Sekedar antisisapi sebelum terlambat, ada satu pertanyaan dari sisi pendidikan politik: pencapaian apa yang telah didapat dari penyelenggaraan ketiga Pemilu multipartai terdahulu?
Fenomena aliansi elit politik yang terjadi di Pemilu-Pemilu terdahulu memperlihatkan peran elit politik dalam pengaburan politik aliran. Sangat disayangkan jika peran ini dimainkan semata-mata sebagai usaha untuk memperoleh dukungan suara dan akan tetap dipraktekan dalam Pemilu 2014 yang akan datang.
Negarawan alm. Ruslan Abdulgani pernah menjabarkan secara garis besar, tiga haluan aliran (ideologi) partai, yang terdiri dari sosialisme, yang sering disebut sebagai haluan kiri, nasionalisme atau haluan kanan dan religius. Di Indonesia, polarisasi ini sempat terwujud pada Pemilu 1955 dengan munculnya empat partai besar : PKI yang mewakili haluan kiri, PNI dari nasionalisme dan NU beserta Masyumi yang mewakili kelompok religius. Sejak periode konflik 1965-1966, haluan kiri tidak lagi menunjukkan batang hidungnya. Tinggalah sejak Orde Baru, partai-partai yang bernafaskan nasionalisme atau lebih tepat disebut partai-partai sekular : Golkar dan PDI dan religius : PPP. Dikotomi partai-partai sekular dan religius berlanjut hingga ketiga Pemilu multipartai paska Orde Baru yang lalu.
Dibalik dua warna partai-partai tersebut, sesungguhnya banyak kalangan yang dapat melihat bahwa perbedaan yang terjadi semakin tidak kentara, seperti ditulis budayawan dan sejarawan alm. Kuntowijoyo (Kompas, 7/7/2004). Sementara Suhadi (Kompas , 11/8/2004) berpendapat bahwa yang terjadi bukanlah pengaburan politik aliran, namun suatu transformasi atau perubahan bentuk dan gerakan dalam politik aliran, yang diperlihatkan dalam kasus Usulan Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945 tahun 2000, kasus pasal pendidikan agama dalam UU Sisdiknas No 20/2003, dan lain-lain. Terlepas dari diskusi tersebut, sangatlah menarik untuk melihat fenomena aliansi politik yang terjadi dalam kaitannya dengan pendidikan politik rakyat.
Fenomena aliansi politik merupakan salah satu bentuk tindakan pengaburan politik aliran di tingkat nasional. Pada Pemilu presiden yang lalu-lalu dapat dilihat dengan jelas usaha setiap kandidat presiden mencari wakil presiden dari golongan atau haluan yang berbeda : capres sekuler merangkul cawapres religius dan sebaliknya. Tidak terlalu sulit untuk melihat gerakan-gerakan aliansi ini sebagai usaha untuk memperoleh dukungan suara sebanyak-banyaknya.
Dari segi pendidikan politik, apakah pengaruh fenomena ini untuk rakyat ? Satu hal utama yang patut diajukan sebagai jawaban adalah bahwa rakyat semakin tidak melihat pentingnya ideologi sebagai dasar kehidupan berpolitik : yang sekuler mempersunting yang religius dan sebaliknya, yang bakal menang mengawini yang tersisih, dan seterusnya. Lebih parah lagi kalau kegiatan saling mempersunting ini dilakukan dengan dalih persatuan bangsa. Rakyat semakin lupa bahwa dalam hidup berpolitik diperlukan sesuatu yang disebut oposisi dan akhirnya rakyat hanya mengerti bahwa politik itu sekedar permainan tawar-tawaran kekuasaan.
***
Kalau mau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya rakyat sudah tidak mengerti pentingnya ideologi dalam kehidupan berpolitik sejak awal Orde Baru. Sekali lagi, rakyat hanya bisa melihat dua warna : sekuler dan religius. Rakyat akan gagap bila diminta untuk membedakan 'kanan-kiri' maupun 'merah-biru'nya ideologi yang mendasari misalnya Golkar, PDI atau Partai Demokrat.
Bercokolnya partai Golkar selama kurang lebih 30 tahun Orde Baru dalam pemerintahan Republik Indonesia membuat rakyat tidak memiliki pembanding. Gerakan oposisi yang sangat minim selama masa tersebut semakin memperkuat ketidaktahuan masyarakat akan alternatif yang lain. Periode antara 1998 sampai sekarang merupakan masa yang terlalu sulit untuk dicermati terutama untuk melihat adanya perbedaan dalam ideologi yang dipakai untuk mendasari kebijakan-kebijakan pemerintah.
Penyelenggaraan Pemilu-Pemilu multipartai paska 1998 tidak mendidik rakyat lebih lanjut dalam hal ini, bahkan cenderung semakin membingungkan dengan semakin banyaknya jumlah partai dengan warna yang sama. Konsekuensinya, sampai dengan Pemilu 2009 yang lalu, kharisma individu dibalik partai dan semangat sektarian (suku, agama) merupakan dua indikator utama yang dipakai oleh rakyat untuk memilih.