Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Pilihan

Akankah LNG Indonesia Terguncang?

15 Maret 2015   06:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:39 411 17
[caption id="" align="aligncenter" width="539" caption="Kapal Platform supply vessel (PSV) berbasis LNG (wartsila.com)"][/caption]

Dari saat ini sampai sekitar lima - sepuluh tahun ke depan, dapat dipastikan akan terjadi ‘riak’ lonjakan permintaan dunia akan gas alam cair atau liquefied natural gas yang sering disingkat sebagai LNG dari sektor angkutan laut. “Biang keladi” dari potensi lonjakan ini adalah rencana Organisasi Maritim Internasional (IMO) untuk membatasi kandungan belerang (sulfur) dari bahan bakar kapal yang tertuang dalam Annex VI MARPOL (Konvensi Internasional untuk Membatasi Polusi dari Kapal-Kapal).

Per 1 Januari tahun ini, konvensi ini telah menurunkan batas maksimal kandungan belerang bahan bakar kapal-kapal di perairan laut Baltik, Laut Utara, laut Amerika Utara dan Karibia yang tergabung dalam ECA atau Emission Control Zone dari 1% menjadi 0,1%. Konvensi yang sama juga akan membatasi kandungan sulfur maksimal bahan bakar kapal-kapal di perairan seluruh dunia di luar ECA dari 3,5% menjadi 0,5% yang penerapannya akan dimulai paling cepat tahun 2020 dan paling lambat tahun 2025, menunggu hasil studi IMO yang dijadwalkan diterbitkan pada tahun 2018 tentang ketersediaan bahan bakar kapal rendah sulfur di dunia pelayaran.

Bahan bakar kapal yang lazim digunakan di pelayaran dunia saat ini yaitu bunker fuel yang sering disingkat sebagai HFO atau heavy fuel oil memiliki kadar sulfur yang pada umumnya di atas 0,5%. Akibat penerapan Annex VI MARPOL, saat ini HFO tidak dapat lagi digunakan di daerah-daerah perairan ECA dan mulai 2020-2025 HFO tidak dapat lagi dipergunakan dalam pelayaran di manapun di seluruh dunia. Kandungan belerang yang tinggi pada HFO menyebabkan terjadinya emisi gas belerang dioksida atau SO2 dalam pelayaran yang membahayakan manusia dan lingkungan.

LNG adalah salah satu alternatif bahan bakar kapal dengan kadar belerang yang sangat rendah (0,004%) yang dapat dipakai untuk memenuhi kriteria konvensi . Dua opsi lainnya adalah menggunakan MDO (marine diesel oil) atau menginstal water scrubber pada kapal konvensional berbahan bakar HFO.

Meskipun muncul belakangan sebagai bahan bakar angkutan laut, penggunaan LNG justru memiliki potensi untuk menjadi solusi jangka panjang. Selain rendahnya kadar belerang, minimum ada empat keunggulan bahan bakar LNG. Pertama, teknologi mesin kapal berbasis LNG relatif sudah matang. Kedua, emisi CO2 yang dikeluarkan mesin kapal berbasis LNG lebih rendah 10% sampai 20% dibandingkan kapal berbahan bakar HFO atau MDO. Ketiga, mesin kapal berbasis LNG memerlukan pemeliharaan yang lebih sedikit dibandikan mesin berbasis HFO atau MDO. Dan keempat, dengan asumsi bahwa harga gas alam akan selalu di-indeksasi berdasarkan harga minyak, penggunaan LNG secara ekonomi hampir akan selalu lebih menguntungkan dibanding dua opsi lainnya.

Berapa banyak LNG akan dibutuhkan oleh sektor angkutan laut?

Dari begitu banyak kajian terkait dengan permintaan akan LNG di masa mendatang, ada skenario menengah yang dapat kita kutip dari DNV (2013) yang memprediksi bahwa permintaan akan LNG akan mencapai antara 4 sampai 7 juta ton di tahun 2020 yang akan datang dan skenario tinggi (Semolinos et al., 2011) yang memperkirakan bahwa permintaan akan mencapai 10 juta ton di tahun yang sama.

Bukan sekedar “riak”…

Besarnya kebutuhan tambahan akan LNG akibat konvensi MARPOL di atas memang pantas disebut sebagai “riak” bagi industri hulu LNG karena sepintas lalu besarnya permintaan ini “hanyalah” sekitar 1,5% sampai 3,5% dari total pasokan LNG di seluruh dunia pada tahun 2013 (Weitzner, 2013). Sekitar seperempat dari kebutuhan di atas, yaitu antara 1 sampai 2,5 juta ton LNG pada tahun 2020 akan diserap oleh angkutan laut di kawasan Asia Tenggara.

Seberapa besar “riak” ini akan mempengaruhi industri hulu LNG Indonesia?

Sebagai negara kepulauan di mana membangun pipa antar pulau sangat sukar dilakukan, mengangkut dan mendistribusikan gas alam dalam bentuk LNG adalah pilihan yang paling ekonomis. Indonesia bersama Brunei dan Malaysia adalah pengekspor LNG terbesar di Asia. Dengan tiga lapangan gas yaitu Tangguh, Bontang dan Arun, Indonesia sempat memiliki total kapasitas produksi sebesar 45 bcm atau 32 juta ton LNG per tahun dan sempat tercatat sebagai negara pengekspor LNG peringkat kelima di dunia pada tahun 2012 yang lalu.

Meskipun demikian, Badan energi internasional /IEA (2014) memperkirakan bahwa di tahun-tahun mendatang ekspor LNG Indonesia akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan tidak hanya karena berhentinya produksi lapangan Arun sejak 2014 yang lalu dan menurunnya produksi Bontang tapi terutama disebabkan naiknya permintaan dalam negeri akan gas yang menyertai naiknya aktivitas perekonomian dan industri di tahun-tahun belakangan ini.

Antisipasi akan naiknya kebutuhan domestik sesungguhnya sudah dilakukan pemerintah dengan tidak diperpanjangnya lagi kontrak-kontrak ekspor dengan beberapa negara yang telah berakhir selama dekade pertama abadke-21. Secara infrastruktur dua lapangan gas baru akan mulai beroperasi di tahun 2015 ini: lapangan Donggi-Senoro di Sulawesi Tengah dengan kapasitas produksi 2 juta ton LNG per-tahun yang sepenuhnya akan diekspor ke Jepang dan Korea Selatan (Stefanini, 2012) dan lapangan di Sulawesi Selatan dengan kapasitas produksi sebesar 1,5 juta ton per tahun yang sepenuhnya akan dijual ke PLN untuk membangkitkan listrik dan di tahun 2016: lapangan Abadi di laut Arafura yang diperkirakan akan mampu memproduksi LNG sebesar 4,5 juta ton per tahun. Di luar dua lapangan baru tersebut, British Petroleum (BP) juga akan memperbesar kapasitas lapangan Tangguh dari 7,6 menjadi 11,4 juta ton per tahun (Sulivan, 2014)

Namun demikian, pertumbuhan ekonomi dan industri yang pesat selama 5 tahun belakangan ini rupanya belum sepenuhnya masuk dalam skenario pasokan LNG: kontrak impor LNG jangka panjang terpaksa dilakukan pemerintah untuk menutupi kebutuhan ini. Pada bulan Desember 2013, Pertamina telah menandatangi kontrak impor selama 20 tahun dengan perusahaan Amerika Cheniere Energy untuk membeli 0,76 juta ton LNG per tahunnya dari ladang gas di Corpus Christi di Texas.Oktober 2014 yang lalu, Pertamina juga diberitakan telah merencanakan untuk menandatangani kontrak impor jangka panjang dengan negara Mozambique. Dengan tujuan mencukupi kebutuhan dalam negeri selepas 2020, per tahunnya sekitar 1.5 juta ton LNG akan dikapalkan dari Mozambique ke Indonesia. Peran Indonesia sebagai eksportir murni LNG berubah perlahan menjadi importir.

Menangkap peluang

Membandingkan angka-angka perkiraan kebutuhan tambahan LNG dari sektor angkutan laut dengan angka-angka impor dan total rata-rata produksi LNG per tahun di negara kita, kita dapat menyimpulkan bahwa potensi naiknya permintaan LNG akibat konvensi MARPOL ini bukanlah sekedar “riak belaka” bagi industri hulu LNG di negeri kita.

Potensi naiknya permintaan akan LNG dari sektor angkutan laut jelas akan menjadi suatu ujian atau test case ketiga bagi SKK Migas. Test case pertama adalah kemajuan ekonomi Indonesia sendiri yang berdampak pada pertumbuhan industri yang terbukti lebih cepat dari kesiapan pasokan industri hulu LNG. Test case kedua yang sedang kita hadapi saat ini adalah turunnya harga gas bumi menjadi jauh lebih rendah dari ongkos produksi seiring dengan anjloknya harga minya mentah dunia.

Setelah cukup “terbanting” pada dua test cases pertama, akankah SKK Migas akan lolos dari test case yang ketiga ini?

Hal mutlak yang harus dilakukan sedini mungkin adalah studi atau perencanaan terkoordinasi yang melibatkan praktisi maupun akademisi di sektor angkutan laut maupun perdagangan untuk secara tepat memprediksi naiknya permintaan LNG dari sektor angkutan laut dalam 5 sampai paling kurang 10 tahun ke depan yang mencakup kebutuhan dari sektor pelayaran domestik maupun dari kawasan Asia Pasifik.

Minimal dua keuntungan akan dapat diraih dengan mengambil tindakan proaktif seperti ini: pertama kebutuhan impor LNG akan dapat ditekan sebesar mungkin dan kedua sektor pelabuhan dan angkutan laut Indonesia akan menjadi semakin kompetitif paling tidak di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang sejauh ini masih relatif tertidur lelap (Boonzaier, 2014) dalam mengantisipasi “riak” yang akan ditimbulkan oleh peraturan IMO.

Daftar Bacaan:

Boonzaier, Jonathan, 2014, Asian offshore players shun LNG fuel, Trade Winds (diakses 15/03/2015)

Cheniere Energy, 2014, Cheniere and Pertamina Sign Additional 20-Year LNG Sale and Purchase Agreement (diakses 14/03/2015)

Det Norske Veritas (DNV), 2013, Shipping 2020, DNV Report Shipping 2020

Energy World, Sengkang LNG Project (diakses 14/03/2015)

International Energy Agency (IEA), 2014, The Asian Quest for LNG in a Globalising Market, Partner Country Series

Natural Gas Asia, 2014, Indonesia Plans LNG Imports from Mozambique, (diakses 14/03/2015)

Semolinos, P., Olsen, G., Giacosa A., 2011, LNG as Marine Fuel: Challenges to be Overcome, Total

Stefanini, Sara, 2012, Donggi-Senoro LNG plant back on track after false starts, Natural Gas Daily (diakses 14/03/2015)

Sullivan, Robert, 2014, BP’s Tangguh Train 3 expansion wins key approval, Natural Gas Daily (diakses 14/03/2015)

Weitzner, Alan, 2013, LNG Development Outlook – October 2013, Stakeholders Infrastructure Advisory: Gas Infrastructure Sector Focus

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun