Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Healing, Touring ke Kebun

5 Juli 2023   06:25 Diperbarui: 5 Juli 2023   15:43 375 5
Kebunku ini jauh dari ideal sebagai lahan kebun. Dari luasnya saja hanya sedikit lebih lebar dari halaman rumah. Itulah alasanku mengapa aku menyebutnya sebagai halaman kedua, melengkapi halaman pertama -lahan di muka rumahku tempat berkebun selama ini selepas pensiun.

Belum lagi lokasinya yang cukup jauh. Berada 3 km sebelum tempat wisata alam Oray Tapa atau 9 km dari rumah. Di perbukitan utara Bandung Timur yang bisa ditempuh kendaraan roda 4 dalam waktu 30-40 menit dari rumahku di Antapani.

Namun, dari caranya aku mendapatkan kebun ini banyak sekali cerita yang menyertainya. Aku ingin berbagi untuk menceritakannya kepada kawan-kawan, tapi nanti saja. Pagi ini tak cukup waktu untuk itu.

Pagi ini aku akan menemani kawan karibku atau lebih tepat tetanggaku yang sama-sama manula. Biasanya kami selang sehari berjalan kaki bersama seputaran komplek sehabis sarapan, mengisi waktu luang. Kami berdua laki-laki senior yang tinggal di komplek perumahan baru yang penghuninya sebagian besar dari keluarga muda. Penghuni lain setiap hari sibuk bekerja. Mereka berangkat pagi saat hari masih gelap dan malam baru berada lagi di rumah. Hanya untuk beristirahat. Hari libur mereka keluar bersama keluarga kecilnya untuk rekreasi.

Jadilah kami berdua saja di komplek itu yang menjadi kaum berada. Berada saja di rumah. Kami golongan yang terlambat memiliki rumah dan memutuskan tinggal di kota Bandung. Beruntungnya kami punya hoby sama, berkebun. Di pekarangan rumahnya ia menanam di dalam pot dua pohon buah-buahan yang sudah berbuah. Satu Jeruk Santang Madu, lainnya Jambu Kristal putih. Pagi ini kami tidak pergi berjalan kaki, malamnya kami sudah janjian di WA untuk touring ke kebun.

"Silakan naik, Pak."
"Oh ya."

Tak lama kemudian kami pun berdua sudah berada di kabin mobil. Kendaraan kami melaju pelan keluar dari komplek belok ke kiri, belok lagi ke kanan ke jalan raya.

"Rame sekali jalan ini Pak. Jalan apa ini?" tanya kawan karibku memulai setelah beberapa saat terdiam.

"Betul sekali, super macet. Ini Jalan AH Nasution membentang dari Cicaheum di sebelah barat sampai Cibiru di bagian timur.

Aku pun menuturkan kalau jalan raya ini macetnya nyaris saban hari terutama saat pagi dan sore hari. Pernah sekali waktu di jalan ini kemacetan terjadi secara total  sejak sore saat pulang kerja dan baru terurai jam 2 pagi, sehingga banyak yang tertidur di dalam kendaraan di tengah jalan.

Saat itu di jalan dua arah yang tanpa pembatas di tengah itu semua kendaraan berebut masuk. Baik dari arah Cicaheum atau sebaliknya banyak kendaraan terutama sepeda motor mengambil jalan di sisi kanan melawati garis putih. Lama-lama, saking banyaknya akhirnya kendaraan itu beradu muka. Stag tidak bisa bergerak.

"Bisa begitu ya?"
"Iya, Pak."

Mobil terus melaju pelan-pelan sampai di pertigaan Arcamanik di sekitar Lapas Sukamiskin. Laju kendaraan terhenti. Bukan karena ada lampu merah, tetapi Pak Ogah atau dikenal dengan polisi cepek sedang mengatur lalu lintas. Mereka mendahulukan yang membelok ke Arcamanik karena berharap dapat saweran uang receh akibatnya kendaraan yang mau lurus jadi terhambat.

"Di halaman Lapas itu banyak parkir mobil mewah, ya Pak." kawan karibku berseloroh sambil jarinya menunjuk ke arah jejeran parkir mobil di halaman gedung bui itu.

"Iya, Pak. Mereka mungkin keluarga tahanan yang sedang bezuk." timpalku.
"Di lapas khusus koruptor, keluarganya yang bezuk pun masih pake mobil mewah. Apa tidak disita ya?"
"Boleh jadi itu mobil rental Pak."
"Hehehe...hihi...!" tawa kami pun pecah.

Mobil melaju lagi. Di pertigaan Pasirimpun sedikit tersendat, banyak kendaraan keluar masuk komplek perumahan. Makin banyak dibangun pemukiman di kawasan perbukitan itu.

"Di depan sana kita akan berbelok ke kiri Pak" aku memberi tahu ketika hampir sampai di pertigaan Jalan Sindanglaya.

"Kok rame sekali di sana tampaknya, ada apa itu?" tanya kawan karib.

"Tidak ada apa-apa, hanya gerombolan tukang ojek yang sedang menunggu langganan Pak." jawabku.

Di pertigaan itu sejak lama digunakan sebagai pangkalan ojek sepeda motor. Mereka memenuhi dua sisi jalan sekaligus. Satu sisi dipake parkir antrian sepeda motor berderet dari pintu gerbang pertigaan sampai ke belakang. Di sisi lain, di seberangnya di pinggir jalan yang dipasang atap dari seng, pengemudi ojek pangkalan itu bergerombol. Ada yang main karambol, main catur, kartu domino atau sekadar duduk merokok dan minum kopi. Ada juga yang duduk menyender di bangku kayu, mengantuk.

"Kok masih ada ojek pangkalan, gimana bisa bersaing dengan ojol, ya Pak?"

"Mereka tidak bersaing Pak. Di situlah pertemuan ojol dengan opang."
"Oh, jadi mulai dari situ penumpang ojol beralih ke opang, ya Pak?"
"Bukan, sepertinya bukan begitu. Bukankah dalam kondisi normal ojol gak boleh nurunin penumpang di perjalanan?"
"Iya, ya,"

Mulai dari situ jalan mendaki, jarak dari Jalan AH Nasution sampai ke kebun kurang lebih 6 km. Selain menanjak jalan juga berkelak-kelok. Tidak seluruh badan jalan sudah berlapis beton, sebagian masih berupa batu koral berlapis aspal hitam. Pembangunan jalan dengan lapis beton sepertinya diutamakan pada jalan yang kondisinya rusak. Akibatnya laju kendaraan tidak stabil, kadang tenang, sekali waktu seperti melompat-lompat.

Selepas ujung kampung jalan menuju kebun lebih parah. Tetapi pemandangan dimanjakan dengan keindahan kebun yang menghijau. Kawasan kebun yang berundak-undak seperti lukisan alam yang menawan.

Dari sini sebagian kebutuhan sayur dan palawija warga Bandung dipenuhi. Setiap hari puluhan truk kol, sawi putih, tomat, wortel, mentimun, kacang tanah, kacang merah dan beragam sayuran lain masuk ke pasar-pasar tradisional di kota Bandung.

Di sini bawang merah dataran tinggi tumbuh dengan baik. Di Indonesia, bawang merah lazim ditanam di dataran rendah yang basah dan panas. Tetapi di sini di lereng-lereng banyak dibudidayakan varietas bawang merah yang adaptid dengan suhu rendah dan lahan kering.

Kalau kita mengenal pisang Lembang, di daerah sini pisang berwarna kuning dengan tekstur lembut dan pulen itu banyak dibudidayakan. Di tempat asalnya Lembang lahan kebun sudah banyak beralih fungsi menjadi tempat wisata. Lahan kebun yang tersisa tak banyak lagi yang ditanami pisang, tergeser komoditas lain yang lebih bernilai ekonomis.

Kalau pernah mendengar peuyeum Bandung -tape singkong, dari wilayah inilah sumber singkongnya. Di sini singkong tersebut dikenal dengan singkong Cimenyan. Jenis singkong mentega berwarna kuning mentega  yang sangat baik untuk dibuat tape atau sekadar dikukus untuk kawan ngopi. Rasanya hipu, pulen dan wangi. Saking enaknya, kadang sampai lupa utang saat mengunyahnya, katanya.

Terlalu asyik melamun, nyaris saja saja kebunku terlewati. Rupanya sudah tiba.

"Silakan turun, Pak."
"Ini kebun Bapak, ya?"
"Betul, gimana?"
"Wuess, tadi sedikit pusing mungkin karena jalan berkelok-kelok. Tetapi ketika turun dari mobil, menghirup udara rasanya segar sekali."
"Kita berada di ketinggian Pak. Kurang lebih 1200 mdpl. Udaranya bersih dan lebih dingin."
"Ya, ya, ya. Serasa di dalam ruangan ber-AC."
"Iya, coba bapa lihat ke bawah."

Aku menujuk ke bawah. Nun di sana kota Bandung mungil macam kampung kurcaci. Gedung dan pemukiman tampak padat seperti dadu yang berserak. Kawan karibku menatapnya dengan terpana sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Apa yang kutanam di kebun? Nanti akan diceritakan. Saat ini aku ingin menikmati dulu udara segar, bau rerumputan dan kabut yang bergerak tersapu angin. Merasakan sensasi hembusan napas yang berasap.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun