Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Rindu Pak Harto, Rindu Pemerintahan Ditaktor

27 Januari 2014   03:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 1086 1
Astana Giribangun yang berada di Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar merupakan lokasi makam penguasa orde baru Jendral Besar Suharto yang disapa Pak Harto ini. Tepatnya, di  dalam kompleks makam yang luas ini, terdapat lokasi utama sebuah masjid yang dinamakan Cungkup Argosari dengan dinding terbuat dari kayu dan berukir khas Jawa, di situlah  Pak Harto dan keluarganya di makamkan.

Menjelang 28 Januari 2014, dimana hari itu tepat 6 tahun meninggalnya Presiden kedua Republik Indonesia ini, Astana Giribangun mulai dipadati oleh peziarah. Para peziarah ini datang dari berbagai kalangan termasuk para calon anggota legislatif yang akan maju pada pemilu 2014.

Berziarah memang merupakan kegiatan tradisional bangsa kita, terlebih menjelang hari raya Idul Fitri, memanjatkan doa dan sekaligus memberi penghormatan serta mengenang  orang orang yang kita cintai yang telah mendahului kita. Namun,  berziarah menjelang pemilu tentunya dapat dimaknai lain.

Piye kabare Pak Harto, apa kabarnya Pak Harto, lebih enak zamanku too, adalah tulisan pada baleho yang mulai bermunculan belakangan ini. Tak ada yang patut disalahkan dengan kata-kata itu, itulah politik yang ingin menggambarkan lebih  baik keadaan negara ini dibawah kepemimpinan Suharto.  Rakyat boleh bebas berpendapat, rakyat boleh menghujat, rakyat boleh berharap namun zaman suharto telah berlalu yang diakhiri dengan krisis ekonomi yang parah.

Warisan kepemimpinan Suharto masih dirasakan oleh kita semua saat ini, bahkan mungkin tak dapat dipulihkan dalam satu generasi. Hutang luar negeri Indonesia terus membengkak lebih dari 3.000 triliun rupiah, sementara rupiah masih terpuruk.

Dalam situasi ekonomi terpuruk yang diikuti oleh krisis sosial yang multi dimensional, UUD 45 dilakukan amandemen yang membawa kehidupan lebih berdemokrasi dan kebebasan berpendapat. Tak ada lagi pembredelan surat kabar. Sebaliknya, orde baru sepanjang kepemimpinan Pak Harto, rakyat  selalu dijejali informasi keberhasilan pemerintahannya dan bahkan sejarahpun diputar balik.

Kini, kita selalu dijejali informasi kebobrokan dan kegagalan pemerintah, tak ada informasi yang menggambarkan keberhasilan pemerintah sehingga opini yang terbangun, pemerintah dibawah SBY adalah pemerintahan yang gagal total. Lalu, munculah baleho untuk mengajak rakyat bernostalgia untuk mengenang nikmatnya zaman Suharto.

Politik tetap politik yang dapat menghalalkan segala macam cara termasuk juga membohongi rakyat karena politik pada dasarnya adalah strtegi untuk memenangi persaingan. Eforia demokrasi ini, pada kenyataannya dimanfaatkan juga untuk menghianati rakyat, korupsi yang menjadi budaya yang paling cepat berkembang.

Jokowi harus diakui adalah orang yang bersih, namun dia juga bukan superhero yang dapat merubah keadaan dalam sekejap seperti janji kampanyenya.  Jakarta bebas macet dan bebas banjir, seperti itulah keberanian  Jokowi menjanjikan kepada para pemilih untuk meraih jabatan Gubernur DKI. Namun ketika banjir dan macet tetap terjadi, Jokowipun menjadi orang yang dipersalahkan karena rakyat kecewa dengan janji yang tidak terwujud.

SBY dapat terpilih menjadi presiden karena rakyat percaya SBY akan membawa perbaikan, namun baru beberapa saat menjabat, para politikus yang kalah bersaing terus menerus memblow up kebobrokan yang memunculkan kegaduhan politik terus menerus. Namun, ketika terjadi kerukunan politik, korupsi berjamaah yang meraja lela.

Persoalan yang dihadapi bangsa kita sesungguhnya adalah bahwa demokrasi itu menimbulkan sikap tidak menerima kekalahan dalam persaingan politik. Sikap inilah yang dimanfaatkan oleh Akil Mochtar sang penjaga konstitusi dengan memberikan kemenangan pihak yang bersedia memberikan imbalan jika ingin memenangi kekuasaan.

Dari apa yang terjadi dalam era reformasi, bahwa kegaduhan politik sesungguhnya bukanlah untuk kepentingan rakyat melainkan kepentingan yang mengatas namakan rakyat untuk mememenuhi ambisi kekuasaan yang pada dasarnya untuk menguasai keputusan dalam keuangan negara.

Mungkin, rindu suharto itu dapat diartikan bahwa negara ini masih membutuhkan pemimpin yang otoriter dan ditaktor karena politik Indonesia belum siap berdemokrasi. Penundaan pembacaan putusan MK tentang undang undang pilpres sesungguhnya akan memberi peluang pemerintahan yang otoriter dan ditaktor dengan alasan pemilu 2014 cacat hukum, undang pilpres yang lama telah dianulir, sementara yang baru berlaku tahun 2019. Rindu pemimpin  seperti  Pak Harto  namun tidak korup.  Adakah?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun