Mohon tunggu...
KOMENTAR
Diary Pilihan

Kembar

9 Maret 2023   18:03 Diperbarui: 9 Maret 2023   18:33 316 1
Asbabun nuzulnya, pada suatu ketika sebutir sel telur si Mamak bertemu dua sel sperma juara milik Pa'e. Sel telur itu membelah, masing-masing tumbuh menjadi dua zigot tapi tetap disebut monozigotik karena berasal dari satu sel telur.

Zigot-zigot itu berkembang menjadi dua janin yang tumbuh dalam dua kantung amnion (ketuban), yang terhubung oleh satu plasenta sebagai suplier nutrisi. Sah, dokter di RS. Ciputat, Tangerang menjatuhkan vonis: si Mamak hamil janin  kembar identik. Sembilan bulan masa penantian dilewati dengan fokus menjaga kesehatan kandungan si Mamak.

Pragmatis, dipilihlah klinik bersalin yang dikelola seorang bidan di komplek perumahan Permata Pamulang, Tangerang Selatan sebagai fasilitas persalinan. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumah kontrakan si Emak dan Pa'e.

"Maaf, Pak, bukan saya tidak mau membantu, tapi sebaiknya Ibu melahirkan di rimah sakit saja." Waktu pertama konsultasi ke bu bidan (seminggu sebelum B-day), beliau terlihat gugup dan memberi rekomendasi yang tak diharap.

"Kami rajin kontrol dan konsultasi ke dokter, Bu. Dokter bilang kondisi istri saya dan kandungannya baik-baik saja. Dokter mengijinkan kami memilih fasilitas persalinan terdekat," Pa'e kekeuh.

"Ehm.. anu, Pak.., terus terang saja saya belum pernah menangani persalinan bayi kembar," akhirnya bu bidan mengaku.

Terjadilah diskusi panjang. Tepatnya, Pa'e yang berlagak tawakal mencoba membesarkan hati bu bidan agar bersedia membantu persalinan si Mamak. "Kita berserah pada Tuhan saja, bu. Kita berusaha saja semaksimal mungkin. Bukankah ini kesempatan yang mungkin diberikan Gusti Allah pada bu bidan untuk pertama kalinya menangani persalinan kembar?"

Akhirnya, "Baiklah, bismillah. Saya minta bapak bersedia menandatangani dokumen-dokumen yang diperlukan."

14 Februari, 14.00 wib., empat belas tahun lalu. Si Mamak yang merasakan kontraksi hebat jalan kaki ke klinik mungil itu. Sebelum masuk, ia sempat beli semangkuk mie ayam. Lapar, katanya. Pa'e masih ngantor.

Pulang kantor jelang maghrib, Pa'e disambut Rinjani (9) putri sulungnya. "Pak, adek mau lahir."

"Lho, Mamak mana?"

"Udah di bu bidan. Tadi Lilin pulang sekolah rumah kosong. Trus Lilin nyari Mamak ke klinik. Bener, Mamak di sana. Adek udah mau lahir, tapi kata Mamak nunggu Pa'e pulang," celoteh Rinjani.

"Kok nggak telpon sih? Ya udah, yuk kita ke sana."

Kembar adalah anak ke tiga (dan empat?). Tapi baru kali ini Pa'e bisa mendampingi Mamak melahirkan. Senewen? Pasti.

Lilin lahir di klinik bersalin di Wonosobo waktu Pa'e lagi ngider menjaja narkoba (maaf pembaca, tapi begitulah romantika keluarga ini). Damar lahir di sebuah RS di Salatiga ditunggui tante Teresia sementara Pa'e tak bisa cuti kerja di sebuah yayasan di Jakarta.

21.00, tangis bayi itu pecah. Pa'e yang ada di kamar sebelah (bu bidan minta si Mamak tidak usah ditunggui, biar bisa full konsentrasi. Si Mamak bilang, "Udah sana, santai saja. Trust me.") membisik alhamdulillah. Mana tangis ke dua?

Lima menit itu terasa sepanjang masa. Kawan-kawannya dari Generasi Seniman Jalanan, Bulungan, Jakarta Selatan, yang ikut menemani mencoba menenangkan Pa'e. "Pak, katanya kembar, kok yang nangis cuma satu?" dahi Lilin berkernyit, mikir. Mijn God...

Lalu tangis ke dua, yang sangat lirih itu terdengar. Pa'e langsung terbang ke kamar bersalin, nyaris nabrak bu bidan.

"Tenang, Pak. Tuh udah lahir semua, selamat. Silahkan kalau mau diadzani," ujar bu bidan. Wajahnya terlihat sangat lelah, tapi senyumnya begitu rekah.

Si Mamak tergolek lemah di pembaringan. Tersenyum pada Pa'e. "Tadi diinduksi, sakitnya minta ampun."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun