Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa

Esai: Glenn Fredly Bermain "Ping-Pong Hidup" dengan Sutardji Calzoum Bachri

17 September 2010   10:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10 445 0
Glenn Fredly Bermain "Ping-Pong Hidup" dengan Sutardji Calzoum Bachri (Sebuah fragmentasi kemabukan) Oleh: John Ferry Sihotang Absurd sedih tak berujung - glenn fredly: selamat tinggal kisah tak berujung kini ku kan berhenti berharap perpisahan kali ini untukku akan menjadi kisah sedih yang tak berujung. Jiwa manusia memang mudah rapuh, menderita. Ada yang melihat bahwa penderitaan manusia tak pernah berakhir, mengamini Budha: hidup itu penderitaan. Schopenhauer juga melihat betapa tragis dan getir hidup itu. Bahwa alam dan manusia adalah hasil dari kehendak irasional. Seperti kata Schopenhauer bahwa hasrat untuk mengejar rasa kebahagiaan merupakan satu kehendak tak masuk akal yang akhirnya kembali membawa "the state of sadness". Dan akibatnya, seperti nalar Schopenhaurian, kebahagiaan adalah penderitaan itu sendiri. Kita tidak dapat menggapai kebahagiaan, hanya bisa menghindarinya, dengan sebuah perlawanan: Kesenian. Seni itu menjadi proposisi yang ditawarkan Schopenhauer menghindari tragisnya kehidupan. Apakah dunia ini memang hanya panggung kesedihan? Apakah kebahagiaan hanya ada di surga yang entah dimana itu? Kaum agamais tentu akan mengatakan bahwa kehidupan di dunia ini hanya semu. Penderitaan akan menguntit tiap perjalanan, kemanapun kita pergi. Walau kita menggapai kebahagian namun lama-kelamaan akan melebur juga menjadi kesedihan: Kejemuan. Itulah hidup. Hasrat dan keinginan untuk kebahagiaan akan memperbudak kita. Absurd! Namun tak bisa kita tolak bahwa kita sudah harus masuk keterkondisian dunia ini. Keterlanjuran menjadi keterasingan hidup yang seakan tak berdaya. Para Supir harus berputar terus menerus dengan rute yang sama. Kaum petani harus mencangkul terus-menerus berpuluh-puluh tahun. Para pemuda lajang bertualang mencari pasangan hidupnya untuk mengasuh tragedi – yang berujung pada kesetiaan atau pengkhianatan. Apakah semua laku itu untuk sekedar hidup atau memang dunia ini absurd? Apakah lagu Glenn diatas harus menjadi litani ratapan panjang semua orang: bahwa hidup hanya rangkaian kesedihan tak berujung? Rupa-rupanya manusia terkutuk dalam keterlemparannya, seperti yang dilihat Albert Camus bahwa hidup ini absurd. Dunia itu menjadi arena tak masuk di akal, tak bermakna: manusia mencari makna mendalam kehidupan, namun tak menemukannya dengan utuh. Segala kondisi kemanusiaan, baik itu sedih atau senang, berujung pada absurditas, kata Camus. Absurditas menjadi keharusan yang datang menjelang sebagai konfrontasi antara kehendak irasional dan hasrat tak terbendung akan kejelasan makna yang gemanya bergaung di relung terdalam hati manusia. Seperti yang tertulis dalam Mite Sisifus, selalu ada konfrontasi abadi manusia dengan kegelapannya sendiri. Namun, berbeda dengan Schopenhauer, absurditas Camus adalah panggilan jiwa: memberontak untuk memakai topeng-topeng sang aktor manusia dalam panggung kehidupan. Tanpa harus menolak pemberontakan dalam absurditas itu, kesedihan dan kebahagian tak berujung itu tidak ada. Tak ada yang kekekalan. Akan tetapi, bukankah kesementaraan juga sesuatu yang absurd? Dan apakah pikiran kita bisa menerima yang absurd? (Duh. Main pingpong dulu, yuk!). Retak

shang hai - sutardji calzoum bachri:

ping di atas pong

pong di atas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

tak ya pong tak ya ping

ya tak ping ya tak pong

… sembilu jarakMu merancap nyaring

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun