Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Sore di Tepi Danau Kampus Depok

31 Agustus 2010   09:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34 162 0
31 Agustus 2010

Di bawah kerindangan pohon-pohon besar di tepi sebuah danau yang terletak di antara dualandmark kampusku, aku berteduh. Sekadar kebiasaanku di sore hari setiap Ramadhan menjelang berbuka puasa, setelah lelah dengan kuliah. Namun, kini aku sudah menjadi sarjana. Sebuah gelar yang kudapat setelah berjuang keras menyelesaikan skripsi di tengah keterbatasan biaya penelitian.Sebenarnya, kalau aku tidak teringat kedua orang tuaku di kampung yang sudah menginginkan anaknya segera menjadi sarjana dan bekerja untuk meringankan beban mereka di sana, aku lebih ingin menunda kelulusan karena kupikir aku belum berbuat banyak selama menjadi mahasiswa di kampus ini.

Kampus ini dengan adanya aku atau tidak adanya aku sepertinya sama saja. Mahasiswanya tetap akan belajar, sebagian mungkin ikut organisasi, birokrat kampus ini akan tetap mengeluarkan kebijakan sendiri, keamanan dan ketentraman kampus juga biasa-biasa saja. Aku teringat begitu menggebunya aku masuk kampus ini. Karena saat aku masih belajar di SMA di kampungku, ada beberapa mahasiswa dari kampus ini yang berkunjung ke SMA-ku menjelaskan macam-macam tentang kampus ini, dari mulai berbagai program studi yang ada sampai sejarah pergerakan kemahasiswaan kampus ini pun diceritakan. Dari dulu, aku memang bercita-cita untuk menjadi mahasiswa kampus ini. Bahkan, bukan hanya sekadar mahasiswa tetapi menjadi aktivis mahasiswa yang memotori perubahan sosial untuk masyarakat dari kampus ini. Karena aku sering membaca bagaimana mereka dulu para aktivis mahasiswa kampus ini menjadi bermanfaat bagi masyarakat dan kemudian menjadi orang hebat setelah lulus dari kampus ini. Tidak hanya membaca tetapi juga aku pun ternyata menemukan secara langsung sosok orang-orang hebat dari senior SMA-ku yang masuk ke kampus tersebut dan menjadi aktivis mahasiswa, para seniorku itu berubah, mereka terlihat lebih hebat daripada sebelumnya.

“Woi ! Bang Jimi !” Sebuah suara membuyarkan lamunanku, suara bocah yang sudah familiar dengan telingaku, ya, itu pasti suara Musta’ribah.

“Assalamualaykumm gitu kek Rib ! Dah berapa kali saya bilang kalo nyapa orang jangan wai-woi-wai-woi aja, malu tuh sama nama yang katanya dari nama suku Arab cucu moyang Nabi Ibrahim” Sedikit kutegur anak itu dengan sindiran, karena namanya memang diambil dari suku Musta’ribah yang merupakan cucu moyang Nabi Ibrahim AS. Aku dulu memang tidak percaya nama dia diambil dari sana ketika pertama kali kutanyakan kepada orang tuanya yang membuka Warteg di Belakang Rel.

“Iya, abang lagi baca cerita Nabi Muhammad yang abang pinjem dari toko buku sebelah nih, waktu nunggu lahirannye die, nah baru halaman awal-awal ada nama itu Musta’ribah, bagus juga ya udah abang jadiin aja dah tuh nama buat die” Begitu penjelasan ayahnya. Dia pasti membaca Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfury halaman awal tentang bangsa Arab, sebuah bagian yang luput dari ingatanku ketika itu sehingga aku tak percaya nama tersebut diambil dari sana.

“Yah...dia bengong lagi, mikirin apa sih bang ? Gak biasanya abang gini, biasanya kalo lagi disini pasti nyoret-nyoret di kertas, bikin rencana apa gitu, ini mah bengong mulu” Usik Musta’ribah lagi yang kembali membuyarkan pikiranku. “Saya lagi mikirin kamu, gimana nasib kamu kalau pintu belakang rel gak dibuka-buka ?” Akhirnya kegelisahanku kuungkapkan jua.

“Yaaa...tenang aja bang, saya kan masih bisa jualan koran, masih bisa jualan tisu, lagian masih ada yang mampir di warung bapak, Insya ALLAH, saya sama bapak-ibu masih bisa idup bang !” Jawab dia dengan mantap.

Sebuah jawaban yang keluar meyakinkan dari mulut anak yang menjual koran dan tisu. Aku memang mengenalnya pertama kali sebagai pejual koran sekaligus tisu. Anak yang umurnya kira-kira sepuluh tahun itu termasuk periang, lincah, meski tubuhnya kecil dan kucel. Bila berkali-kali menawarkan dagangannya tidak ada yang mau membeli, dia akan menyanyi, menyanyi lagu apa saja asal ceria, sehingga membuatnya tetap bersemangat.


Meski begitu, kepadaku Musta’ribah pernah mengeluh. Katanya, hidupnya memang semakin sulit semenjak pintu Belakang Rel ditutup. Jadi, dia semakin menggantungkan hidupnya dari orang-orang yang membeli koran dan tisunya. Tetapi dia merasa, kebanyakan orang-orang yang mau membeli tisu dan korannya bukan karena sangat membutuhkannya, tapi lebih karena kasihan. Karenanya, begitu orang-orang memakai Blackberry atau telepon genggam pintar yang bisa membaca berita dengan cepat serta orang-orang mulai berkampanye go green, penghasilannya setiap hari berkurang karena koran sudah tidak dibutuhkan dan memakai tisu artinya menambah panas bumi. Apalagi sekarang ditambah dengan ditutupnya pintu belakang rel kampus ini. Anak tersebut dan keluarganya semakin dijerat kesusahan karena harus tetap mengepulkan dapur dan mendapatkan ongkos pergi sekolah Musta’ribah yang harus menggunakan minimal dua angkot
31 Agustus 2006

Pertama kali mengenalnya ketika aku sedang seperti ini di sore hari berteduh di bawah pohon rindang di tepi danau ini juga, tapi saat itu aku masih menjadi mahasiswa baru dan pintu belakang rel belum ditutup serta rektor kampus ini pun belum yang sekarang. Saat itu seorang anak kira-kira berusia enam tahun datang menawarkan koran. Waktu itu baru selesai Paduan Suara dan matahari hampir mencapai puncaknya. Sebentar lagi azan Zuhur akan berkumandang.

“Bang, koran Bang ?” katanya dengan nada khas anak-anak. Aku menggeleng. “Kalo gitu, tisu Bang ?” Aku tertawa tertahan ketika melihatnya. Anak itu begitu sibuk dengan bawaannya. Aku pun menggeleng lagi. Anak itu kelihatan lesu ketika tahu jawabanku. Dia duduk dengan lemah di bawah salah satu pohon mengipas-ngipasi dirinya. Aku kasihan juga melihatnya maka aku pun memanggilnya.

“Mau beli koran apa tisu, Bang ?” tanyanya ketika aku memanggilnya.

“Iya. Mau beli koran Tempo, Media Indonesia, Kompas sama Top Skor, ada ?”

“Wah banyak amat Bang ! Tapi tenang aja stok masih banyak nih saya, tapi beneran mau beli semua tu Bang ?” Anak itu tersenyum namun sedikit kurang percaya bahwa aku memang ingin membeli semua koran itu.

“Ya beneran lah masak nepu, yah, lumayan buat nambah pengetahuan” kataku yang memang ingin membaca harian-harian tersebut. Mata anak itu benar-benar berbinar dan segera menyerahkan media cetak yang aku inginkan.


Sejak itu aku dan dia bersahabat. Setiap aku ke tepi danau tersebut, dia selalu menawarkan koran atau tisunya. Aku pun selalu membelinya. Kadang aku pun menyisipkan uang lebih dari seharusnya. Dia senang walau kadang kalau lagi rejeki berlebih, anak itu suka menolak. Entahlah, anak itu begitu polos dan keras juga hatinya.
31 Mei 2011

Sejak beberapa bulan lalu aku tidak pernah lagi datang ke tepi danau kampusku itu. Bukan apa-apa, aku sudah bekerja. Karenanya aku mesti bolak-balik kostan-kantor dan tidak sempat sama sekali mengunjungi almamaterku walau aku ngekost di Depok, apalagi ke tepi danau tempat favoritku di kampus itu. Baru kali ini aku bisa datang lagi ke tepi danau ini karena pulang agak cepat dan sekarang baru sore pukul empat. Seperti biasa aku berteduh di salah satu pohon rindang yang menghadap ke danau di antara dua bangunan landmark kampus ini. Bahkan, landmarknya bertambah satu dengan sebuah bangunan di belakang tempat ibadah di sisi kanan danau.

Tepi danau ini memang menjadi saksi perjalananku semenjak menjejakkan kaki di Depok. Ketika aku menjadi mahasiswa baru. Hampir setiap sore aku datang ke sini untuk mengerjakan tugas-tugas orientasi. Ketika aku ditunjuk untuk pertama kalinya menjadi ketua panitia sebuah kegiatan, di tempat ini aku merancang rencanaku. Tempat ini juga yang menjadi saksi bagaimana aku berlatih sidang skripsiku. Dan di tempat ini jugalah aku bertemu salah seorang senior yang akhirnya menawari aku bekerja. Tempat ini jugalah tempat aku melepaskan lelah setelah penat oleh kuliah.

Kali ini pula setelah penat bekerja aku ke tepi danau ini. Aku merebahkan diri di sebuah bangku yang kosong. Kini tepi danau ini dilengkapi bangku. Baru saja aku duduk ketika tiba-tiba suara-suara gaduh terdengar dari arah sebuah halte bis kampus. Ada seorang anak berlari diikuti gerombolan massa yang mengejarnya dan meneriakinya “Copet ! Copet ! Copet !”

Aku kenal anak itu ! Dia Musta’ribah ! Aku segera berlari juga mengejarnya untuk menyelamatkannya dari amukan massa tapi terlambat, massa menangkapnya duluan dan segera menghajarnya. Setelah puas menghajar bocah tersebut dan dompet korban copet bocah tersebut sudah dikembalikan massa lalu membawa bocah tersebut ke Pos Satpam. Ketika Musta’ribah melihatku dia menundukkan kepalanya. Aku menerobos massa yang berkerubung di Pos Satpam. Aku sudah berhadapan dengan dia sekarang.

“Kenapa tidak jualan koran dan tisu lagi Rib ?”

Dengan menahan sakit sambil meringis dia menjawab “Jualan koran dan tisu sudah tidak lagi bisa diandalkan untuk kebutuhan hidup, Bang ! Ditambah Warteg Bapak-Ibu sudah bangkrut karena jarang ada yang beli, karena pintu itu gak dibuka-buka sama kampus ini, Bang ! Kalau nyopet, hasilnya lumayan Bang, lagian gampang dan juga temen-temen abang ‘kan kaya-kaya tuh liat aja mobilnya banyak banget di parkiran masjid.”

Aku tidak menanggapi ceritanya. Ada sesuatu yang membuatku tak bisa bicara. Sesuatu yang aku pikirkan dari dulu. Aku jadi teringat sebuah komentar di Facebook-ku dari seorang junior di kampus.



“Ya memang orang jahat ada dimana aja dan bisa dalam kondisi kapan aja..
tapi kalau sudah sampai masyarakat sekitar yg melakukan tindak kriminal itu dan ini sudah terjadi terus menerus dan dilakukan juga oleh masyarakat sekitar, terlepas dari apakah adanya sindikat penjahat ataupun tidak, maka bisa jadi disebabkan
kampus ini tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat sekitar dan akhirnya masyarakat cenderung melakukan tindak kriminal di kampus ini agar mendapatkan keuntungan bagi mereka....[1]



Sementara matahari masih memanggang di sore hari. Angin bertiup lembut, seperti ingin menyanyikan nyanyian keceriaan yang biasa Musta’ribah nyanyikan...Atau bahkan seperti lagu “Kampus Depok” yang dinyanyikan Slank



Banyak Orang Bicara Tentang Kebebasan
Banyak Orang Bicara Tentang Keyakinan
dan Banyak Orang Bicara Tentang Keadilan
Banyak Orang Bicara Tentang Perubahan
P
ok Pok Pok Pok Prorok Pok
Pap Pap Pap Pap Pariya Riye


Semuanya Cuma Dalam Bisikan

Semuanya Cuma Tutup Mata Saja
Semuanya Nggak Berbuat Apa-apa[2]



*Depok, 31 Agustus 2010/ 21 Ramadhan 1431 Hijriyah

**Tepat sudah tiga bulan pintu barel ditutup


[1] Komentar dari Ali Abdillah FH 2009

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun