Satu hal yang membuat saya sungguh betah ikut aktif dalam gerakan kepramukaan adalah menyanyi.
Mungkin saya yang beruntung karena gugus depan (gudep) tempat saya menginduk memiliki kakak-kakak penegak yang memiliki perbendaharaan lagu dan jenis musik yang luar biasa. Dari lagu "Cik-cik periuk" sampai lagu "Say masi selamat neger negeri", dari lagu "Kumbayah" sampai "Today"-nya John Denver, dari lagu "Pak Dengkek Nduwe Andeng-Andeng Gedhe" sampai lagu "Drakula"nya Pancaran Sinar Petromaks...
Di antara lagu-lagu yang umumnya jenaka dan gembira ada satu saja lagu sedih yang sampai bisa muncul sewaktu-waktu: "Nobody knows the trouble I've seen".
Lagu negro spiritual ini sangat popular dinyanyikan Louis Armstrong alias Satchmo, yang teksnya kira-kira begini:
Nobody knows the trouble I've seen
Nobody knows my sorrow
Nobody knows the trouble I've seen
Glory hallelujah...
Saya masih teringat bagaimana rasa ngelangut saat menyanyikan lagu ini sambil menjelajahi bukit di Situ Patenggang atau di bumi perkemahan di Kopeng, Semarang sembari memandang ke kejauhan.
Lagu yang sangat lembut, sangat lambat seperti yang dinyanyikan Louis Armstrong namun dengan pesan begitu kuat: ada satu masalah, satu kesedihan yang kita lihat yang tak terlihat orang lain...
***
Masa kampanye Pemilu terakhir tiga partai 17 tahun yang silam:
Saya teringat seorang kawan bertubuh tinggi tegap berlari kencang ke arah sekelompok kerumunan masa sambil berteriak dan mengacungkan samurai. Langkahnya terhenti saat seorang berseragam militer dengan helm putih bertuliskan "PM" menembakan tembakan peringatan ke udara.
Ya, saat itu dua kelompok massa berhadap-hadapan di suatu jalan raya di Jakarta Timur. Dua kelompok dari dua kampung yang berbeda yang hanya dibatasi oleh suatu jembatan jalan raya yang kebetulan juga jadi basis massa dua partai yang berbeda.
Saya sendiri jadi bagian dari satu kelompok, berdiri di ujung gang dengan sebalok kayu di tangan siap mementung kalau warga kampung lain menyerang. Di sebelah saya seorang Opa menyandang anak panah di punggung dan busur di tangan. Di depan saya, tetangga sebelah rumah yang saya panggil Om, saya lihat geram sambil mengayun-ayunkan parang. Kami baru bubar setelah puluhan petugas PM dan kepolisian diturunkan.
***
Masa kampanye Pilpres 2014:
Pertempuran virtual di dunia maya mengganti pertempuran fisik di lapangan.
Pertempuran ide, entah benar entah sesat, yang begitu intensif (24/24 jam, 7/7 hari) entah kenapa lama-lama buat saya menimbulkan rasa begah.
Begah karena pengkultusan individu yang semakin lama semakin keterlaluan, begah karena pembohongan-pembohongan yang disengaja, begah karena pembodohan diri yang disengaja (dan dipamerkan), begah atas berita-berita politik yang isinya tidak jauh dari gossip dan terutama begah karena akhirnya saya masih aja ikut-ikutan bawa-bawa balok kayu siap untuk mementung...
Kalau Satchmo masih hidup, mungkin dia akan menyengir ke saya sambil meneruskan nyanyi:
Sometimes I'm up, sometimes I'm down
O yes Lord
Sometimes I'm almost to the ground
O yes, Lord...
---------------
*KM1: Kamis Melodis Bagian Pertama