Suatu hari, saya mengajar siswa seperti biasa. Materi yang saya ajarkan adalah penggunaan gaya bahasa atas majas. Gaya bahasa sering digunakan untuk memperhalus maksud atau tujuan penutur. Gaya bahasa sering digunakan sastrawan karena karya sastra termasuk karya seni. Jadi, karya sastra harus indah.
Usai menjelaskan begitu, terdengarlah bel berbunyi. Itu berarti waktu saya tinggal satu jam pelajaran. Untuk menguatkan penguasaan materi, saya menugaskan para siswa untuk menyusun kalimat yang bermajas berbeda.
Ketika sedang menjelaskan tugas tersebut, muridku yang bengal itu maju menuju ke arahku. Setiba di hadapanku, dia pun berujar, "Minta izin ke belakang, Pak."
Mendengar permintaan itu, saya pun menjawab dengan nada agak keras, "Silakan mundur."
Murid itu pun kembali ke tempat duduk. Setelah duduk, saya pun menghampirinya. Lalu, saya pun bertanya, "Koq nggak jadi ke belakang."
Dengan tersipu, dia menjawab, "Pak Johan tidak mengizinkan."
Saya kaget. Lalu, saya balik bertanya, "Lha tadi kamu minta izin ke mana?"
Murid itu pun menjawab, "Ke belakang."
"Karena izinmu ke belakang, saya 'kan menyuruhmu mundur. Salah atau benar?", tanyaku kemudian.
Dia tampak bengong. Sementara itu, teman-teman sekelasnya tertawa cekikikan.
Siswa itu masih terdiam sambil garuk-garuk kepala. Di tampak belum mengerti maksud saya. Saya pun mengulang pertanyaan, "Kamu tadi 'kan minta izin ke belakang. Ya tentu saya suruh mundur. Paham maksudku?"
Siswa itu semakin bingung. Sementara, seluruh siswa tertawa terpingkal-pingkal. Demi melihat wajahnya yang mulai frustasi, saya mendekatinya sambil berujar, "Lain kali jangan sering minta izin ke belakang, ya!" Dia pun mengangguk. Entah, dia paham maksud saya atau tidak! (www.gurumenulisbuku.blogspot.com)