Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Sensus Pertamaku

16 Mei 2011   03:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:37 476 0
Takdir membawa saya menjadi petugas sensus, meskipun sungguh, seumur hidup saya tidak pernah bercita-cita menjadi petugas sensus. Begitulah, menguatkan pembuktian bagi saya, bahwa bagaimanapun manusia hanya bisa berencana, Ia jugalah yang akan menentukan bagaimana jadinya.

Kali ini, kawan... Saya berhutang janji. Janji kepada seorang kawan, yang meminta saya menuliskan pengalaman sebagai petugas sensus. Tahun ini, sejak sensus pertama saya, adalah tahun ke-10 di dunia sensus dan survey. Namun, kali ini saya hanya akan membagi kisah sensus pertama saya. Semoga kawan berkenan membacanya.

Tahun 2000. Status sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, yang merupakan sekolah kedinasan di bawah Badan Pusat Statistik, memberikan kami kesempatan untuk terjun langsung dalam kegiatan pendataan penduduk akbar ketika itu, SP2000, nama kegiatannya.

Saat itu, saya bertugas sebagai petugas pencacah lapangan (PCL - istilah resmi yang biasa digunakan oleh BPS) di salah satu Kelurahan di Jakarta Selatan. Hari-hari yang melelahkan, namun banyak memberikan pengalaman yang bermanfaat untuk kegiatan sensus dan survey saya di masa yang akan datang. (status saya yang kemudian beralih menjadi PNS di BPS membuat julukan 'Petugas Sensus' makin melekat, =D)

Setelah melewati serangkaian pelatihan, semua petugas yang dilibatkan dalam sensus dan survey yang dilakukan BPS dilatih terlebih dahulu untuk pemahaman konsep dan definisi, tujuan survey, serta role playing agar tidak kaku ketika sudah melaksanakan tugas di lapangan. Mulailah hari-hari saya sebagai petugas sensus...

1. Me and my uniform...

Ketika masih kecil, saya diajarkan untuk 'bertanyalah kepada orang yang berseragam'. Entah mengapa petuah ini disampaikan. Namun begitulah. Takdir membawa saya untuk tidak pernah lepas dari seragam. Sekolah, kuliah, bahkan hingga bekerja pun saya menggunakan seragam.

Seragam saya di kala itu berwarna krem, dengan rok berwarna coklat muda. Seperti juga sekolah kedinasan lainnya, saya juga mengenakan atribut seperti pangkat, papan nama, dan atribut lainnya. Berbeda dari SP2010, ketika SP2000 petugasnya tidak diberikan seragam. Namun, bekal 'petuah' masa kecil itu membuat saya berinisiatif menggunakan seragam kuliah dalam melaksanakan SP2000.

Kejadian paling lucu dari penggunaan seragam ini adalah ketika saya berada di tengah perumahan kumuh. Saat itu hari belumlah siang benar, sebagian warga masih asyik dengan aktifitasnya masing-masing. Termasuk sekelompok bapak-bapak yang saya perhatikan sedang bermain judi. Walau dari jarak sekitar 50 meter, saya sudah bisa memperhatikannya dengan melihat tumpukan uang yang ada di meja. Begitu melihat saya yang berseragam (walau sekarang ini saya pikir-pikir saya kok nekat sekali, datang ke tempat-tempat seperti itu sendirian tanpa kawalan RT, hanya bermodalkan seragam!), hanya dalam hitungan detik meja tadi sirna dari pandangan saya. =D Diiringi sikap kikuk bapak-bapak tadi, yang beberapa diantaranya juga dalam hitungan detik menghilang dari pandangan saya. Hanya yang kurang beruntung saja yang terjebak dan tidak bisa pergi karena sudah terlanjur saya sapa.

Dan kalimat sakti saya ucapkan, "Maaf Bapak, Ibu. Selamat siang. Saya petugas sensus dari Badan Pusat Statistik. Saya akan melakukan pendataan terhadap keluarga Bapak/Ibu. Ini surat ijin dari RT, juga telah diketahui oleh RW dan Kelurahan. Boleh saya minta waktunya sebentar?"

Diiringi bisik-bisik tetangga sekitar, dan pandangan penuh tanda tanya, saya lanjutkan, "Ini gratis kok Bapak/Ibu. Dan informasi yang diperoleh bersifat rahasia --sambil menunjukkan kata-kata RAHASIA di ujung formulir sensus--". Maka satu persatu bapak-bapak yang menghilang tadi dengan segera sudah dapat saya temui lagi.

Dengan polosnya salah seorang bapak berkata, "Maaf, mbak. Tadi saya pikir polisi..."

Sungguh saya tak dapat menahan senyum. Semua yang mengenal saya tentu akan sepakat bahwa saya tidak akan masuk test kepolisian, mengingat tinggi yang tidak seberapa. =D

Namun jawaban saya kala itu, "Terus... Kalau saya bukan polisi, Bapak akan meneruskan kegiatan Bapak tadi?" yang dijawab senyum kecut si Bapak.

Dan kemudian saya pun beranjak dari tempat itu, diiringi langkah-langkah kaki anak-anak kecil yang berkata, "Mbak sensus... Mbak sensus... Rumah saya kapan didatangi?"

2. Mbak atau Mas?

Masih di lokasi yang sama, seorang ibu memperingatkan saya, "Mbak... hati-hati. Yang tinggal disitu seorang waria..."

Pada waktu itu, seumur hidup saya, baru sekali itulah saya berinteraksi secara langsung dengan seorang waria. Setelah berkali-kali mengetuk pintu sambil mengucap salam, dan tidak ada jawaban, saya beranjak pergi. Namun, dari kejauhan ada yang menghampiri saya. Seorang laki-laki muda mengenakan celana pendek, tanpa baju, dengan lilitan handuk di kepalanya. Sepertinya dia baru saja selesai mandi di tepi sungai sana, karena dia berjalan dari arah jembatan.

Ketika saya menyapanya, "Maaf, Mas. Minta waktunya sebentar..."

Dengan gusar dia menjawab, "Mas... Mas... Ngga bisa lihat ya? Mbak!"

Tentu saja saya kaget. Penglihatan sayalah yang menyimpulkan saya memanggilnya Mas. Konsep jenis kelamin di dalam pertanyaan SP2000 (dan survey lainnya di BPS) hanya menyediakan dua kemungkinan jenis kelamin, yaitu Laki-laki dan Perempuan.

Baru pada tahun 2009, ketika mendapat kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan survey yang respondennya adalah waria, dan saya berkesempatan mewawancarai salah seorang ketua kelompok waria, saya memberanikan diri menanyakan kepadanya, seperti apa saya harus menyapanya. Mengingat pengalaman kurang mengenakkan pada sensus pertama itu.

"Mbak... (ya, saya memanggilnya Mbak. Walaupun secara hukum dia belum menjadi wanita. Untuk menjaga komunikasi di antara kami). Saya minta maaf sebelumnya. Tadi kita sudah berdiskusi bahwa secara fisik Mbak masih pria. Maka, bukan tidak menghormati Mbak, tapi di kuisioner ini saya harus mengisikan jenis kelamin Mbak adalah Laki-laki."

Syukurlah dia tersenyum, menandakan ia tidak keberatan.

"Boleh saya bertanya?" Lanjut saya. Lalu saya menceritakan kisah saya itu... Dan jawabannya adalah...

"Kalau bingung, atau takut canggung, panggil saja Kakak..." ujarnya tersenyum, "Beberapa di antara kami memang beranggapan bahwa kami memang betul-betul perempuan, hanya berada dalam fisik laki-laki." Namun saya memutuskan sampai akhir wawancara tetap memanggilnya Mbak.

3. Copet itu masuk pekerjaan apa?

Salah satu jenis pertanyaan dalam kuisioner SP2000 adalah pertanyaan tentang pekerjaan. Seperti biasa, prosedurnya adalah, mengucapkan salam, menyampaikan tujuan kedatangan, memperlihatkan ijin dari RT/RW setempat, dan menerangkan bahwa segala informasi yang diberikan bersifat rahasia. Dan hanya akan digunakan untuk kepentingan pendataan penduduk.

Tibalah saya di rumah kontrakan. Sepertinya kamar berukuran 3x3 m ini disewa oleh banyak orang. Informasi dari salah seorang anggota rumah tangganya, kamar ini ditempati oleh 8 orang. Empat di antaranya bekerja dari malam sampai siang, dan empat lainnya dari siang sampai malam. Jadi, mereka menggunakan kamar ini bergantian. Empat yang bekerja di malam hari itu adalah pedagang di salah satu pasar yang cukup besar di dekat situ. Dua dari yang bekerja di siang hari bekerja sebagai juru parkir. Yang satu orang bekerja sebagai supir metromini. Dan lelaki di hadapan saya? Jawaban dari item pertanyaan pekerjaan adalah...

"Copet..." Jawabnya santai. Saya memandangnya heran, dengan tangan refleks meraih tas untuk memastikan tas dan segala isinya berada di tempatnya. "Tadi mbak bilang ini rahasia kan?" lanjutnya lagi. Saya mengangguk. Sambil bingung, tentu saja. Menghargai kejujurannya, namun juga tidak mengerti, termasuk kategori lapangan pekerjaan apakah copet itu?

4. Rahasia?

Rahasia. Tiba-tiba kalimat ini membuat saya pusing kepala. Dalam waktu kurang dari sebulan sudah banyak 'rahasia' yang harus saya pegang. Seperti tanpa sengaja saya jadi mengetahui 'urusan rumah tangga' orang lain. Seringkali responden sendiri yang bercerita, tanpa diminta.

Seperti yang satu ini... Bersamaan dengan SP2000, waktu itu ada suplemen pertanyaan tentang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Targetnya adalah, mereka yang memiliki ketidaksempurnaan fisik dan/atau mental, tuna wisma, waria, psk, dan pengguna narkoba.

Hari terakhir pelaksanaan pencacahan lapangan yang menjadi tugas saya. Tibalah saya di rumah besar, yang cukup membuat kesal. Karena penjaganya terus saja mengatakan tidak ada orang di rumah, dan menolak memberikan informasi apapun, bahkan untuk membuat janji dengan si pemilik rumah sekalipun. Ingin saja rasanya mengabaikan anggota rumah tangga ini dari penduduk Indonesia yang wajib saya datangi. Namun mau bilang apa?

Di kunjungan ke empat, mungkin saya beruntung. Karena ketika penjaga rumah bilang, "Bapak tidak ada." Ada suara dari dalam yang bertanya "Siapa itu?"

Dengan muka kesal saya menjawab, "Petugas Sensus, Pak."

Akhirnya setelah menunggu 5 sampai 10 menit, Bapak itu mengizinkan saya masuk. Dan saya pun masih menatap penjaga rumah itu dengan kesal, karena telah membohongi saya.

Sambil meminta maaf karena telah membuat saya menunggu, si Bapak meminta pelayannya untuk membuatkan saya minum. Lalu datanglah secangkir teh hangat dengan sepiring donat dari toko yang cukup terkenal. Tentu saja saya jawab, "Tidak usah repot-repot, Pak." Karena memang data yang dia berikan lebih berarti dari itu semua. Data terakhir yang harus saya dapatkan, untuk kemudian berlibur. Karena kegiatan SP2000 ini bersamaan dengan masa libur kuliah.

Namun untuk menghilangkan rasa lelah dan ingin sekedar berteduh, di rumah ini betul-betul saya tanyakan semua item pertanyaan, yang sebetulnya tidak perlu saya tanyakan sekalipun (seperti jenis lantai, atap terluas, hehe... sebetulnya ini kan bisa dilihat). Dan tibalah pada pertanyaan PMKS. Jika sebelumnya si Bapak berkata bahwa pekerjaannya adalah Makelar Tanah, disini ia sepenuhnya mengakui bahwa ia adalah pengguna narkoba. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhannya itu pula, dia juga memperjualbelikan narkoba. Wah, tidak karuan rasanya mendapatkan info ini. Seringkali saya tidak habis pikir bagaimana seseorang bisa begitu jujur pada orang yang baru dikenalnya, yaitu saya. Namun ya, tugas saya hanya merekam semua jawaban. Dan saya melakukan itu.

Hingga tiba di akhir pertanyaan, dan saya pun memutuskan untuk segera beranjak pergi. Tentu saja saya khawatir akan keselamatan diri saya. Karena dia juga mengatakan, alasan bahwa ia sulit ditemui bukan karena semata-mata ia sulit ditemui, tapi sedang berada dalam kondisi yang tidak mungkin ditemui.

Sebagai tuan rumah yang baik, dia meminta saya untuk mencicipi makanan dan minuman di hadapan saya. "Diminum dulu, Mbak. Kuenya juga dimakan..."

Namun saya hanya diam, tidak menjawab. Terus terang saya khawatir ada sesuatu di makanan atau minuman itu. Diluar dugaan, dia berkata, "Jangan khawatir, Mbak. Ini bagian dari rejeki saya yang halal..."

Tak urung saya tersenyum. Dalam hati saya berkata, "Bisakah dipisahkan mana yang halal dan mana yang haram..."

**

Cerita di atas hanya sebagian saja dari sekian banyak cerita unik tentang sensus dan survey. Pekerjaan yang menarik, sebetulnya. Membuat kita dapat berinteraksi dengan segala macam lapisan masyarakat. Seringkali terpikirkan oleh saya, "Sebaiknya anggota DPR itu magang dulu jadi petugas sensus. Biar lebih baik dalam menyerap aspirasi rakyat, karena memang melihat, mendengar dan merasakan langsung bagaimana di lapangannya."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun