Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Pesta Sudah Usai, Saatnya Mencuci Piring

6 Juli 2023   15:25 Diperbarui: 6 Juli 2023   20:05 227 3
Awal tahun 2003 perekonomian Indonesia macam bangun dari tidur panjang. Mengapa tidak resesi  ekonomi tahun 1997 yang bagai gelombang badai begitu buasnya menggulung bukan saja ekonomi bahkan merambat pada kehidupan politik yang sebelumnya dinina bobokan dalam zona nyaman stabilitas semu. Bahkan di bulan Mei 1998 terjadi kerusuhan yang berujung chaos dengan banyak korban jiwa dan tumbangnya orde baru.

Selanjutnya muncul zaman reformasi, gaya baru dalam kehidupan demokrasi. Namun kehidupan ekonomi kita macam anak pungut IMF. Perekonomian dalam kendali IMF karena dari mereka dana mengucur dengan harapan ekonomi akan kembali pulih.

Bisnis perbankan yang paling buruk terkena imbasnya. Kredit macet menyeruak besarnya, aset menyusut. Pendapatan negatif berujung PHK besar-besaran. Aku yang berada di dalamnya beruntung masih bertahan, tetapi karir mandeg. Bagai kerakap tumbuh di batu, hidup enggan mati tak mau.

Maka aku sangat gembira membaca berita kalau awal tahun ini perekonomian Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda recovery. Sekalipun masih terhuyung-huyung bangsa kita mulai siuman setelah pingsan tak berkesudahan.

Berkah berpihak kepadaku. Setelah 5 tahun hidup tak henti mengencangkan ikat pinggang, tanda-tanda melepaskan belenggu itu mulai tampak. Kabar tadi pagi dari pimpinan cabang aku dimutasi ke Jepara, Jawa Tengah.

Titik air mataku mendengar kabar itu karena terharu. Setelah 5 tahun bertugas di Padangsidimpuan, Sumatera Utara tanpa kejelasan karir yang hampir seluruh waktunya dilanda resesi akhirnya seolah bisa menghirup udara baru. Sekalipun pangkat dan jabatan tidak berubah tetapi bisa pindah ke Pulau Jawa saja rasanya macam pindah alam. Awal tahun 2003 bukan saja sebagai tahun baru, tetapi bagiku menjadi awal kebangkitan yang penuh harapan.

Perjalanan dari Semarang ke Jepara ditempuh dengan jalan darat menumpang bus tiga perempat. Bus tanggung, tanpa pendingin udara, sumpek, pepek dengan penumpang kelas bakul sayuran. Kontras dengan Bus Coyo yang ditumpangi sebelumnya dari Cirebon ke Semarang yang nyaman lagi ber-AC.

Dari Medan sengaja tidak langsung ke Semarang. Mengingat di Jepara tidak disediakan tempat tinggal, sebelum dapat rumah anak dan istriku tinggal di Cirebon di rumah mungilku yang sejak 7 tahun merana ditinggal merantau.

Etape Semarang-Demak tak ada pemandangan yang menarik kecuali saat melewati Mesjid Agung Demak. Mesjid bersejarah itu begitu menawan walaupun sudah pasti bukan bentuknya yang asli saat dibangun pertama kali. Tetapi ketika melawati tugu selamat datang di Welahan yang sudah masuk wilayah Kabupaten Jepara suasana sudah berbeda. Sangat kontras. Tanda-tanda krisis ekonomi tidak tampak di sini. Di tempat lain ekonomi baru siuman dari pingsan diterjang krisis moneter di sini perekonomian sudah duduk ngopi.

Dari Ngabul ke Tahunan di pinggir jalan berderet showroom mebel dengan halaman parkir yang luas. Furnitur yang ditawarkan disusun dalam ruangan berjendela kaca lebar dengan desain interior yang menawan. Halaman ditata sebagai taman yang indah, tak ada rumpun salak -pemandangan sehari-hari selama 5 tahun di Padangsidempuan. Aku merinding dibuatnya, tidak percaya dengan apa yang disaksikan. Jangan-jangan aku sedang berada di alam lain.

Keluar dari ruangan pimpinan sehabis melapor kehadiranku, di ruangan kerja aku disambut kawan-kawan baru.

"Selamat bergabung di neraka wel!"
"Hahaha...!"

Aku tidak heran dengan kalimat penuh canda yang dilontarkan seorang kawan baruku itu. Sedikit banyak situasi dan kondisi kantor cabang sudah dijelaskan oleh pimpinan saat melapor tadi pagi.

Di sini terjadi anomali, -kata pimpinan,  mulai berbicara serius setelah sejenak kami berbasa-basi. Ketika tiba-tiba resesi ekonomi melanda tahun 1997, rupiah jatuh terperosok. Bank dan dunia usaha ambruk, ekonomi runtuh. Tetapi terjadi sebalinya di Jepara.

Sejak dahulu orang Jepara diberkahi keahlian mengukir. Mereka mengukir di kayu jati yang kemudian berkembang menjadi industri mebel, produk furnitur. Saat krisis ekonomi mebel yang dijual dengan dolar ke luar negeri tiba-tiba harganya melambung. Kurs dolar Amerika yang sebelumnya hanya Rp2400 menjadi Rp15000 saat itu. Banyak pengrajin mebel yang ujug-ujug menjadi kaya.

Mudah ditebak, selanjutnya timbul euforia. Semua orang membangun usaha mebel. Industri furnitur berkembang pesat, semua berorientasi ekspor karena pasar lokal sedang terpuruk. Semua pohon jati ditebang, habis jati sonokeling dibabat.  Berikutnya pohon-pohon yang tidak berdosa yang tak pernah terkait dengan indutri mebel pun ikut tumbang. Pohon nangka, mangga kueni, dan durian petruk berubah menjadi kursi dan tempat tidur. Kalau di Ngabul di batas kota, dibangun tugu durian bukan untuk menyambut tamu yang hadir dengan suguhan durian petruk yang melegenda. Patung itu sekadar mengingatkan kalau durian petruk pernah menjadi raja buah di Jepara.

Berkembangnya industri furnitur adalah angin segar bagi industri jasa perbankan. Kredit perbankan mengalir deras ke sektor ekonomi dengan produk tunggal: furniture.

Ternyata berkembangnya industri furnitur di Jepara macam ledakan bom. Boom!  Seketika menggelegar, mengagetkan, lalu sunyi.

Boming yang hanya sebentar. Tidak semua produk bisa terserap pasar. Eforia tidak berlangsung lama. Macam terjadi dalam perhelatan, pesta sudah usai yang tersisa tinggal sampah. Saatnya mencuci piring. Situasi tersebut bagi dunia perbankan menyisakan mimpi buruk. Setelah 5 tahun, saat ini banyak kredit macet.

Di Jepara, jabatanku sebagai acount officer -analis kredit. Tetapi karena kondisi portofolio kantor cabang kurang begitu bagus, tugasku jadi beragam.

Tugas lain adalah memperbaiki kualitas kredit. Aku melakukan penagihan, rektrukturisasi dan penyelamatan kredit atau melelang agunan. Kerap kali mewakili perusahaan berhadapan dengan persoalan hukum. Utang piutang seiring dengan berjalan waktu bisa berujung dengan saling menggugat di pengadilan.

Tetapi, tugas utamaku tetap menyalurkan kredit. Dalam situasi yang kurang kondusif aset berupa pinjaman masih merupakan sumber pendapatan utama bank.

Sore ini aku sedang berkunjung ke rumah sekaligus tempat usaha Pak Haji. Kawan, di Jepara masyarakatnya sangat religius. Hampir semua nasabah sudah menunaikan ibadah haji. Mereka berangkat ke tanah suci hampir setiap musim haji. Anak-anak di bawah umur pun banyak yang sudah pergi haji, mereka diberangkatkan oleh orangtuanya. Berkah booming usaha mebel.

Aku duduk di teras rumah disuguhi segelas kopi panas. Sebenarnya aku tak ingin berlama-lama, aku hanya ingin memeriksa kondisi usaha secara on the spot sambil sedikit wawancara melengkapi data-data. Tetapi Pak Haji mengajak aku duduk di teras rumahnya yang asri. Halaman rumahnya yang luas ditumbuhi pohon besar menghadap Pantai Kartini. Angin sepoi-poi membuat nyaman. Aku pun tergoda.

Berdasarkan pengamatanku, kondisi usaha mebelnya saat ini dilengkapi data-data historis menunjukkan performa yang sudah senin-kamis. Tak layak lagi diberi tambahan kredit.

"Pak Jo, ada tamu." mbak Lies, sekretaris kantor menghampiri mejaku sambil berbisik.

Sejenak mataku berhenti menatap komputer, beralih ke tamu yang katanya hendak menjumpaiku. Tetapi, belum lagi aku paham siapa yang datang, tiba-tiba bapak tua berkopiyah putih, berkain sarung sudah berada di depan mejaku.

Plak! Amplop cokelat berlogo Bank BRI dilemparkan ke meja kerjaku.

Pak Haji, aku terkesiap.

"Apa maksudnya kalimat, belum dapat dipertimbangkan!?"

Aku tidak sempat menjawabnya, ia sudah "ngeloyor" pergi. Turun ke lantai satu melalui tangga di samping meja sekretaris. Ia tak butuh jawaban.

"Biasa di sini, Pak Jo."

Aku maklum, perubahan kondisi ekonomi kadang mengubah karakter manusia. Dulu saat ekonomi booming semua senang, saling merangkul. Saat ini pesta sudah usai. Saatnya mencuci piring.

Saat penagihan lebih-lebih, sering sekali mengalami perlakuan tidak bersahabat seperti itu. Sudah seperti hukum alam ketika mengajukan kredit begitu lemah lembut serta ramah, saat macet berubah galak. Selain itu jadi sulit ditemui, suka menghindar atau bersembunyi di istri muda -istri kedua, ketiga dan seterusnya. Booming penghasilan adalah jalan tol menuju poligami. Efek buruknya menjadi makin sulit untuk menyelesaikan kredit macet, karena istri muda merasa tak berhutang.

"Maaf Bu, apa Pak Haji tinggal di sini?"
"Heh, dari bank ya? Jangan menagih ke sini, aku tak punya minjem bank!"
"Bu, kami hanya mau menyampaikan surat...."
"Minggaaaattt....!"

Setiap saat ke dalam kehidupan kita sering hadir fatamorgana, sesuatu yang tampak memesona yang sebenarnya tiada yang timbul hanya karena ilusi optik pada penglihatan kita.

Di Padangsidempuan bertahun-tahun aku merindukan datangnya kabar mutasi, berharap situasi akan membaik. Berharap mutasi menjadi dewa penolong, rupanya itu hanya fatamorgana.

Tiba-tiba aku rindu dengan buah salak. Buah salak yang dagingnya berwarna kemerahan khas salak Padangsidempuan. Teksturnya sedikit berair, rasanya manis segar. Tetapi, untuk memetiknya harus berhati-hati karena jika tidak duri di dahannya bisa melukai. Serupa dengan kehidupan, memang tidak mudah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun