Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Manusia Gerobak Ibukota

24 Juni 2014   18:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:17 48 3
Tak bosan-bosannya, pak Gentolet menyeret gerobak tuanya sambil sebilah tangan kasarnya mengais botol-botol dan rongsokan di tepi jalan. Ia mampu bertahan meskipun istrinya kini telah tiada, ia terus berusaha menyeret gerobak itu kemanapun arah dan tujuannya. Tak jarang karena ketidaktahuannya, ia terjebak dalam gang buntu yang menyuruhnya berbalik arah. Pada gagang gerobaknya terdapat sebuah plastik hitam warnanya, lusuh tetapi bersih kondisinya. Jika ditengok sekilas, itu pasti berisi makan siangnya, tetapi apa benar demikian ?

Tidak. Bukan. Plastik lusuh itu tak berisi makanan siang, apalagi makanan sore menjelang malamnya. Plastik itu justru berisi sebuah sarung bercorak kotak-kotak dan sebuah kopyah miliknya. Ternyata, pak Gentolet sungguh tak disangka, ia memang hidup sebagai seorang mbambong jalanan ibukota dengan gerobak yang menjadi wadah sampah rezekinya. Gerobaknya memang sangat tua, malah tampak lebih tua dari umurnya. Gerobak itu berwarna hijau, merah, dan putih, serta terdapat tempelan-tempelan logo partai dan capres dan cawapres yang tersenyum. Lalu, ketika seseorang bertemu dengan pak Gentolet lantas bertanya tentang dirinya meskipun ia tak pernah mengenali siapa yang menyapanya.

"Pak, gerobak itu apa saja isinya ?"

Pak Gentolet hanya tersenyum dan berkata, "gerobak ini hanya berisi sampah, Pak. Saya biasa mengais botol-botol di jalan untuk saya jual kepada pengepul botol untuk uang makan saya."

"Lalu, apa yang ada di dalam kardus di pojok gerobak Bapak itu?"

Memang, gerobak pak Gentolet tanpa tutup sehingga orang mudah melihat isi gerobaknya. Ia kembali tersenyum simetris dan anti-nyaprut apalagi manyun. Pak Gentolet pun menjawab dengan bahasanya yang renyah dan gurih, " Oh, ini....kardus ini berisi pakaian istri saya, Pak."

"Lho...lah istri Bapak kemana ?"

"Istri saya sudah meninggal, Pak. Tetapi saya tetap menyimpannya, Pak."

"Sejak kapan istri Bapak meninggalkan Bapak?"

"sudah 6 tahun yang lalu Pak, istri saya tertabrak truk yang menabrak rumah kontrakan saya, Pak"

"terus, Bapak sekarang tinggal dimana?"

"saya hanya tinggal di dalam gerobak saya ini, Pak. Saya dulu hanya mengontrak rumah, setelah rumah kontrakan saya hancur, saya tak punya apapun dan saya kehilangan istri saya. Saya tak punya apa-apa lagi sekarang."

Pak Gentolet dan orang tersebut kini berpisah, sedikit bercengkramah dengan orang itu sedikit mengobati hati pak Gentolet. Sebab, selama ini ia tak pernah mengeluhkan kondisi batinnya yang serba kesulitan menghadapi nasib dan kenyataan hidupnya. Namun, ia bersyukur sebab ia masih diberi nafas gratis oleh Tuhan. Ia berpikir bahwa ada banyak manusia yang justru bernasib lebih pedih darinya. Oleh karena itulah setiap hari ia sambil terus mengais botol untuk memenuhi gerobaknya, ia sempatkan untuk mampir ke masjid dan musholah dimanapun ia temui saat waktu ibadah telah tiba. Walaupun ia tak pernah sesekali mencurahkan rasa hatinya kepada seseorang, tetapi ia yakin bahwa mencurahkan hati kepada Sang Pencipta adalah obat hati yang paling manjur baginya. Ia menenggadah dan meneteskan air mata, sekalipun ia seorang lelaki yang dulu perkasa dan berotot baja.

Ia merenungi setiap detik usahanya, ia memperhatikan setiap gerak-gerik lakunya. Ia tak ingin sebab perilakunya membuat orang lain mendapatkan dosa dari Tuhan, ia juga tak ingin sampai tega menyakiti dan merobek-robek hati orang lain sebab kekesalan dan kejengkelan. Ia memiliki pandangan bahwa manusia itu mengandung dua elemen, setengah hewan setengah malaikat. Manusia yang mampu menonjolkan sifat malaikatnya, maka ialah yang dimaksud manusia yang manusiawi, sementara sebaliknya adalah manusia yang hewani. Perilaku baik adalah produk dari ajaran yang baik. Hal inilah kerangka pikir yang membuat pak Gentolet tobat atas segala dosanya.

Dulu pak Gentolet adalah jamaah Totoan Gelap alias Togel di tempatnya. Ia juga sering mabuk oplosan padahal ia sering mendengarkan lagu oplosan. Ironi pak Gentolet dalam riwayat itu kian memudar dan membuatnya sadar akan ketersia-siaan semua perbuatannya itu.

Kini ia tak lebih dari sebuah cantholan (kait) dalam sebuah ruangan. Ia tiada peran dan fungsinya di mata masyarakat. Ia sering terjaring razia satpol PP ibukota sehingga lengan bajunya banyak terdapat robekan bekas pertikaiannya dengan satpol PP. Terkadang, ia mendapat serangkaian pukulan karena ia melawan. Namun, ia menerima itu semua, ia sadar bahwa ia bersalah, ia terlalu teledor dengan menerobos daerah atau area yang dilarang oleh pemerintah daerah.

Yang lebih menyedihkan lagi, ia tak punya keturunan. Ia tak punya generasi penerus yang mampu merubah gerobaknya menjadi mobil kehormatan dirinya. Ia kini hanya terus mencium pakaian istrinya, ia duduk di samping gerobaknya, bersandar di sebuah tembok yang tercoret-coret, ia menghadap logo-logo capres dan cawapres yang tersenyum kepadanya. Melelehlah air matanya, ia merengkuhkan segala isi hatinya, ia ingin menjerit namun kondisinya kiat menjepit. Ia tak menaruh harapan apapun terhadap logo-logo capres yang dipandangnya, dengan terus menciumi pakaian istri yang ia cintai itu, dengan gelimang air mata deritanya itu, ia hanya berdoa kepada Tuhan yang menciptakannya.

"Ya Allah, sesungguhnya aku adalah mahluk yang tak pantas meminta kepadaMu, sebab diriku banyak dosa dan kemaksiatan, tetapi aku sangat membutuhkan Engkau Ya Allah, aku sangat membutuhkan Engkau dalam hidupku ini, aku hanya mampu bersama pakaian istriku tercinta ini, aku hanya mampu menangis dengan pakaian-pakaiannya Ya Allah, hidupku kini telah Engkau rubah karena kelalaianku sebagai khalifah, Engkau merenggut senyumku saat mendapatkan kemenangan perjudian dan minuman keras, namun kini aku mengemis kepadaMu Ya Rabb, aku mengemis RahmatMu Ya Allah, semoga Engkau menetapkanku dalam keimanan kepadaMu, jadikanlah sisa-sisa pakaian kekasihku ini sebagai teman hidupku menuju ma'rifat kepadaMu,....Aamiin."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun