nyinggung soal Pak Syahrul Yasin Limpo, Mentri Pertanian dan gimick-gimick yang ditebarnya seolah sebagai prestasi kerja. Ini tentu berhubungan dengan iklan swasembada beras yang hanya melimpah di kanal-kanal berita dan reklame menggiurkan lumbung pangan (food estate, begitu bahasanya) yang setali tiga uang di dunia nyata. Kalau Pak Mentri ndak terima, oke, aku tunjuk hidung bossmu saja. Sisan, kadung teles.

Ndak kok. Mohon ijin Pak Mentri, Pak Presiden. Yang salah sebenarnya ya aku ini. Ngapain juga kecanduan beras. Wong nyatanya aku sehat wal afiat, waras fisik dan mental, walau konsumsi berasku turun 60%. Maka kucabut hujatanku tadi. Tapi tolong dong, bantu aku mikir, selain Taro, sumber karbohidrat apa lagi yang kiranya gampang didapat? Sebab kalau aku bosan, apalagi lapar, cangkemku bunyinya suka nggak karuan.

Dulu sih, selagi aku SD kelas I dan tinggal di Jogja, soal begini gampang jawabnya. Selain tiap bulan dapat sumbangan 2,5 kg. Bulgur dari Amerika, di kebon banyak sumber karbohidrat substituen yang inuk-inuk. Ada Gayam (Inocarpus fagiver), ada keluarga keladi (Talas dan Taro), Ganyong (Canna discolor), Gadung (Discorea hispida) dan keluarga besarnya termasuk Mbili (D. esculenta) dan Uwi (D. alata).

Uwi sendiri banyak sekali varietasnya, ada Uwi Ireng (hitam), Uwi Bang (merah), Uwi Alas, Uwi Ula, Uwi Randhu, Uwi Rondha Saluku... buanyak! Dan favoritku tentu saja Uwi Cicing.

Layaknya keluarga Discoreaceae, Uwi Cicing adalah tanaman menjalar dengan batang rambat berbentuk persegi. Umbinya besar berkulit coklat tapi dagingnya berwarna ungu. Itu sebabnya Uwi ini sering juga dinamai Uwi Ungu. Rasanya inuk tenan. Dan garansi seribu persen mengenyangkan.

Pada batang rambatnya yang menjalar ke mana-mana, bahkan bisa melilit rapat pohon kelor besar sekalipun, muncul bunga dan umbi gantung bulat kecil-kecil. Paling besar cuma sekepalan tanganku. Warna kulit umbi gantung ini pun coklat, dagingnya putih berlendir. Umbi gantung inilah yang namanya Cicing.

Kalau Mbokde Ngatmo lagi ngobong uwuh organik di jugangan, aku suka metik Cicing untuk dilempar ke kobaran api. Nanti, kalau api sudah padam, tinggal korek-korek abunya dengan carang untuk menemukan kembali Cicing-Cicing hangus yang siap dimakan. Awas, kalau lendirnya belum benar kering terbakar, biar tetap pulen rada gurih, lehermu bisa gatal.

Pakde Ngatmo suka marah kalau aku ketahuan mbakar Cicing.

"Cicing kok dipangan. Koyo enak-enako. Mbok ora nggragas to le.. le."

Makanya, biar njenengan tidak ikut dikatai nggragas (padan kata dalam Bahasa untuk kata ini belum ada, ada juga definisinya yang panjang, yakni "suka memakan yang tidak layak dimakan". Sedang "rakus" lebih tepat dipadankan dengan "dokoh" atau "belan", bukan "nggragas") dan diomeli Pakde, njenengan seyogyanya makan umbi pendam (nah, ini diksi baru yang pantas untuk lawan kata umbi gantung. Jangan dipikir yang namanya umbi pasti terpendam, emangnya harta Qorun? Bener lho, wong Manding bahkan menamai "pepaya" dengan "tela gantung", ubi dibilangnya "tela pendem")-nya saja yang ungu dan mempur. Sekaligus, demi mengurangi impor beras, njenengan tak ajari cara masaknya yang paling shopisticated.

Sabar. Sebentar. Janji ya, setelah nanti sadar bahwa negeri kita kaya sumber karbohidrat, njenengan seyogyanya kurangi konsumsi beras. Soalnya apapun alasannya, aku punya firasat kita tak akan pernah lagi mampu swasembada beras. Lha wong sawah makin susut diganti perumahan, petani-petani yang tersisa mungkin generasi terakhir. Anak-anaknya lebih suka kerja di kota, atau jadi bintang TikTok.

Tenin, kalu melihat perjalanan kita bersama sebagai satu nusa satu bangsa satu bahasa sampai hari ini, dan isi kepala calon-calon sopir kita setidaknya satu dasawarsa ke depan, aku berani taruhan paket data sepuluh giga, kita akan makin tergantung pada beras import. Maka, daripada banyak dalih dan saling hujat, sudahlah, apa ruginya sih jadi pemangsa umbi-umbian lagi? Gengsi?

"Yo nek ra oleh mangan Cicing, aku bedhulno Uwi." Jadi sodara, sebenarnya mbakari Cicing itu hanya trik kecil untuk membidik target yang lebih besar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun