Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Mungkinkah Monopoli BUMN Dihapuskan?

29 September 2014   03:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:09 500 0
Dalam lingkungan sehari-hari seringkali terdengar keluh kesah dari masyarakat tentang semakin sulit dan mahalnya biaya untuk hidup, keadaan ini diperparah lagi dengan langkanya barang-barang kebutuhan hidup tersebut.

Ada seorang teman yang bercerita pada penulis, bahwa dikampungnya saat itu hanya ada satu penjual sayur, tentu saja penjual sayur tersebut sangat ramai jualanya di tiap harinya, karena mau tidak mau masyarakat kalau ingin makan sayur sudah tentu harus beli di orang tersebut, terlepas bahwa sebenarnya kualitas sayurnya itu jelek, harganya juga relatif mahal, atau bahkan hampir busuk pun sayuran tersebut, masyarakat akan selalu siap untuk membelinya, karena memang hanya ada satu penjual sayur di tempat mereka itu.

Hal berbeda terjadi, ketika di pasar tradisional mulai ada penjual sayur yang lain, awalnya satu orang, dan lama-lama banyak juga yang menjual sayur tersebut. Setelah itu terjadi, penjual sayur yang pertama tadi pun panik, yang sebelumnya dia "memonopoli" perdagangan sayur, mulai banyak ditinggalkan oleh konsumenya, hingga dia menurunkan harga pun tetap tidak banyak mempengaruhi keadaan.

Teman penulis tadi, membandingkan hal tersebut dengan keadaan BUMN di Indonesia dewasa ini, gambaran tentang sebuah perusahaan negara (BUMN) yang di beberapa sektor menguasai/memonopoli hajat hidup orang banyak, tetapi nasibnya hampir sama dengan penjual sayur yang pertama seperti cerita diatas.

Sebutlah seperti PLN, Telkom, Damri, GIA, PDAM, Pertamina, KAI, dll, yang masih sering hancur-hancuran dalam operasionalnya. Teman penulis tadi, membandingkan keadaan BUMN-BUMN tersebut dengan keadaan di negara-negara maju dunia ini, dimana akses yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti, listrik, air, angkutan umum, telekomunikasi, minyak, dll, tidak dikuasai oleh satu perusahaan saja (BUMN), dan selanjutnya oleh karena ada persaingan tersebutlah maka akan terciptalah motivasi, dimana setiap perusahaan saling berlomba meningkatkan kualitas produk dan layanan-nya, tujuanya sudah tentu jelas untuk menjadi yang terbaik dan menjadi pilihan banyak orang.

Contoh mudahnya seperti Telkom yang melepaskan monopolinya sehingga kemudian ada Indosat, dll, dimana akhirnya akses semakin mudah, harga semakin bersaing dan ada macam banyak pilihan operator selular. Lantas si koneksi internet ada First Media, yang selanjutnya persaingan di provider pun semakin kompetitif, kemudian GIA dimana setelah dilepaskan monopolinya, juga terjadi efisiensi market, dll.

Nah berdasarkan analogi tersebut bukankah lebih baik kalau monopoli BUMN itu mulai dihapuskan, dan swsata diijinkan untuk melakukan usaha dibidang sejenis, agar kedepanya akses semakin mudah, harga bersaing, dan pelayanan semakin baik ?

Sebenarnya semua hal itu perlu dibuka untuk swasta sehingga tercipta persaingan, untuk sektor-sektor yang menguasai hajat hidup rakyat, terutama sektor yang mempengaruhi FOH cost (mempengaruhi inflasi) seperti energi dan listrik itu sangatlah rawan menimbulkan gejolak kalau dilepaskan sesuai mekanisme market, apalagi sektor-sektor tersebut masih menggunakan subsidi, tentu saja disini masih perlu pengelolaan oleh negara.

Ada alasan yang sangat baik kenapa negara masih harus memonopoli sektor-sektor tertentu, yaitu untuk menjaga kestabilan harga sendiri. Selain itu di beberapa sektor sebenarnya juga sudah dibuka untuk swasta, seperti di PLN, swasta sudah diperbolehkan untuk masuk di pembangkit listrik-nya, sedangkan untuk distribusinya memang masih di pegang oleh PLN sendiri, karena jika distribusi listrik juga diserahkan ke swasta, tentu saja swasta selanjutnya akan berbondong-bondong melayani masyarakat di perkotaan saja atau tebang pilih, karena memang di sana tempat duitnya. Tapi masyarakat di pelosok tidak akan dilayani swasta, karena untuk menarik kabel ke sana mereka akan mengeluarkan biaya yang sangat besar, padahal uang di sana juga sedikit, jadi cost yang dibutuhkan tidak akan sesuai dengan return yang didapat, dan pengusaha tentu akan menghindari keadaan seperti ini.

Lihat saja seperti kasus provider seluler, ketika swasta diperbolehkan masuk, memang harga bersaing, tetapi dalam aplikasinya swasta juga sering tebang pilih, anda bisa lihat kenapa di pedalaman hanya ada sinyal telkomsel, kemana indosat, xl, dan lain-lainnya ? Tentu saja yang berani bangun insfratuktur di pedalaman itu hanya Telkomsel meskipun mereka akhirnya merugi, sedangkan swasta tentu saja mereka akan menghindari tempat-tempat tersebut, jadi masuknya swasta tentunya dalam hal ini juga memerlukan persyaratan agar mencapai manfaat yang diinginkan.

Sebenarnya tanpa harus melepaskan semua sektor kepada swasta-pun, bukan berarti kualitas layanannya tidak bisa ditingkatkan juga, seharusnya BUMN bisa membuat standar layanan minimum untuk suatu layanan publik, dan hal tersebut tinggal lihat kemauan pihak terkait saja.

Kita bisa melihat bagaimana China menyikapi BUMN-nya, sejak tahun 1994, China memberlakukan kebijakan dividend payout ratio (DPOR) sebesar 0% terhadap seluruh BUMN-nya. Yang artinya pemerintah China tidak meminta deviden kepada BUMN-BUMN mereka. Tujuannya sudah tentu jelas, agar seluruh hasil laba BUMN bisa dipergunakan untuk memperbesar usaha BUMN tersebut dengan meningkatkan pembentukan modal (capital formation) atau investasi.

Kita bisa melihat juga dengan kebijakan DPOR 0% tersebut, hal itu tidak hanya menyebabkan BUMN Tiongkok menjadi perusahaan sehat dan kuat di tingkat global, tetapi juga mampu menjadi kontributor utama bagi ekonomi Tiongkok sendiri yang dalam satu dekade terakhir tumbuh rata-rata sekitar 10%. Nah dalam hal inilah seharusnya kita mau belajar, dimana BUMN seperti di China tadi mampu untuk menjalankan perananya sebagai agent of development, BUMN bisa dipakai untuk berbisnis menghasilkan kontribusi kepada negara dan terhadap pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Bandingkan dengan Indonesia, BUMN seringnya hanya sekedar sebagai alat untuk menyalurkan kebijakan pemerintah saja, seringkali tugasnya hanya menyetabilkan harga saja tanpa ada improve dalam plan kerjanya, sehingga banyak yang merugi dan ujung-ujung-nya ya dijual juga. Apalagi kalau sudah ada banyak pesaing,

Jadi kesimpulanya tidak selamanya 'true believers of market mechanism' itu akan melahirkan struktur kompetisi yang sempurna, di sisi lain seandainya monopoli dan BUMN bisa membuat korupsi via mekanisme politik, tentu saja di sistem sesuai mekanisme pasar juga memungkinkan 'pembandaran politik', yang seolah tidak terlihat secara struktur, tapi secara proses 'back door' terjadi juga korupsi via mekanisme pasar.

Poinnya adalah 'structural reform' seperti yang dilakukan oleh China tadi bukan malah melepas sesuai mekanisme pasar, dalam hal ini dibutuhkan leadership yang kuat dan punya power yang tinggi, tidak hanya penuh dengan konsep "check and balance" saja, yang di satu sisi membuat top management malah tersandera approval banyak pihak sampai waktunya habis terbuang percuma dan hanya menjadi sebuah 'wacana'.

Sudah seharusnya Indonesia mau untuk berpikir out of the box, tapi tentu saja masih dalam batas rasionalitas yang tanpa melanggar konstitusi, karena tanpa ada kebijakan terobosan yang bagus, sulit bagi Indonesia untuk bisa merealisasikan target-target besar BUMN kita, semoga kedepanya kebijakan pemerintah lebih tepat lagi demi suksesnya BUMN dan roda pembangunan ekonomi Indonesia sendiri.

Salam monopoli BUMN.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun