Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Generasi Widji dan Sesudahnya

27 Agustus 2016   09:13 Diperbarui: 7 September 2016   15:27 282 9
Saya lahir tepat tiga dekade pasca Angkatan 66 turun ke jalan, di bulan yang sama saat tertembaknya Arif Rahman Hakim. Dan juga beberapa bulan menjelang kerusuhan 27 Juli di Jakarta. Sudah jelas betul saya tak sempat merasakan apa yang dirasakan Widji Widodo, seorang penyair yang akrab dengan nama panggilan Widji Thukul. Jika ditilik dari arsip sajak-sajaknya, sudah sejak medio 1980-an ia telah mencurahkan keresahannya seputar sosial dan kerakyatan. Kita bisa merasakan betapa jujurnya tiap kata dalam bait yang ia tuliskan. Alegori atau pun majas-majas yang ia gambarkan tak terasa dibuat-buat. Dalam ‘Bunga danTembok’ misalnya, ia menggambarkan pemberontakan –sebagai sekumpulan tanaman bunga– yang berkeyakinan bahwa tembok tirani itu harus hancur. Ia berkata 'harus', bukan 'pasti'. Keyakinan yang ia gambarkan terasa tetap rendah hati. Ia tetap menjadi seorang Widji yang menengadah ke langit, dan seolah tak mau menjadi matahari kembar yang ingin menjatuhkan matahari yang hampir redup.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun