Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Integral Accident di Era Disrupsi Informasi

7 Januari 2023   19:25 Diperbarui: 7 Januari 2023   19:29 296 1
Satu lagi koran mati. Harian Republika, koran yang punya "hubungan gelap" dengan Wimar, wartawan kita, berhenti cetak di penghujung 2022.

"Apapun stigma yang disematkan pada Republika, orang-orang di balik koran itu yang mendidik dan membimbing saya dalam dunia kepenulisan. Pak Parni, Bang Asro, Nasihin, allahyarham Danarto...

"Terutama almarhum Mas Hadi Mustofa Djuraid yang kemudian sempat jadi produser di salah satu stasiun tv berita, lalu staf ahli bidang komunikasi Ignatius Jonan sewaktu menjabat menteri.

"Beliau adalah mentor langsung saya ketika pada entah berapa banyak malam penuh warna dulu kami menunggui tungku dapur pemberitaan beberapa media cetak. Jadi, ijinkan saya berduka, Gus," lirih Wimar menutur rasa yang memburam roman mukanya.

"Satu lagi koran mati. Koran yang memberangus ratusan week end saya dengan diksi, struktur, unity, balance, harmoni, proporsi, ritma... hingga printilan-printilan elementer semisal ejaan dan tanda baca, majas dan kosa kata. Koran yang menyita waktu tidur saya dengan tenggat, tenggat, dan tenggat..."

"Dik Wim, semoga bincang-bincang kita kali  bisa menghiburmu sekaligus menjadi semacam peringatan dini buat semua. Maksudku, mari kita telaah sudut pandang filsuf Prancis Paul Virilio dengan teori Dromologi dan Integral Accident-nya (Speed and Politic, an Essay on Dromologi, ibid; Semiotext, 1986).

"Dari perspektif itu, mudah-mudahan kita lebih bisa memahami mengapa Republika harus undur dari spektrum media massa cetak, dan apa yang bisa kita buat di era digital ini," Gus Memet, seperti biasa, selalu adem. Tidak grusa-grusu.

"Dromologi?"

"Ya, bahasa Yunani yang berakar pada kata dromos (perlombaan) dan logos (semesta pemikiran) yang bisa diterjemahkan menjadi logika kecepatan. Itulah, menurut Virilio, marwah peradaban di era post modernisme sekarang ini.

"Struktur tarikhiyah-nya kira-kira begini: bila di masa awal modernisme yang menjadi marwah peradaban adalah produksi dan di babak akhirnya yang menjadi elan vital adalah konsumsi, maka di jaman pasca modern ini mode utama peradaban adalah kecepatan. Itu berlaku juga di ranah jurnalistik, tentu saja.

"Mengenai produksi dan konsumsi, silakan Dik Wim elaborasi terpisah. Kita loncat saja ke speed logic, menyesuaikan dengan ruang dan  masa yang sedang kita manfaatkan."

"Maksudnya, tidak pas untuk sebuah konten user generate blog, ya, Gus?" potong Wimar.

Gus Memet nyengir, "Mungkin. Dan kalau memang iya, Dik Wim akan bertemu alasannya dalam logika kecepatan. Tapi sebelum itu, ada baiknya kita bahas dulu soal integral accident."

"Siap yang mulia."

"Mahfum, perkembangan peradaban manusia tak lepas dari wasilahnya yang juga terus mengalami pemuliaan (avan garde) yakni teknologi. Akan tetapi, demikian Virilio, setiap pemuliaan teknologi yang mendukung peradaban sekaligus mengandung potensi-potensi tak terencana (aksidental) yang bersifat mafsadat (akibat negatif) alih-alih manfaat.

"Analogi sederhananya, tidak akan terjadi kecelakaan lalu lintas (mafsadat) bila teknologi tidak melahirkan kendaraan sebagai pemuliaan transportasi (manfaat). Listrik dalam kapasitas besar dan lebih murah tersedia, tapi kebocoran reaktor Chernobyl dan luluh lantaknya Nagasaki dan Hiroshima juga tercatat dalam sejarah nuklir."

"Make sense. Kata-kata sampean, walau sama berat maknanya, lebih mudah dipahami ketimbang ocehan Si John," gumam Wimar.

Gus Memet menghela nafas sedang. Ah, John... where the hell are you?

"Ok, Gus, saya mulai bisa terima ketika Republika, yang berbasis cetak, suatu perangkat teknologi yang di masanya sempat jadi pemicu revolusi, harus mati. Anggap saja itu integral accident walau pemaknaan ini tidak sepresisi yang Gus maksud. Lantas, hubungannya dengan dromologi tadi pripun?" Wimar menepis suasana yang mulai baper.

"Kita mundur sedikit. Ketika teknologi menghadirkan pemuliaan kapasitas peradaban, pada masa itu, let's say pada rentang abad 15 sampai abad 17, kemampuan berproduksi, menghasilkan pemenuhan kebutuhan (needs maupun wants, primer juga sekunder bahkan tersier) menjadi mode peradaban. Mark bilang, siapa menguasai mesin-mesin produksi, dia menguasai peradaban.

"Lalu mode itu bergeser memasuki abad 18-19 dari produksi menjadi konsumsi. Kuasa atas peradaban bukan lagi dicirikan kemampuan berproduksi, tapi tingkat konsumsi. Cogito ergo sum-nya Descrates terpeleset jadi I am what I consume.

"Value telah bergeser, Dik Wim bukan lagi dikenali dari apa yang Dik Wim pikirkan, ucapkan, tindakkan, hasilkan. Dik Wim lebih dikenali dari yang Dik Wim makan, kenakan, gunakan, miliki. Wimar yang mengendarai Honda Revo bukan Wimar yang menyetir Honda CRV, kira-kira begitu.

"Nah, memasuki abad 20, mode itu bergeser lagi menjadi seberapa cepat, siapa duluan, yang mengakses konsumsi. Jenis dan kualitas barang konsumsinya tak penting lagi, yang utama adalaha seberapa cepat Dik Wim mendapatkannya. Contoh-contohnya bertebaran hampir di semua lini kehidupan; transportasi, konsumsi itu sendiri, pendidikan, dan sebagainya.

"Contoh yang terakhir itu bisa dilihat dari menjamurnya kursus-kursus kilat; jadi start-up setelah pelatihan sehari atau auto tajir dengan memelihara robot trading.

"Ini berlaku juga dalam akses terhadap informasi. Terjadilah kemudian apa yang kita kenal sebagai disrupsi informasi digital.

"Di ruang yang kita gunakan ini saja, setiap detik bermunculan narasi-narasi baru yang disodorkan ke publik. Beragam perspektif antri berjejal hanya untuk mampir sekilas lalu dilupakan. Aku dulu membaca Aku-nya Chairil Anwar dan lekat di benak sampai sekarang. Sekarang ribuan puisi tersaji, mengundang, memancing reaksi spontan, lalu pergi begitu saja sebagai noktah jejak digital.

"Di kanal audio visual, pilihan tidak lagi ditentukan atas bobot pemberitaan maupun kredibilitas penyampainya. Tapi sudah lewat berapa lama berita itu disajikan. Konten real time, yang kualitasnya gambling karena menafikan filter dan editing, lebih memancing akses ketimbang konten terkemas rapi jali yang bertarikh 3 days ago apalagi 3 years ago.

"Dik Wim akan dominan dalam perbincangan mengenai film bila rela berlangganan Netflix dan berkesempatan nonton film tayang perdana. Atau Dik Wim jatuh dalam strata submissiv bila menunggu film yang sama lepas masa royaltinya.

"Di tivi.., ah sudahlah..," sesaat Gus Memet tersesat dalam kegamangan. Lalu...

"Lagi-lagi, pergeseran mode peradaban ini juga difasilitasi oleh pemuliaan teknologi. Sementara di dalam setiap pemuliaan teknologi terdapat integral accident yang dalam hal media massa adalah kualitas pemberitaan. Itu sebabnya, hoax sekalipun laku keras.

"Dik Wim, karena pensiun, telah kehilangan masa-masa romantis melakukan cover both side, editing (bahkan sekarang audience benci editing, lebih suka yang vulgar), preferencing dan mata rantai proses pemberitaan lain yang panjang. Semua harus dipangkas demi kecepatan agar kompatibel dengan transmiternya yakni teknologi digital.

"Nah, sebagaimana barisan media cetak besar kecil, merah, hijau, kuning, biru... yang duluan mati, Republika harus menjemput ajal ketika berbenturan dengan integral accident dalam teknologi informasi. Jadi, tudingan berbau politik identitas soal berhenti cetaknya Republika bisa kita tepiskan. Apalagi sebenarnya mereka hanya boyong ke platform digital mengikuti kehendak peradaban."

"Uf.., lega saya, Gus. Tapi ketika transformasi ke media digital yang menjadi platform peradaban ini terjadi, apaka mereka juga akan kehilangan integritas demi memenuhi mode kecepatan?"

"Wallahua'lam, Dik. Pergeseran demi pergeseran mode peradaban yang mengalami percepatan ini bisa jadi merupakan sunatullah. Sekarang saja, gejala runtuhnya bangunan sosial mulai terasa. Kasus kematian keluarga Kalideres misalnya.

"Lantas, apa yang harus dilakukan untuk setidaknya meminimalisir potensi integral accident yang fatal? Sefatal perang global, bencana alam, atau yang paling mungkin terjadi adalah dehumanisasi? Banyak ilmuwan dan kaum bijak coba menjawab. Salah satunya bisa kita temukan dalam etika masa depannya Hans Jonas.

"Tapi menurutku, pembacaan Hans Jonas walau dilabeli etika masa depan, tak lebih dari konservatifisme. Dari jejak panjang peradaban, konservatifisme terbukti tidak mampu menghentikan sama sekali laju pemuliaan peradaban, including manfaat dan mafsadatnya. Yang ada, ia hanya rem untuk memelankan gerak apocaliptik peradaban umat manusia. Menjaga jarak sebisa mungkin dari ujung perjalanan.

"Maka, bagaimana kita bersikap, adalah value utamanya. Apakah kebijaksanaan jadul Sunan Kalijaga "angeli nanging datan keli" masih cukup ampuh dijadikan pegangan, ataukah "yen ora ngedan ora keduman"-nya Ronggowarsito yang lebih dominan, di situlah letak makna eksistensi kita.

"Itulah yang menentukan merah biru perbincangan, dongeng, info, kritik... warna literasi macam apa yang hendak kita bagikan di ruang ini. Sama sama bicara soal bola misalnya, Dik Wim boleh terhanyut mengumbar kata memuja Leo Messi dan riuh rendah Piala Dunia.

"Sedang di saat yang sama, mengadvokasi, misalnya dengan mengintroduksi class action dalam tragedi Kanjuruhan pun satu pilihan sudut pandang. Pilihan ke dua itu apa boleh buat, memang mengarah ke jalan sunyi lagi -mungkin- sesat karena menyimpangi pengendali platform ini yang memilih Qatar, bukan Malang, sebagai kiblat.

"Aku, Si John apalagi, punya stand point sendiri di tengah disrupsi ini. Tapi ya, sekonservatif apapun, Dik Wimar bisa lihat akupun harus memenggali banyak kesatuan pokok pikiran menhadi paragraf-paragraf pendek dua hingga tiga kalimat. Aku pun keli, hanyut, terbawa arus walau tak patah arang terus berenang melawan...

"Hidup, proses, masih terus berlangsung. Perang ini tak berujung. Dan kalau boleh, mari kita dengar kata Eminem," I tried so hard, and get so far. But in the end, it doesn't even matter." (GM)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun