Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Memoar tentang Uskup Sintang dan Sebuah Epilog tentang Perbatasan (Bagian II)

8 Agustus 2011   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59 113 0
..............

Dari pemaparan beliau, secara tersirat pemerintah negara kita telah dipandang sedemikian tidak baiknya. Pertama, sok generalis, menganggap dirinya paling tahu dengan persoalan yang ada, dan menganggap persoalan ialah seragam, dan dengan satu solusi yang sifatnya umum dan ‘permukaan’ semuanya selesai, simsalabim! Kedua, sok nasionalis. Nasionalisme itu baru bisa bermakna jika ada niat dan juga tindakan. Dari sisi pemerintah, nasionalisme itu bisa jadi bermakna kalau ada niat (will) untuk mengembangkan daerah-daerah perbatasan, serta mendorong kesempatan bahwa masyarakat perbatasan itu juga berhak memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti halnya masyarakat lainnya di negeri ini.

Tindakannya, ya sederhananya dimulai dari politik anggaran serta memacu pembangunan infrastruktur di daerah yang terkait. Tidak ada uang? Mungkin yang tak ada hanya niat dan keseriusan. Provinsi-provinsi yang memiliki wilayah perbatasan, termasuk Kalimantan Barat, itu provinsi yang umumnya kaya sumber daya alamnya. Belum lagi, negara ini juga secara sumber daya tersebut kan juga tidak miskin. Peran pemerintah daerah, selain mengelola anggaran baik dari dirinya sendiri maupun pemerintah pusat, juga menangani persoalan perbatasan yang ada di daerah terkait. Itu esensi dari otonomi daerah kan, sehingga persoalan di suatu daerah dapat lebih tertangani dengan baik? Dari sisi pemerintah pusat, jangan jadikan otonomi daerah untuk begitu saja ‘melepaskan tanggung jawab’ untuk memastikan daerah telah terkelola dengan baik.

Cerita berikut agak miris, mengenai TNI. Sekali lagi, dengan satire, beliau berujar bahwa untuk kasus di Kapuas Hulu, kehadiran TNI itu justru menambah menambah runyam persoalan. Lho, kok..? Ya, ujar beliau, kehadiran pasukan TNI justru membuat warga takut dan’tidak bebas‘ menjalankan aktivitas sehari-hari.

Aku berharap diriku tidak gegabah dan terkaget-kaget mendengar kata-kata tersebut. Aku memutuskan untuk tetap tenang, tidak memotong cerita beliau.

Beliau pun melanjutkan ceritanya. Pada beberapa kasus di Badau, personel TNI justru malah’bertindak di luar koridor.‘ Misalnya pada kasus ini, seorang pastor yang bertugas di Badau pulang kembali melintas perbatasan setelah pergi ke Serawak untuk membeli beberapa kebutuhan dasar seperti beras dan berbagai bahan makanan serta peralatan rumah. Di pos perbatasan, si pastor ini ‘dipalak‘ Rp.10.000,- untuk setiap jenis barang yang ia bawa, jika ingin melintas batas masuk kembali ke Indonesia. Kalau dia bawa 10 jenis barang kebutuhan, ya berarti si pastor itu harus membayar Rp.100.000,- ! Dengan catatan, pungutan tersebut tidak resmi dan tidak ada peraturan legalnya di pemerintah daerah setempat!

Bapak uskup memang tidak bisa menyalahkan personel TNI yang ada di sana jika harus melakukan hal seperti itu. Bapak uskup pernah mengajak bicara beberapa personel TNI yang ditempatkan untuk menjaga perbatasan. Gaji bulanan mereka terbilang kecil dan mungkin saja telah dikorupsi atasan dan atasannya sehingga semakin kecil lagi. Gaji mereka tidak cukup untuk menutupi tingginya biaya hidup di tempat tersebut akibat sangat terbatasnya akses. Oleh karena itu, ‘pungutan-pungutan’ seperti itu memang dilakukan secara terpaksa untuk mendapatkan uang tambahan.

Dari pandanganku sendiri, dalam hati aku berujar dengan perspektif yang berbeda. Kasihan sekali personel-personel TNI itu. Kalau bapak uskup berempati dengan kondisi mereka yang ditempatkan dengan gaji kecil dan sarana yang sangat terbatas, aku memandangnya berbeda. Para personel TNI penjaga perbatasan itu ditempatkan dengan’misi yang mengenaskan.‘ Di balik kecilnya upah dan tunjangan, mereka berdiri di garis perbatasan lengkap dengan senapan dan baju seragam yang gagah, padahal “ancaman“ yang datang dari Malaysia yang berada di depan mereka bukan ancaman desingan peluru ataupun invasi. Kalau itu dibilang’peperangan,‘ itulah peperangan bukan dengan peluru, namun dengan perihal sumber daya serta faktor-faktor ekonomi lainnya.

Selain “lingkaran setan” pada masalah-masalah perbatasan, beliau juga bercerita banyak mengenai hal-hal lainnya seperti penebangan hutan, perubahan iklim, serta kebijakan-kebijakan pemerintah seperti transmigrasi. Secara singkat, di balik positifnya pembangunan di era Orde Baru, beliau berujar bahwa transmigrasi yang terjadi terutama di Kalimantan Barat itu ibarat lomba lari, pemain yang satunya dilatih mengenai pertarungan lomba lari dan teknik-tekniknya, sementara pemain satunya lagi tidak dilatih sama sekali; malah pemain tersebut sebenarnya tidak punya minat pada lomba lari, melainkan cabang lain seperti lompat galah atau yang lainnya.

Itulah busuknya kebijakan transmigrasi yang kulihat di buku-buku SD sebagai suatu program yang ‘mulia’ dan katanya ‘memajukan masyarakat. Kata bapak uskup, dimanapun daerah di dunia ini, kalau ingin ada keseimbangan sosial, orang lokal-lah yang dibuat sejahtera dahulu, baru kemudian dibuka pendatang ke daerah tersebut. Orang lokal memiliki cara pandang dan cara hidup sendiri, dan jika ingin meningkatkan kesejahteraan mereka, tingkatkan kapasitas pada cara hidup dan cara pandang mereka, bukan malah memusnahkan cara hidup mereka dan menggantinya dengan cara lain yang belum tentu cocok.

Aku jadi ingat waktu SD ketika membaca buku pelajaran IPS yang memuat tentang transmigrasi, aku membacanya sambil geleng-geleng. Mengapa? Kok bisa ya orang yang bertanam padi di Jawa ditransmigrasikan ke daerah lain untuk menanam tumbuhan yang sama, padahal di sumber lain, pulau Jawa itu disebut “Pulau Padi” (Javadwipa) dan daerah seperti Kalimantan dan beberapa daerah lain misalnya, disebutkan tanahnya gambut dan tidak cocok untuk tanaman-tanaman seperti padi…

Lalu tentang pengalaman beliau menjadi pembicara dan panelis pada konferensi-konferensi mengenai deforestasi dan perubahan iklim, aku bertanya-tanya pada beliau, dari mana ilmu-ilmu tersebut didapat sehingga beliau dinilai kredibel untuk berbicara di forum-forum tersebut. Beliau hanya berujar sekali lagi, seperti kata Walikota Solo Joko Widodo, saya ini pakai perspektif orang bodoh, orang bodoh yang belajar dan terus belajar mengenai apa yang benar-benar terjadi di masyarakat. Pemikiran seperti itu pernah beliau ucapkan di sebuah konferensi perubahan iklim di Roma, Italia, bahwa dasar dan kebenaran dari apa yang ia sampaikan bersumber dari moral dan apa yang baik bagi kehidupan masyarakat.

Mengenai deforestasi, beliau juga mengakui bahwa beliau tak bosan-bosan menegur keras umat-umatnya yang menjadi pejabat-pejabat pemerintah daerah dan pengambil kebijakan, yang secara seronok membiarkan penebangan hutan merajalela serta menggalakan slogan “Tanam Sawit Jadi Kaya.” Padahal, beliau berujar bahwa Kelapa Sawit itu tanaman yang sangat boros air, 20 liter air di dalam tanah habis terserap hanya untuk satu pohon kelapa sawit. Maka dari itu, Kalimantan mengalami perubahan sejarah, dari yang dahulunya tak pernah kekeringan, sekarang setiap musim kemarau kekeringan.

Ternyata beliau juga salah seorang yang diundang pada pertemuan perwakilan masyarakat-masyarakat perbatasan se-Indonesia pada bulan April 2011 kemarin. Kurang lebih apa yang kudapat dari beliau ini disampaikannya dalam fórum tersebut.

Aku berbicara dengan beliau kurang lebih selama dua jam dari jam delapan malam lewat. Terlalu banyak hal yang kudapat dari beliau. Kesederhanaan, kerendahhatiannya, keramahannya, serta kemanusiaannya yang begitu tebal, ditambah dengan “perspektif orang bodoh, orang kecil” yang ia ungkapkan. Terlalu banyak hingga kubatasi sampai di sini saja. Semoga catatan ini menjadi suatu yang bernilai bagiku dan bagi sesama suatu hari nanti.

Terima kasih, bapak uskup….


Sintang, 23 Juni 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun