Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Belajar dari Tiga Seri Debat Pilpres Amerika

24 Oktober 2012   23:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:26 567 1

Memetik pelajaran dari proses pemilihan presiden Amerika Serikat.

Begitupun Obama, yang tampak keteteran pada debat pertama membahas topik kebijakan dalam negeri, terutama menyangkut buruknya kondisi perekonomian (3/10). Penampilannya disorot karena dianggap bermain terlalu defensif dan bergaya profesor nan cool, tak banyak bicara, namun sekalinya buka mulut menyodorkan angka-angka menjemukan. Jauh berbeda dengan penampilan meledak-ledaknya yang menyuarakan perubahan, berslogan “Yes, We Can” melawan John McCain pada pilpres 2008 silam. Beruntung, Obama belajar banyak dari kekurangannya, dan strike back pada debat kedua yang berformat townhall, bertema gabungan antara pandangan politik domestik dan internasional(16/10) serta debat terakhir bertopik mengenai kebijakan luar negeri (22/10).

Di luar urusan konten, setidaknya ada dua hal menarik dalam pelaksanaan debat presiden di AS. Pertama, debat selalu dilaksanakan di lingkungan kampus yakni debat pertama di University of Denver, Colorado, debat kedua di Hofstra University, Hempstead, New York, debat ketiga di Lynn University di Boca Raton, Florida, dan debat kandidat wapres antara Joe Biden melawan Paul Ryan di Centre College, Danville, Kentucky. Penyelenggara semua acara memang dipegang oleh Commission on Presidential Debate, namun plihan lokasi debat yang digelar di lingkungan kampus semakin menguatkan peran perguran tinggi sebagai pusat intelektual sebuah bangsa.

Sekadar mengingatkan, pada pilpres Indonesia 2009, debat resmi capres berlangsung tiga kali, masing-masing diselenggarakan Transcorp di Studio Trans TV, Metrotv di Studio Kedoya, dan RCTI di Balai Sarbini. Ditambah dua kali debat cawapres yang penyelenggaraannya dipegang SCTV di Studio Senayan City dan TV One di Hotel Bidakara.

Selain masalah tempat debat, hal menarik yakni mengenai moderator debat. Di sinilah kondisi kedua negara berbanding terbalik. Di AS, debat berlangsung di kampus dengan moderator jurnalis, editor, dan presenter televisi yang sangat dihormati reputasinya. Sebaliknya di Indonesia, debat berlangsung dengan Event Organizer dari pihak stasiun televisi, sementara pemandu debatnya dari kalangan kampus. Berturut-turut empat sesi debat capres dan cawapres AS dipandu Jim Lehrer (pengasuh acara NewsHour di televisi non-profit PBS), Martha Raddatz (Kepala Koresponden Luar Negeri ABC News), Candy Crowley (Kepala Koresponden Politik CNN), dan Bob Schieffer (host program Face the Nation di CBS). Para jurnalis televisi itu ditempatkan sebagai wakil publik yang dianggap memiliki kapasitas pengetahuan memadai, kritis, tapi juga diyakini netralitas dan independensinya. Khusus debat capres kedua di Hofstra University diformat dalam bentuk townhall, yang memungkinkan penonton –telah ditentukan langsung sebelumnya, bertanya langsung kepada Obama atau Romney.

Bandingkan dengan kelima seri debat capres dan cawapres Indonesia 2009 lalu. Meski digelar di kandang stasiun televisi, KPU justru menegaskan moderator debat bukan dari host terbaik masing-masing media, namun berasal dari kalangan perguruan tinggi. Mereka yang terpilih yakni Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan untuk debat capres bertema ‘Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih serta Menegakkan Supremasi Hukum’, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat pada debat cawapres bertopik ‘Pembangunan Jati Diri Bangsa’, Ekonom INDEF Aviliani untuk debat capres bertema ‘Mengentaskan Kemiskinan dan Pengangguran’, Ketua IDI Fahmi Idris pada debat cawapres bertopik ‘Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia’ dan Dekan Fisipol (kini rektor) UGM Pratikno untuk debat capres terakhir bertajuk ‘NKRI, Demokrasi, dan Otonomi Daerah’.

Bebas menyerang

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun