Aku berencana meresize hidup secara ekonomis. Mengubah ukuran kebahagiaan. Mestinya bisa, karena selain penghasilan yang masih di atas umr, kebutuhan untuk perawatan kesehatan aku masih memegang kartu asuransi yang tidak harus membayar premi.
Tetapi waktu luang yang melimpah rasanya sia-sia kalau harus terbuang begitu saja. Aku mulai merawat rumah kecilku sendiri. Dari google dan youtub mulai mencari solusi dan belajar merawat pompa air, menambal dinding tembok yang retak, memperbaiki kerusakan mesin cuci, mencari solusi dispenser yang sensor air panasnya tidak berfungsi, serta hal lain yang mungkin terjangkau dengan akal dan fisik tuaku. Tetapi, sisa waktu masih banyak rasanya. Untuk apa ya?
"Berkebun saja, Mas." kawanku -sesama pensiunan dari Semarang, tahu-tahu menelponku memberi saran.
"Boleh juga, ya? Tapi berkebun bukannya perlu modal besar?"
"Tidak perlu luas juga, kale. Sekadar untuk mengisi waktu luang, Mas."
"Gimana kalo kena hama atau gagal panen. Saya sepertinya traumatis."
"Jangan dipikirkan. Berkebun kecil-kecilan buat mengisi waktu luang anggap saja sebagai pencerahan, menghijaukan bumi, menghasilkan oksigen dan membuat badan tetap bugar. Healing saja, Mas."
Aku pun mengangguk-anggup setelah pembicaraan melalui hp ditutup, merasa terinspirasi. Aku suka dan sangat tertarik. Tetapi untuk hal hama dan gagal panen tidak bisa tak dipikirkan. Sekalipun berkebun -kelak kalau kesampaian, sekadar mengisi waktu luang tak bisa kaleng-kaleng. Hama dan gagal panen adalah risiko terbesar dalam berkebun. Harus dihadapi karena semua ada risiko. Bahkan diam saja pun berisiko. Ini tantangan, aku harus belajar menghadapinya.
Seketika aku mulai sibuk dalam pencarian. Di google aku mencari barangkali ada lahan di sekitar tempat tinggal yang bisa disewa atau dibeli dengan harga miring.
Sebagai situs pencari yang handal google tak suka mengecewakan, lahan kebun yang dicari pun keluar dari persembunyian. Ia menampakan diri dengan sekumpulan keunggulan yang ditampilkan sebagaimana layaknya iklan. Dijual kavling kebun alpukat, di kawasan Bandung Barat yang sedang berkembang. Sudah terjual puluhan hektar kavling kebun. Sisa kavling yang ready hanya untuk Anda yang beruntung, begitu iklan itu menebarkan kata-kata rayuan.
Iklan tersebut menuntunku berkenalan dengan salesman lahan kebun dan lalu bertukar nomor henpon. Tidak berhenti sampai di situ, percakapan melalui pesan pendek berujung pada perjanjian untuk melakukan survei ke lokasi.
Aku tertarik dengan iklan kavling tersebut. Terbayang, kelak aku punya kebun alpukat.
Aku sangat suka dengan alpukat, jauh sebelum tahu begitu banyak manfaat buah yang berlemak itu. Ada tiga jenis buah-buahan yang paling disukai, alpukat, pepaya dan nanas. Tetapi dua jenis buah yang disebut terakhir sebenarnya hanya sebagai buah subtitusi. Pengganti bila alpukat tidak ditemukan. Tetapi faktanya buah pepaya dan nanas itulah yang sering ditemukan. Alpukat buah yang sulit ditemukan entah di mana dia bersembunyi. Sekali-sekali bisa menemukan di tukang es jus, di toko buah, pasar tradisional atau supermarket jarang menemukan dengan kualitas yang sesuai ekpektasi. Tetapi tak lama lagi aku berkebun alpukat, bisa memetik sendiri dan makan sepuasnya semau aku suka.
Satu hal lagi yang menarik dari iklan tersebut aku bisa belajar berkebun sama tetangga kavling. Mungkin mereka yang sudah membeli kavling beberapa tahun yang lalu adalah pekebun ahli dan aku bisa belajar langsung -learning by doing. Amboi.
Jam 9 pagi aku sudah menunggu 100 meter dari gerbang tol Cikamuning di warung kopi pinggir jalan raya Bandung-Purwakarta. Hujan ringan sedari pagi belum berhenti. Khawatir sales itu tidak jadi datang menemuiku karena alasan hujan, aku coba mengontaknya by WA.
"Gimana Kang, jadi tidak ketemuan di lokasi kebun?"
"Jadi Pak, ini dah otw."
"Tapi hujan?"
"Gpp, btr lagi reda."
"Siyap."
Hujan reda, sales itu pun datang. Ia memberi kode dengan tangannya, maksudnya agar aku mengikuti dia. Aku pun segera menghidupkan mesin mobil lalu membuntuti dia dari belakang.
Tidak berapa lama meluncur di Jalan Raya Bandung-Purwakarta, sepeda motor yang ditunggangi Sukandi -sales, membelok ke kanan ke jalan desa. Jalan kecil tetapi beraspal mulus, naik turun berkelok-kelok. Laju kendaraanku melambat sehingga sering tertinggal sepeda motor pemandu. Beberapa kali sepeda motor itu seperti hilang dari pandangan ditelan tikungan. Beruntung ia selalu berhenti dan menungguku dibalik tikungan saat di kaca spion kendaraannya tidak tampak mobilku. Ketika mulai terlihat ia akan mengibaskan tangan tanda untuk terus melaju.
Sudah hampir satu jam meliuk-liuk di jalanan yang kanan dan kirinya terhampar kebun sayur belum ada tanda-tanda perjalanan akan berakhir di tujuan. Rupanya jarak tempuh 30 menit dari pintul tol keluar seperti yang tercantum dalam iklan tersebut, hanya mungkin bila ditempuh dengan sepeda motor. Kendaraan melaju lebih ke lereng, kebun sayuran ditinggalkan berganti dengan kebun teh diselang-selingi pemukiman penduduk dan beberapa vila yang dibangun di ketinggian.
Beberapa saat setelah mendaki jalan kembali menurun, lalu membelok. Di balik tikungan Sukandi berhenti. Ia tidak menunjukkan isyarat agar melanjutkan perjalanan. Tanganya menunjuk lereng di sebelah kiri dari sepeda motor yang diparkirnya. Aku menurunkan laju kendaraan lalu berhenti.
"Lho, ini kebun teh?"
"Ya Pak, kebun teh rakyat."
Lalu ia menjelaskan kalau lahan kebun itu sudah tidak produktif. Luasnya 14.300 meter, boleh dibeli sebagian minimal 1000 meter. Aku menarik napas. Bayangan tentang kebun alpukat yang terhampar sirna.
"Mari lihat lokasi yang lain, Pak."
"Ada lagi?"
"Ada empat lokasi di sini, Pak."
Rupanya lokasi kavling kebun alpukat ini tidak dalam satu hamparan. Tetapi, merupakan lahan-lahan masyarakat yang berminat dijual dan dihimpun oleh pemilik modal. Boleh jadi, kepada pemilik lahan pembayaran dilakukan setelah lahan terjual. Makelar.
Seperti kerbau dicocok hidung, aku mengikuti. Di lahan yang kedua, hamparan yang lebih luas. Beberapa kavling sudah terjual. Di kebun yang sudah terjual beberapa pohon alpukat tumbuh tak terawat. Dari setiap pembelian kavling kebun memang dijanjikan bonus gratis 10 bibit alpukat. Mungkin itu yang ditanam asal-asalan, layaknya jin buang anak. Selanjutnya ditinggalkan, dibiarkan merana.
Menengok pohon alpukat muda yang meranggas macam anak cacingan. Tak kuasa menitik air mataku. Ingat buah alpukat yang dijual di pasar tradisional yang peot, membusuk dan berulat. Tak pernah menemukan yang bagus. Pantas, seperti itulah pohonnya di kebun tidak dirawat. Aku merasa tertantang untuk berkebun alpukat. Sebegitu sulitkah merawat alpukat?
Lahan-lahan yang sudah terjual sebagian besar dibeli oleh orang-orang dari Jakarta. Mereka bukan berniat mau berkebun, sekadar investasi menunggu harga lahan naik, sebagai investasi seolah membeli saham. Mereka tergoda rumor kalau tak jauh dari lahan yang ditawarkan akan dibangun stasiun kereta api cepat dan kawasan ekonomi baru. Mereka itu tidak satu frekwensi denganku, pikirku.
"Mau ke lokasi lain, Pak."
"Cukup."
Dalam perjalanan pulang, istriku yang duduk di samping yang sedari tadi tak satu katapun terucap memberi isyarat kalau kavling-kavling kebun yang ditawarkan tidak layak untuk dimiliki. Aku mengangguk.
Bulan Februari masih sering turun hujan. Langit berwarna biru tak berawan, tersapu hujan tadi pagi. Menjelang dzuhur, mobilku membelok masuk ke gerbang tol Padalarang. Di jalan tol lalu lintas tampak lenggang membuat mobilku leluasa dipacu dengan kecepatan di atas 100, kembali ke Antapani.