Tidak pernah fanatik dengan model pangkas dan atau tukang cukur tertentu. Ini sangat berkaitan dengan tempat tinggal yang tidak menetap karena tempat bekerja yang berpindah-pindah tak kurang dari 30 tahun. Tidak pernah punya tukang pangkas langganan, ya senemunya.
Siang ini ketemu tukang pangkas baru. Ia mangkal di mulut gang dalam kios kecil sekadar bisa menaruh satu unit kursi yang menghadap cermin besar yang menempel di dinding. Di samping kursi pangkas ada bangku panjang dari kayu yang cukup untuk dua orang, untuk menunggu giliran. Dindingnya dari triplek berkombinasi dengan seng gelombang.
Ketika aku melongokkan kepala dari pintu kios pangkas itu tampak seorang bertelanjang dada, terperanjat. Tak ada orang lain yang duduk di kursi pangkas. Tak ada juga yang duduk di bangku panjang.
"Silakan, Pak."
Waduh, sudah tua sekali pikirku. Tidak mengapa, harus dicoba.
Tukang cukur itu "berusaha" bangkit dari duduknya. Untuk berdiri saja sepertinya membutuhkan energi lebih, betul-betul sudah renta. Ia menjawil kemeja usang yang dikaitkan di paku yang menempel dinding lalu dipakainya.
Aku duduk di kursi pangkas menghadap cermin. Mukaku tampak di cermin yang mulai buram itu. Tampak tua juga, 11/12 pikirku.
Saat gunting pangkas elektrik itu menyentuh kepala, rambutku terasa dijenggut. Bukan hanya tukang cukurnya, perlengkapan pangkasnya sudah tua juga, sudah kurang tajam.
Semua tukang pangkas konvensional itu karakternya hampir serupa. Mereka suka mengobrol. Boleh jadi kebiasaan mengobrol bagi tukang cukur merupakan terapi. Alat cukur manual yang digerakkan tangan tentu akan membuat jari-jari dan pergelangan tangan pegal dan kebas. Dengan mengobrol rasa capek itu karenanya akan terlupakan. Uniknya setelah peralatan pangkas serba modern dan mudah digunakan yang tentu saja tidak membuat lekas penat, kebiasaan mengobrol itu tidak hilang.
Bapak tua tukang cukur kali ini pun mulai mengajak ngobrol saat pertama alat cukurnya merenggut rambutku. Awal obrolan tukang cukur hampir sama pada awalnya bertanya soal tempat tinggal, usia, jumlah anak, dan pekerjaan. Yang lupa ditanyakan oleh hampir semua tukang cukur adalah nama.
Kenyang menginterograsiku, ia pun membuka identitasnya. Ia Betawi asli katanya. Aku tercengang. Ada juga orang Betawi yang jadi tukang cukur, pikirku.
Setelah tahu kalau aku pensiunan dari bank, ia bercerita pengalaman berhubungan dengan bank. Aku manggut-manggut tertahan mendengarnya. Tidak berani mengangguk terlalu dalam, takut pisau cukurnya meleset memotong telinga.
"Penipuan!"
"Maksudnya penipuan?
"Ya itu, membuat rekening untuk menampung hasil penipuan."
"Oalaaahhh...!"
"Bukan saya yang menipu...!"
Ia pun melanjutkan cerita bahwa satu hari ia mendapat order untuk membuka rekening bank. Tergiur dengan upahnya, bermodalkan KTP ia pun membuka rekening tabungan di beberapa bank. Ia berhasil membuka 6 rekening dari 3 bank, satu dari bank negara sisanya bank swasta. Untuk satu rekening yang aktif dibuka, ia mendapat uang Rp 250 ribu. Setelah terbit, buku tabungan dan ATM segera diserahkan kepada pengorder yang sudah menunggu di halaman kantor bank, ditukar dengan uang yang dijanjikan.
"Besar sekali upahnya, setara mencukur lebih dari 10 kepala. Hehe, hehehe...!"
Aku nyaris menggeleng-gelengkan kepala tapi lagi-lagi takut pisau cukur meleset. Akhirnya aku hanya menggeleng di dalam hati. Gila, tukang cukur ini pikirku.
"Besoknya baru sadar. Apa gak bahaya ta? Bisa berurusan dengan hukum."
Lalu ia pergi ke kantor polisi, Bapak tua tukang cukur itu melanjutkan ceritanya. Ia melaporkan kehilangan ATM dan buku tabungan. Beruntungnya ia sempat mencatat nomor rekeningnya. Lebih beruntung lagi, polisi polsek itu tidak curiga dengan orang berpenampilan kumal itu tetapi punya 6 rekening tabungan bank. Berbekal surat laporan polisi itu, ia mendatangi bank.
"Alhamdulillah."
"Banyak uangnya?"
"Bukan banyak, beberapa masih bersaldo. Setelah dikurangi biaya penutupan rekening masih tersisa Rp 700 ribu lebih. Dobel untung, hehe, hehehe..."
Tetapi setelahnya ia kapok. Sempat beberapa malam ia sulit tidur memikirkan risikonya. Masih untung belum ada yang melapor sehingga tak harus berurusan dengan yang berwajib.
"Betul-betul kapok dah. Hasil mencukur biarpun hanya cukup buat makan, hidup tenang."
Pak tua masih beruntung punya keterampilan memangkas rambut. Sementara di dalam gang banyak orang tak sanggup apa-apa, hidup mengandalkan belas kasihan orang lain.
"Cukup gak, Pak?"
Aku memegangi kepala mulai dari samping di dekat telinga lalu ke belakang, mengusap-usap pelan. Aku mengangguk kemudian bertanya soal berapa tarifnya yang dijawab bapak tua itu dengan menyebut sejumlah angka.
Aku menyodorkan selembar uang kertas Rp 20 ribuan. Harga yang bersahabat. Tukang cukur itu menerima uang dengan gembira. Uang kertas itu dipegangnya dengan dua tangan, diacungkan ke atas di depan wajahnya sambil dikibas-kibas. Kutatap pelipisnya berkeringat. Aku permisi.
Di luar matahari panas menyengat, efek el nino. Baru beberapa langkah aku meninggalkan tukang pangkas itu, terdengar suara pintu kios ditutup. Aku menengokkan kepala melirik ke belakang. Tampak bapak tua tukang cukur itu berdiri di depan kiosnya, lalu melangkahkan kaki menyeberang jalan masuk ke warung nasi. Boleh jadi, ia baru sempat makan yang pertama kalinya pada hari itu. Sesiang itu.