Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tok Dur dan Nafas Berdimensi

30 Juni 2014   09:50 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:12 21 2
Jarum-jarum itu masih menusuk di tangan kananku. Mataku tampak sayup dan tak kuasa kupejamkan berlama-lama. Kutengok sekilas buah-buah yang masih segar terdapat di pojok ruangan serba putih itu. Instrumen ECG denyut jantungku terekam naik dan turun dalam grafik-grafik berjalan meskipun sedetik monoton membuatku tak mampu bernafas sama sekali. Aku hanya mampu memandang diriku yang lemah terkapar dalam ruang berlapiskan permadani yang putih warnanya, bersih dan tertata rapi. Sedetik ku melihat istriku yang menangisi keadaanku tiada henti. Air matanya berlinang bak mutiara yang mengandung keikhlasan jika Tuhan mengizinkanku pergi dari dunia fana ini. Lalu, aku bangun dan langsung memeluknya dalam kehangatan cintaku padanya.

"Pak, ayo kita pulang ke rumah, Pak. Sudah lama kita tak makan bersama, sudah lama, Pak."

"Ya, istriku, mari kita pulang."

Para manusia berpakaian serba putih pun tersenyum kepadaku dan berkata, " silakan Bapak pulang, semoga sehat selalu"

"Terima kasih, Bapak-Bapak, terima kasih," jawabku dengan pelan namun pasti.

"Ayo, Bu. Kita pulang, bagaimana kondisi anak-anak?"

"Mereka baik-baik saja, Pak. Mereka ingin bertemu Bapak, mereka ingin segera bermain denganmu"

Lalu aku menyegerakan pulang dengan kursi roda dan baju berwarna cokelat bergaris hitam, sementara celanaku berwarna kebiruan bertabur garis hitam coraknya. Sampailah aku ke depan pintu mobil sewaan instriku. Mobil pribadi berwarna silver milik tetanggaku dengan pelat nomor yang khas dan baru saja dicat rupanya. Aku pun masuk ke dalamnya pelan-pelan dan mobil pun bergerak menuju rumahku, menuju senyum ceria anak-anakku.

"Tok,..sini, sini..."

"apa, Dur ? ada apa?"

"Bapak pulang tuh."

"Hah !, iya ???...alhamdulillah, Dur.."

"Ayo kita sambut Bapak, Tok.."

"Iya, Dur.."

Tok dan Dur adalah nama singkat dan sederhana yang kuberikan kepada anak-anakku. Mereka tampak sudah dewasa saja saat kulihat. Setiba ku masuk dalam rumahku, aku melihat sebuah kehidupanku yang baru, sangat terbilang baru, aku melihat rumahku yang asri dan sejuk, sungguh tertata rapi sehingga membuatku tersenyum sambil menyentuh rambut kedua anakku.

"Kalian rajin sekali, Bapak merasa senang, sebab rumah Bapak terlihat baru"

"Iya, Pak. Ini kami persembahkan untuk Bapak, semoga Bapak tak sakit lagi"

Aku hanya menjawabnya dengan tersenyum kembali. Kemudian aku diantar oleh istriku menuju ke halaman belakang rumahku untuk menengok sepetak kebun mungilku yang ku buat bersama anak-anakku saat mereka masih kecil dan istriku saat keningnya belum berkerut kala itu.

Aku menghembuskan nafasku dalam kehampaan, jiwaku merasakan kenikmatan hidup. Aku merasakan ketenangan sebab aku bersama dengan istri dan anak-anakku. Kemudian aku duduk di sebuah bangku kayu yang kubuat dulu, dan ku menutupkan mataku dan mencoba untuk tak bernafas. Memang benar adanya, bahwa nikmat bernafas adalah segalanya bagiku.

"Astaghfirullah !...", aku terbangun sebab kelelahan menjaga suamiku.

"Pak, Bapak baik-baik saja, kan ?," aku hanya berbicara sendiri dengan suamiku yang saat ini terkapar dalam kondisinya yang masih koma di rumah sakit.

Ia tampak lemah. Tetapi, sungguh merupakan Rahmat, matanya pelan-pelang terbuka dan memandangku dengan kelembutannya. Ia menyapa namaku dengan suara serak-serak basah dan nyaris tak terdengar iramanya.

"Bu, aku dimana, Bu?", ia bertanya kepadaku.

"Bapak yang tenang, ya, sekarang Bapak dalam penanganan para dokter ahli, hahahaha...."

"Lho, kok Ibu tertawa-tawa ?, kenapa, Bu ? ada apa denganku, Bu?", tanya suamiku padaku.

"Bapak akan segera sembuh, kok..hahahaha.."

Tok dan Dur kini hanya bisa menangisi ibunya itu. Setelah beberapa bulan setelah ditinggal sang ayah mereka tercinta, ibunya sering menggigau, sering melamun, sering membayangkan, hingga sering berbicara sendiri. Mereka harus membawa ibunya ke rumah sakit tempat ruangan bapaknya dirawat dulu. Ibunya berbicara sendiri kepada bantal guling yang mereka saksikan dengan para dokter itu. Kini tibalah hari keseratus dari kematian bapak Tok dan Dur. Rumahnya tampak sepi sebab ibunya tampak terus termenung di halaman depan dengan mata tak bernyawa. Dihiasi dengan alunan ritme suara jamaah Yaasiinan yang menghadiahkan pahala untuk bapaknya di hari itu.

Tok dan Dur tampak saling berpelukan.

"Kak, aku sangat merindukan Bapak, Kak"

"Sama, Dur. Aku juga merindukan Bapak. Sangat rindu."

Mereka berdua menangis sendu dan teriring doa untuk bapaknya.

"Semoga dosa bapak diampuni Allah, ya Kak"

"Aamiin.."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun