Televisi menayangkan diskusi ekonomi tentang kurs rupiah yang beberapa hari lalu menembus 17 ribu per dollar Amerika.Lampu ruang tamu tidak lagi menyala. Hanya ada pendaran cahaya teve di wajah Mama yang menatap layar tanpa menangkap isinya.
"Tidur sana Ben. Mama aja yang tunggu kak Minggus pulang."
Kududuk di samping Mama di kursi panjang anyaman rotan. Ikut kutatap layar kaca yang tiga orang di dalamnya seakan menjadi teman di ruang tamu membunuh kesunyian.
Seperempat jam berlalu tanpa kumengerti apa yang kutatap.
"Sudah tidur sana Ben..."
Kutinggalkan Mama dengan wajahnya yang masih berpendar-pendar kena cahaya teve di ruang tamu.
***
23.50
Kak Minggus belum juga pulang. Sebenarnya sudah sejak hari Jumat kak Minggu belum pulang.
Ini sudah kali ketiga atau keempat Kak Minggus pergi beberapa hari tanpa kabar.
Kali-kali yang lalu Kak Minggus selalu kembali.
Kutatap langit-langit kamar yang tak lagi terlihat karena gelap:
(Tuhan.. semoga kali ini Kak Minggus juga kembali ke rumah ini.
Kalau bisa malam ini.
Sebentar lagi ya Tuhan.
Jangan tunda lagi....)
***
00.32
Mama belum tidur juga. Malah bersenandung lagi.
"..kunang-kunang kelana di rimba malam..
darimanakah gerangan dikau tuan.."
Kak Minggus adalah kunang-kunang Mama.
Kata Mama, waktu mendiang Papa dulu tugas di Tim-Tim yang menemani Mama di malam-malam hari hanya kak Minggus yang masih kecil dan puluhan kunang-kunang di halaman belakang rumah.
Setelah kami pindah ke Jakarta, kunang-kunang tidak ada lagi.
Tapi Kak Minggus tetap jadi kunang-kunang Mama.
***
01.05
Isakan pelan Mama dari ruang tamu membangunkanku yang terlelap.
Keluar kamarku. Mama masih di bangku panjang rotan. Teve masih menyala tidak jelas acaranya.
"Mama..."
"Tidur Ben.. besok kamu sekolah.."
Kembali ke kamarku. Kuraih rosario dari atas meja belajar.Kuggenggam erat.
Kuhempaskan tubuh kembali ke ranjang.
(Tuhan. Tolong Tuhan. Suasana ini sungguh mencekik...)
***
02.15
Suara pintu depan dibanting bangunkan aku.
Lampu ruang tamu menyala.
Mataku terkejap-kejap : Kak Minggus sudah pulang.
"Mama tidak usah tanya-tanya!" , bentak kak Minggus. Sakaw.
Kak Minggus mau tempeleng Mama.
Ku melompat di antara Kak Minggus dan Mama.
Tangannya yang kekar bergerak keras menerpa tanganku yang kurus.
Mama menangis tapi tidak kena tempeleng.
Kak Minggus masuk kamarnya banting pintu.
Kuterduduk di lantai.
Rosario di genggamanku tadi terlempar dan putus. Butir-butirnya bertebaran di lantai. Itu hadiah komuni pertamaku 6 tahun yang lalu. Dari Kak Minggus.
--------
Cerita selanjutnya: Senin Sore: Mau Mati!