Tadi siang, kampusku mengadakan pemilihan ketua program studi dan ketua jurusan. Semua dosen negeri dan tidak tetap diundang untuk acara tersebut. Ada dua agenda fakultasku hari ini, yaitu pembagian tugas mengajar dan pemilihan pemimpin program studi dan kampus. Maka, tentunya acara itu dihadiri semua dosen. Tak terkecuali diriku.
Pada semester ini, saya mendapatkan 6 SKS untuk mata kuliah bahasa Indonesia. Jumlah yang cukup melelahkanku karena kesibukan lain yang juuga tak kalah pentingnya. Namun, saya akan berusaha menjadi pengajar yang baik. Kepercayaan itu akan terbayar lunas dengan dedikasi dan integritasku di sana. Pembagian tugas mengajar pun usai.
Panitia melanjutkan acara dengan pemilihan pimpinan prodi dan jurusan. Ada dua jabatan yang hendak dipilih, yaitu ketua dan sekretaris. Untuk menduduki jabatan itu, setiap calon mesti memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu jabatan minimal lektor, pendidikan minimal S2, dan memiliki kelinearan disiplin ilmu. Persyaratan penunjang adalah dipilih dan terpilih dengan suara terbanyak.
Panitia langsung memberikan penawaran kepada semua dosen yang hadir. Panitia memberikan keleluasaan kepada dosen yang hendak atau ingin menduduki jabatan. Namun, tak satupun dosen mengacungkan jari tangannya. Semua dosen tidak menunjukkan hasratnya untuk menjadi ketua prodi dan jurusan. Sepertinya jabatan memang tidak menjadi dambaan dan atau impian bagi dosen-dosen di kampusku meskipun hampir semua sudah memenuhi tiga persyaratan yang ditetapkan.
Untuk menengahi kondisi demikian, panitia langsung menyodorkan beberapa kertas kepada semua dosen. Lalu, setiap dosen diwajibkan untuk menuliskan calon yang diajukan. Dengan terpaksa, beberapa dosen terlihat menuliskan nama teman-temannya. Saya tidak melihat dosen yang menuliskan namanya untuk pemilihan tersebut. Itu berarti bahwa dosen itu memang tidak berkeinginan untuk memiliki jabatan.
Saya tersenyum-senyum ketika menyaksikan adegan itu. Terkesan lucu tetapi benar-benar terjadi. Sementara nun jauh di sana, orang-orang berebutan untuk memiliki jabatan. Namun, itu tidak terjadi di kampusku. Dan tentunya itu sungguh membuatku gembira. Saya sangat bahagia karena berkesempatan bertemu dan mengenal kepribadian rekan-rekan dosen di kampusku. Kampus yang merindang karena kerendahhatian.
Andai saja para pemimpin bangsa ini mau belajar ke kampusku, tentunya bangsa ini akan cepat terurus. Banyak pejabat ingin meneruskan jabatannya hingga ke anak cucu. Seakan para pemimpin itu tidak ikhlas melepas jabatan. Entah apa yang ditakuti jika jabatannya terlepas. Apakah ia takut karena boroknya akan ketahuan? Atau karena ia berniat untuk mengabadikan nama keluarga sebagai pewaris jabatan itu? Memangnya bangsa ini milik nenek moyangmu!