Sering aku merasa jengkel dengan abang karena aku sering disuruhnya ini itu. Aku tak bisa menolak karena aku junior, adiknya. Tetapi sebegitu seringnya aku berkelahi ke mana-mana kami selalu bersama. Main kelereng, main layang-layang atau mencari kayu bakar ke hutan di ujung kampung selalu bersama. Tidur pun sekamar, bahkan. Selalu bersama seperti gula dengan manisnya membuat kami memiliki ikatan emosional yang kuat.
Sekali waktu aku menonton sirkus dari Malaysia di kota kabupaten bersama abang. Sejauh yang aku tahu, baru sekali itu di kotaku ada pertunjukan sirkus dari luar negeri pula. Bersama abang aku menumpang oplet ke kota untuk menonton sirkus.
Di Lapang Pesik -lapangan sepak bola, di belakang terminal angkutan umum tempat berdiri tinggi tenda sirkus itu ratusan orang berdesakan di pintu masuk. Aku bersama abang membeli karcis masuk di loket penjualan tiket tak jauh dari pintuk masuk. Lalu bergabung dengan antrian panjang orang-orang yang tak sabar ingin segera menonton sirkus.
Menjelang pintu masuk aku mengacungkan karcis seperti ditunjukkan orang-orang lain agar mudah terlihat. Di pintu masuk berdiri laki-laki tinggi besar yang bertugas memeriksa tiket masuk. Pemeriksaan tiket masuk membuat arus orang yang akan masuk ke tempat pertunjukan menjadi tersendat. Terjadi desak-desakan antara orang-orang yang ingin segera masuk dengan petugas tiket masuk yang menghalangi jalan.
Aku dan abangku yang kecil-pendek kelas 4 dan 5 SD tenggelam dalam lautan manusia. Persis di depan laki-laki tinggi besar itu selembar kecil kertas tiket terjatuh dari tanganku. Sementara itu abangku yang beruntung sudah bisa masuk ke arena pertunjukan aku tertahan di luar dihadang petugas tiket. Telunjuknya yang sebesar pisang ambon mendorong keluar tepat di bagian leherku. Terasa sesak napasku. Tetapi aku terus meronta, merangsek masuk karena merasa sudah membeli tiket. Akhirnya dengan susah payah, melalui celah di bawah ketiaknya aku berhasil lolos dan masuk ke arena pertunjukan.
Sesampainya di dalam aku celingukan, tak tampak abangku diantara ratusan orang yang berdesakan itu. Tiba-tiba tanganku dijawil orang. Aku terkejut dan sepontan menolak tarikan tangan itu. Sejurus kemudian aku tersadar rupanya tangan kecil itu adalah tangan abangku. Ketika aku masih di luar abangku berdiri tak jauh dari pintu masuk menungguku. Kami pun segera menghambur berlari kecil mencari bangku yang kosong. Seketika itu tangisku pecah.
Di tribun yang terbuat dari papan kayu itu di samping abang yang terdiam tak bisa berbuat banyak aku menangis sesenggukan. Perasaanku bercampur aduk antara marah, benci dan takut kepada laki-laki tinggi besar penjaga pintu masuk itu. Aku menyesal karena tiketku terjatuh, mengapa aku tak memegangnya erat-erat.
Tangisku mulai mereda ketika seorang gadis cantik gemulai memakai pakaian senam yang ketat meliuk-liuk di meja kecil mendemontrasikan gerakan sangat elastis. Gadis plastik merupakan penampilan pembuka pertunjukan sirkus itu. Tangisku lalu berubah menjadi tawa menyusul aksi kocak badut-badut dengan baju warna-warni dan penutup kepala yang lucu. Pada saat menyaksikan hewan-hewan sirkus beraksi aku tak henti bertepuk tangan. Lupa dengan laki-laki tinggi besar di pintu masuk yang nyaris melukaiku. Pipiku kering tak ada lagi bekas air mata. Selesai menonton sirkus aku pulang bersama abang, kembali menumpang oplet dengan perasaan gembira.
Ketika abang melanjutkan kuliah aku terpisah dengannya selama satu tahun. Ia kos di Bandung sementara aku tinggal di Kuningan bersama orang tua. Tahun berikutnya aku pun menyusul melanjutkan kuliah di Bandung dan tinggal bersama abang.
Awalnya aku kos di Dago karena kuliah di Fakultas Peternakan Unpad yang kampusnya di kawasan Dago atas. Tetapi, hanya sebulan aku merasa tidak betah, akhirnya bergabung dengan abang di Buahbatu.
Setiap pergi kuliah aku menumpang bus Damri jurusan Buahbatu-Dipatiukur lalu turun di Simpang Dago kemudian naik Honda -istilah angkot tahun 80-an di Bandung, melanjutkan ke tempat kuliah di Bukit Dago. Kalau tertinggal bus kota aku naik bemo turun di Terminal Kebon Kelapa kemudian melanjutkan ke Dago dengan menumpang Honda.
Di Buahbatu Abang kuliah di ASTI -sekarang ISBI Bandung. Aku tidak mengerti kenapa ia memilih kuliah di bidang studi kesenian. Ayahku seniman memang, seniman kampung. Tetapi Abang -menurut pendapatku, tak sedikit pun memiliki bakat seni seperti keahliah ayah. Setelah lulus SMP ia melanjutkan ke STM jurusan mesin. Sampai satu hari kampung kami kedatangan empat orang mahasiswa KKN dari ASTI Bandung. Sepulangnya mahasiswa itu pada tahun ajaran baru selepas lulus STM Abang melanjutkan studi di ASTI Jurusan Karawitan.
Bagiku belajar di ASTI itu sangat tidak mudah. Selain belajar teori mahasiswa harus belajar praktek. Ketika ujian akhir mahasiswa diwajibkan melewati ujian praktek berupa pertunjukan kesenian yang hasilnya diumumkan sesudahnya. Pemberitahuan tidak hanya disaksikan oleh mahasiswa yang diuji melainkan juga ditonton kawan-kawan, juniornya keluarga bahkan siapa saja. Perlu kekuatan mental untuk menghadapinya.
Beberapa kali aku menyaksikan resital -istilah ujian praktek, di ASTI tahun 80-an. Tak jarang aku menyaksikan mahasiswa sujud sukur di atas panggung segera setelah dinyatakan lulus. Tetapi tidak kurang yang tertunduk lesu, saat dinyatakan belum lulus.
Ketika abangku ujian resital aku duduk di jejeran bangku penonton. Di auditorium yang kedap suara itu ada banyak orang yang menyaksikan seperti dosen-dosen, mahasiswa kawan kuliahnya, juniornya dan yang lain. Gedung auditorium itu gelap kecuali penerangan minimalis di panggung menyinari seperangkat gamelan berhadapan dengan dewan penguji.
Dadaku sesak ketika tiba-tiba abangku muncul dari samping panggung. Ia berjalan ke tengah panggung, lalu membungkuk setelah itu duduk bersila di hadapan gambang -perangkat gamelan dari kayu. Setelah sedikit basa-basi selebihnya pelan-pelan mulai mengalun musik karawitan melantunkan lagu wajib dan lagu pilihan. Aku tak bisa menikmati dengan seksama harmoni musik karawitan itu. Pikiranku membayangkan akan dua opsi yang akan dilakukan abangku bila ia dinyatakan lulus atau tidak lulus. Tahu-tahu pertunjukan sudah selesai yang dilanjutkan dengan kata-kata dari Ketua penguji. Aku tidak mendengar dengan jelas kalimat demi kalimat yang disampaikan mungkin karena pikiranku yang nerveus. Sampai pada satu momen Ketua penguji itu menjulurkan tangan dan menyalami abangku. Sejurus kemudian kawan-kawan Abang menyerbu ke atas panggung berebut bersalaman.
Menyaksikan itu aku termangu di bangku penonton. Naluriku mengisyaratkan abangku lulus. Tiba-tiba air mataku tumpah tak terbendung. Dengan tatapan kabur aku pun merangkak ke atas panggung. Air mataku mengalir deras sejadi-jadinya. Seingatku, aku menangis terakhir kali sesaat ketika mau menonton pertunjukan sirkus karena marah, benci dan takut kepada laki-laki tinggi besar, penjaga karcis.
Tetapi hari itu aku tidak sedang menonton sirkus. Aku tidak mengerti mengapa aku menangis. Di luar gedung auditorium, menjelang pulang ke kamar kos air mataku masih berjatuhan.
Tabe