Rindu kampung halaman lebih tepat kalau ditunaikan dengan pulang kampung sesungguhnya. Situasi  kampung terkini bukan dicerna dari kabar kamar kecil yang didapat melalui wartel dengan keterbatasan bicara karena ingin menghemat pulsa, atau dari surat yang sesekali datang. Pulang kampung, ini rencana yang sedang disusun setelah lebih dari dua tahun meninggalkannya.
Hal-hal yang harus ada sebelum mewujudkannya adalah persetujuan cuti, oleh-oleh khas Padangsidempuan dan tiket kendaraan. Cuti 12 hari untuk tujuan ke luar pulau setelah 2 tahun tak pernah menggunakan cuti efektif, sepertinya bukan sesuatu yang sulit untuk memperoleh persetujuan pimpinan. Oleh-oleh atau buah tangan? Ah, mudah saja itu. Buah salak yang berwarna merah muda, ikan limbat asap, atau beberapa lembar kain ulos kesemuanya masih terjangkau dengan penghasilanku. Tiket pesawat terbang untuk 4 penumpang pulang pergi? Ini yang menjadi masalah.
Pada tahun 1999 biaya selembar tiket pesawat termurah tujuan Medan-Jakarta sebesar 700 ribu rupiah. Gajiku take home pay saat itu hanya 650 ribu. Bila mengesampingkan seluruh kebutuhan hidup kami selama satu bulan gaji tersebut belum cukup untuk membeli selembar tiket pesawat. Lebih-lebih untuk tiket istri dan dua anak atau 8 tiket untuk pulang dan pergi. Mustahil bisa mudik ke kampung halaman dengan menumpang pesawat terbang.
Ada yang lebih murah dan terjangkau yaitu naik bus ALS. Harga tiketnya untuk rute Padangsidempuan-Bandung tak lebih dari 200 ribu untuk satu orang. Risikonya harus mempersiapkan dana untuk makan selama perjalanan. Lama perjalanan Padangsidempuan-Bandung kurang lebih 3 hari 3 malam -kalau bus tidak mogok di tengah jalan, seperti kejadian tempo hari ketika bus mogok karena jalan amblas di Aek Latong saat pergi ke Medan. Artinya harus sedia uang kas untuk setidaknya 9 kali makan untuk empat orang. Risiko lain adalah kaki bengkak karena terlalu lama duduk kaku selama perjalanan. Alamak!
"Naik kapal laut saja Pak."
Pak Endang Rachman, supir kantor memberi usul.
Mungkin ini yang disebut jalan tengah. Harga tiket kapal Pelni untuk kelas 1 dua kali lipat dari tiket bus, tetapi selama perjalanan disediakan makan. Lama perjalanan 2 hari 2 malam untuk sampai di Tanjung priuk. Tawaran yang menarik untuk dipertimbangkan.
Kalau jadi, ini merupakan perjalanan pertamaku menumpang kapal laut selama hidupku. Selama ini jangankan naik kapal besar naik perahu pun belum pernah. Aku lahir dan dibesarkan di Kuningan daerah pegunungan di kaki Gunung Ciremai, sehari-hari lebih sering melihat hutan, tak pernah berkunjung ke pantai. Kurang lebih 3 kilo meter dari kampungku terdapat Waduk Darma, bendungan yang cukup luas untuk keperluan irigasi. Di sana tersedia perahu kecil untuk kebutuhan orang menangkap ikan, bepergian antar tetangga desa atau sekedar untuk rekreasi. Aku belum pernah naik perahu di waduk itu, takut.
Cerita Ayah ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar tak pernah kulupakan. Suatu kali bersama kawan-kawan sekapungnya Ayah pergi ke undangan kenduri pernikahan di Desa Ciceuri, desa di seberang waduk itu. Lewat magrib berdelapan menumpang perahu kecil menyusuri pinggiran danau. Perahu kecil itu terlalu sempit untuk menampung delapan orang dengan satu mualim. Di tengah perjalanan perahu itu terbalik. Beruntung semua selamat tetapi semua penumpangnya basah kuyup. Setelah beberapa saat menunggu pakaian yang dikenakan tak kunjung kering akhirnya bapak-bapak yang naas itu menghadiri resepsi dengan baju dan celana basah karena tak membawa pakaian ganti. Pulangnya tak bisa lagi naik perahu tetapi harus berjalan kaki cukup jauh karena jalan melingkar dengan pakaian yang masih basah. Pengalaman lucu sekaligus mengerikan dalam pikiran anak-anak saat itu.
"Enggaklah Pak, kapal yang berangkat dari Pelabuhan Sibolga ke Tanjungpriuk merupakan kapal mewah."
Pak Endang menjelaskan bahwa kapal itu besarnya bukan buatan. Panjangnya 130 meter dan lebar 23 meter dengan tinggi lebih dari 46 meter. Kemewahan di dalamnya layaknya hotel berbintang, dengan berbagai fasilitas seperti toserba, sarana olah raga, tempat hiburan dan tempat ibadah.
"Wah dapat sarapan pagi dong!?"
"Bukan hanya sarapan pagi, makan siang bahkan makan malam pun dapat Pak."
Aku semakin terpesona. Sepulang dari kantor aku menyampaikan kepada istri tentang rencana mudik dengan menumpang kapal laut itu.
"Di tengah laut dua hari dua malam, apak gak mabuk laut?" istriku bertanya sambil menyeringai. Wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Ia berasal dari daerah pantura, Indramayu. Cerita tentang ombak, badai dan mabuk laut sudah akrab di telinganya tetapi berlayar di lautan belum pernah dialaminya.
"Gaklah, itu kapal sebesar mesjid, tingginya saja lebih tinggi dari dua pohon kelapa yang disambungkan. Mana bisa diterjang ombak!" aku tidak mau mengalah.
"Tangguh sekali ya Pak."
"Itulah!"
Setelah mendapat persetujuan cuti aku segera minta bantuan Pak Endang untuk mengurus tiket kapal laut dengan segala tetek bengeknya.
Pak Endang asli Garut yang merantau ke Padangsidempuan sejak masih lajang. Ia mendapat istri orang Sibolga. Rumah mertuanya tak jauh dari pelabuhan, sehingga ia sangat paham dengan urusan tiket, jadwal keberangkatan kapal dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelabuhan dan transfortasi laut.
Aku disarankan untuk membeli tiket kelas satu. Selain nyaman karena bisa mendapat kamar sendiri sehingga tidak tergganggu penumpang lain juga akan terhindar dari kehilangan barang karena aksi copet. Aku mengangguk setuju.
Sore, pada hari keberangkatan aku berempat dengan istri dan kedua anakku sudah berada di rumah mertua Pak Endang di Sibolga. Supir yang sudah seperti anggota keluarga sendiri itu mengantar dari Padangsidempuan bersama istrinya. Cuaca cerah sore itu. Kapal akan lepas jangkar pada malam nanti, selepas magrib.
Malam sudah gelap ketika mobil yang mengantar kami tiba di pelabuhan. Tetapi di dermaga suasana sangat semarak, benderang dengan lampu-lampu penerangan. Kota kecil yang biasanya sunyi itu, malam itu tiba-tiba sibuk. Orang-orang hilir mudik dengan bawaan masing-masing, tumpah ruah baik yang akan berangkat naik kapal maupun maupun yang sekedar mengantar. Kapal yang akan membawa kami berlayar  ke Pelabuhan Tanjungpriuk sudah sandar di dermaga. Berdiri dengan megah, KM Lambelu.
Kapal yang berbobot mati lebih dari 14 ribu ton itu selesai dibangun di galangan kapal terbaik di Jerman tahun 1997. Baru berusia 3 tahun ketika kami menumpangnya. Dinding lambungnya berwarna kuning keemasan, di bagian atasnya yang merupakan dak untuk penumpang bekelas berumpak-umpak bercat warna putih yang semakin semarak dengan lampu yang menyala terang. Betul-betul memesona, pemandangan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ingin segera aku melompat ke dalamnya.
Menurut informasi petugas di dermaga kapal itu mampu berlayar dengan kecepatan rata-rata 18 knot. Aku tidak mengerti kecepatan kapal laut dengan satuan knot itu yang katanya setara hampir 2 kilo meter per jam, sehingga 18 knot setara 36 km/jam. Terhitung hebat kemampuan mesin kapal itu mendorong bangunan dan penumpang manusia dan barang yang bisa mencapai puluhan ribu ton.
Setelah melalui petugas pengecekan tiket kami masuk ke atas kapal. Aku menyeret koper kecil berisi pakaian berempat untuk keperluan selama di kampung sambil menuntun Putri, si Sulung. Istriku menggendong Bagus, anak laki-laki terkecil sambil menenteng polybag berisi oleh-oleh dan susu formula. Sebelum masuk ke dak, di ujung tangga aku menengok ke belakang, melambaikan tangan ke Pak Endang dan istrinya yang masih menunggu di dermaga. Mereka membalas dengan melambaikan tangan juga. Mereka tampak kecil terlihat dari atas kapal.
Petugas memberi petunjuk kami untuk menemukan kamar sesuai dengan yang tertera dalam tiket. Kapal seluas itu tidak mengangkut banyak penumpang malam itu dari Pelabuhan Sibolga. Kami pun dengan mudah menelusuri lorong-lorong hingga menemukan kamar di dak penumpang paling atas. Di dalam kapal situasinya sangat bersih dan terawat.Â