Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Manfaatkan Bonus Demografi, Yuk !

8 Oktober 2014   16:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:54 166 5
Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Data hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 237.641.326 jiwa. Dari angka tersebut, sebanyak 118.320.256 jiwa atau 49,79 persennya bertempat tinggal di wilayah perkotaan. Dan sebanyak 119.321.070 jiwa atau 50,21 persennya bertempat tinggal di perdesaan.

Jika dilihat menurut pulau-pulau besar di Indonesia, Sumatera yang luas wilayahnya sebesar 25,2 persen dari luas total daratan Indonesia dihuni oleh sebanyak 23,1 persen penduduk, Jawa yang luasnya 6,8 persen dihuni oleh sebanyak 57,5 persen penduduk. Berikutnya, pulau Kalimantan yang luasnya sebesar 28,5 persen dihuni oleh sebanyak 5,8 persen penduduk, Sulawesi yang memiliki luas sebesar 9,9 persen dihuni oleh 7,3 persen penduduk. Sementara itu, Maluku yang memiliki luas sebesar 4,1 persen dan Papua yang luasnya 21,8 persen berturut-turut dihuni oleh 1,1 persen dan 1,5 persen penduduk. Jika diamati, sampai saat ini pun distribusi penduduk menurut wilayah masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Hal ini disebabkan pulau Jawa selain sebagai pusat administrasi negara, pusat industri dan perdagangan yang pesat di Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kepadatan penduduk tahun 2010 untuk setiap wilayah seluas 1 kilometer perseginya sebesar 131,0 artinya dalam 1 kilometer persegi dihuni oleh sebanyak 131 penduduk. Sementara itu, pada tahun 2012 kemarin angka kepadatan penduduk per luas wilayah naik menjadi 135,0. Terlihat bahwa jumlah penduduk Indonesia semakin tak terbendung, setiap saat akan tumbuh dan terbukti relevan dengan hukum Robert Malthus bahwa pertambahan penduduk mengikuti deret ukur atau deret geometri. Angka  kepadatan penduduk per luas wilayah dapat kita buktikan saja pada kondisi riilnya, misalnya tata hunian di daerah Jakarta dan Surabaya. Hunian tak lagi tersusun horizontal, tetapi sudah tersusun vertikal alias banyak hunian susun dimana - mana. Tentunya, ini akan merusak tatanan infrastruktur baik kota maupun perdesaan sehingga terlihat amburadul dan kumuh.

Penduduk yang besar memang merupakan inti dari permasalahan Indonesia. Dari segi jumlah yang terus meningkat, tetapi luas wilayah yang kurang menyebar menjadikan pembangunan nasional juga tak merata. Penduduk menjadi kajian serius pemerintah hingga saat ini, terutama melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKN). Berbagai program dalam rangka membatasi jumlah penduduk terus dilakukan, baik dari segi pembangunan fasilitas kesehatan hingga instrumen kelahiran penduduk atau yang disibut dengan Keluarga Berencana (KB). Terbukti, dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk memang terus meningkat, tetapi angka pertumbuhannya dapat ditekan. Kalkulasi data menunjukkan pertumbuhan penduduk Indonesia masih berada disekitar angka 1 persen.

Dengan keberhasilan program yang dicanangkan oleh BKKBN terutama melalui KB-nya, mulai dari tahun 2010, permasalahan kependudukan nasional telah mencapai titik penyelesaiannya. Ada apa gerangan ?.

Ya, tahun 2010 adalah tahun dimana Indonesia terdeteksi masuk dalam siklus keemasan yang biasanya terjadi seabad sekali atau yang disebut Bonus Demografi (BD). Kalau tadi berbicara kependudukan dari segi kepadatannya per luas wilayah serta kepulauan, sementara pada fenomena Bonus Demografi, masalah kependudukan kita lihat berdasarkan struktur usia.

Telah kita ketahui, setiap kali setelah pelaksanaan SP, BPS secara konsisten mengolah data kependudukan dan menyajikannya dalam bentuk piramida penduduk untuk mampu melihat distribusi penduduk menurut usia. Sesuai dengan konsep dan definisi yang lama digunakan BPS berdasarkan kriteria internasional, perlu diketahui bahwa pengelompokan usia dibagi menjadi tiga, yaitu usia 0 - 14 tahun dan 65 tahun ke atas dikelompokkan sebagai usia non-produktif dan usia dari 15 - 64 tahun sebagai kelompok usia produktif.

Bonus Demografi (BD) adalah fenomena kependudukan yang terjadi ketika jumlah penduduk usia produktif lebih besar daripada jumlah penduduk usia non-produktif. Selain itu, BD juga dapat diketahui dari angka rasio ketergantungan penduduk yang berkisar 40 - 50 persen. Pada tahun 2010, rasio ketergantungan Indonesia sebesar 51,31 persen yang berarti setiap100 penduduk usia produktif harus menanggung beban penduduk usia non-produktif sebanyak 51 hingga 52 penduduk.

Ketika penduduk usia produktif lebih besar daripada penduduk usia non-produktif maka secara otomatis struktur penduduk menurut usia Indonesia tampak menggelembung di tengah. Kondisi ini diperkirakan akan mencapai puncaknya pada di tahun 2025 nanti atau bisa jadi lebih cepat. Fenomena BD menjadi ujung tombak perekonomian Indonesia mencapai keemasannya. Hasil penelitian Nurul dkk.(2012) menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk, rasio ketergantungan serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Secara empiris menunjukkan bahwa ketika masalah kependudukan ditangani secara baik dan benar, maka pada saatnya perekonomian Indonesia akan mengalami pertumbuhan yang positif.

Banyak yang beropini bahwa Bonus Demografi (BD) adalah Jendela Pertumbuhan, padahal belum tentu juga terjadinya BD akan menjadikan Indonesia lebih baik. BD justru akan menjadi ancaman besar dan kerugian jika tak dimanfaatkan dengan baik. Beberapa kondisi yang menjadi konstrain dari Bonus Demografi diantaranya seberapa besar luas lapangan pekerjaan bagi penduduk, bagaimana orientasi industri nasional, bagaimana fasilitas kesehatan penduduk, bagaimana struktur dan distribusi penduduk, serta bagaimana iklim investasi di Indonesia. Tersedianya dan luasnya lapangan pekerjaan akan mampu menyerap stok Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di Indonesia. Kondisi tersebut akan secara langsung berdampak positif mengurangi penduduk yang sebenarnya tergolong usia produktif tetapi menganggur karena tak mendapatkan pekerjaan. Penduduk yang bertambah seharusnya juga diikuti dengan penambahan lapangan usaha dengan beragam variasi usaha di dalamnya. Besarnya daya serap lapangan pekerjaan terhadap stok SDM akan mampu menggerakkan roda perekonomian nasional untuk mencapai kesejahteraan sosial yang merata. Kedua adalah masalah orientasi industri yang ada di Indonesia. Tuntutan globalisasi ekonomi membuat Negara Sedang Berkembang (NSB) seperti Indonesia harus ngotot menjadi negara berbasis industri, tetapi salahnya saat ini, banyak industri yang berorientasi padat modal sehingga sangat minim dalam menyerap SDM yang tersedia. Penduduk Indonesia ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia setelah India dan China, ketika ngotot menjadi negara industri maka pengangguran yang sebenarnya termasuk penduduk usia produktif akan bertambah, minimal akan stagnan jumlahnya. Kalau ini yang terjadi, BD tak akan berkualitas dan justru berdampak buruk kedepannya. Ketiga adalah tentang fasilitas kesehatan penduduk. Memang selama ini, yang terus digalakkan khususnya oleh BKKBN adalah pembangunan sebuah keluarga Indonesia dengan cukup beranak dua per keluarga. Hal ini memang ada positifnya, tetapi yang perlu ditinjau lagi adalah untuk siapa program dua anak cukup tersebut diberikan. Kalau orang yang hidupnya mapan dan banyak uang, banyak anak pun sebenarnya tak masalah, sebab dari segi ekonomi seluruh anak - anaknya sudah terjamin, minimal kebutuhan makan dan kesehatannya. Berbeda halnya ketika orang yang tergolong ekonomi menengah ke bawah, banyak anak tentu akan menuai masalah mengenai pemenuhan kebutuhan ekonomi anak - anaknya. Oleh karena itu, program dua anak cukup per keluarga sebenarnya lebih di fokuskan kepada penduduk golongan ekonomi menengah ke bawah. Fasilitas kesehatan juga menjadi instrumen langsung menjaga agar kondisi struktur penduduk terjaga, artinya menjamin berkurangnya angka kematian atau angka mortalitas penduduk usia produktif.

Selanjutnya adalah masalah distribusi penduduk. Terkait dengan data sebaran penduduk per pulau di Indonesia yang dijelaskan, distribusi penduduk per pulau di Indonesia masih stagnan dan mengumpul di pulau Jawa sehingga pemerintah bersama BKKBN hendaknya tetap menggalakkan dan merekomendasikan program migrasi antar pulau di Indonesia sehingga jumlah penduduk di pulau Jawa berkurang demi membangun tatanan infrastruktur yang tertib, rapi, dan nyaman. Pusat administrasi dan pusat pemerintahan menjadi salah satu faktor utama yang secara langsung menarik bagi penduduk untuk berpindah ke Jawa. Padahal, bagi mereka yang pendidikannya rendah dan modal pas- pasan, justru akan berdampak buruk bagi perekonomian mereka. Penduduk memang terus tumbuh, khususnya jumlah penduduk usia produktif, tetapi kalau mereka tak terdistribusi ke semua wilayah maka ketimpangan kualitas SDM nasional akan besar.

Terakhir mengenai bagaimana iklim investasi di Indonesia. Selama ini, iklim investasi masih giat dan terpusat di pulau Jawa sehingga secara langsung akan menyebabkan banyak penduduk yang berbondong - bondong pindah dan menetap di Jawa, padahal kondisi tersebut belum tentu juga menjamin penyerapan SDM, terutama penduduk usia produktif. Oleh karena itu, pemerintah dengan rekomendasi dari BKKBN dan didukung data kependudukan BPS sudah seharusnya mencanangkan program besar - besaran investasi di luar wilayah Jawa, misalnya melalui bidang pendidikan, kesehatan, atau berkerjasama dengan kementerian pariwisata untuk menintensifkan kepariwisataan nasional di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, penduduk di Jawa khususnya diharapkan akan tertarik dan berpindah menyebar ke luar Jawa untuk pemerataan ekonomi dan pembangunan sosial.

Bonus Demografi memang merupakan sinyal bagus bagi Indonesia dari tahun 2010, kini, dan tahun - tahun mendatang. Apabila Indonesia tak memanfaatkan momentum emas ini, betapa ruginya Indonesia, betapa bobroknya jaminan anak cucu bangsa di masa depan. Oleh karena itu, manfaatkan Bonus Demografi, yuk !.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun