Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Riuh Dalam Tenang

7 Juli 2024   13:17 Diperbarui: 7 Juli 2024   13:23 21 1

Hari itu aku hanya terbaring di atas kasur, di dalam kamar indekos yang terasa pengap dan panas. Tak ada kegiatan membuatku berakhir termenung menatap langit-langit kamar berwarna putih, yang catnya mulai menguning. Dan setiap sudutnya dihinggapi jaring laba-laba.


“Kok bisa ya aku berakhir hingga seperti ini?” gumamku pada diri sendiri


Aku adalah tipikal orang yang gemar berkutat dalam perdebatan dengan diriku sendiri. Di dalam kepala berisi otak, yang kata ilmuwan dari penelitaannya dapat menyimpan data dengan jumlah tak terbatas. 


Pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan, atau hal lain yang bisa jadi apa saja, kerap kali terputar berulang-ulang. Seperti saat kita tak sengaja meninggalkan ponsel dalam keadaan menyala, sambil memutar video berdurasi sepuluh detik di aplikasi sosial media.


Kadang sering terbesit pula dalam benak ku, “Apa cuma aku sebenarnya yang memikirkan setiap hal yang terjadi di kehidupan? Mulai dari yang kecil hingga besar. Seperti anak kecil yang belum mengerti tentang dunia, namun penasaran akan banyak hal.” Kira-kira begitulah sepotong pergumulan yang terjadi di dalam sana.


Tapi jika seseorang berpikir bahwa aku adalah orang yang senang berdebat dengan manusia lain, maka ia salah besar. Bukan karena aku tak berani, ataupun tak mampu. Melainkan seringnya, berdebat dengan manusia lain tak membawaku menuju pada ujung jawaban. Malahan, hanya akan ada hujan pertanyaan dengan inti maksud yang sama, namun dikemas dengan balutan kata-kata baru, dihujamkan berulang-ulang. Hanya untuk memuaskan ego si pelontar pertanyaan.


Jawaban dari kebingungan yang kurasakan, seringnya malah kudapat dari berdebat dengan diriku sendiri, tentunya juga dibantu oleh mata dan telingaku yang berperan sebagai pengamat utama.


Seperti di suatu waktu, aku berbicara sengit dengan si penghuni kepala,

“Kenapa sih, orang kok gak pernah mau menerima kenyataan, yang padahal sudah jelas terlihat di depan mata?” ucapku pada diriku yang lain, bersemayam dalam rumah bernama “benak”


“Ya, karena gak enak.”


“Tapi bukannya menerima kenyataan lebih baik ya, daripada menjalani hidup di atas kebohongan terus-menerus?”


“Hidup itu sudah pedih dan menyakitkan, terus harus dijalani lagi dengan menambah kesakitan lain?”


“Bukan gitu dong, tapi dengan menerima kenyataan hidup kita bisa berbenah, berkaca ke diri sendiri, memperbaiki yang masih kurang dan mempertahankan yang sudah baik.”


“Ngomong sih gampang, yah. Yang ngejalanin gimana? Gak mikir hah?”


“Lah, lagipula siapa yang bilang gampang? Tapi apa  dengan menjalani hidup di atas kebohongan akan merubah semua menjadi lebih baik?”


“Ya, enggak. Tapi mau gimana lagi, keadaannya susah, lagian gak semua orang punya kesempatan yang sama, kali. Pikirin juga dong gimana kehidupan orang itu.”


“Aku pun setuju dengan itu. Masing-masing orang punya permasalahan yang berbeda, dan kesempatan yang berbeda pula. Tapi dengan menerima kenyataan, setidaknya orang itu bisa mengetahui kelebihan juga kekurangan yang ia punya. Gak semua orang adalah pemeran utama dalam masyarakat. Tapi kalau seseorang itu tidak menjadi pemeran utama dalam kehidupannya sendiri, bukankah merupakan suatu ironi?”


Bayangkan saja, di dalam kepalamu terdapat perdebatan yang bergaung hampir setiap harinya. Setiap hal yang didengar telinga menjelma menjadi tanya, setiap hal yang ditangkap oleh penglihatan menjelma menjadi rasa penasaran.


Bukan untuk tujuan mencari menang kalah, namun guna mencari kesimpulan yang paling mendekati kebenaran. Mungkin bisa saja aku melakukan perbincangan serupa dengan manusia, tapi tidak semua dari nya. Hanya beberapa atau mungkin bahkan segelintir saja.


Seperti orang dengan gangguan kewarasan namun masih waras. Terkadang aku sendiri pun juga mempertanyakan keadaanku sendiri. Memiliki pemikiran dan pandangan berbeda dari orang kebanyakan rasanya seperti menyalahi kodrat dalam kehidupan.


Tapi itu dulu, sebelum aku mencapai tahap ini. Sebelum aku bisa menerima diriku sendiri. Segala kekurangan dan kelebihan yang kini berevolusi menjadi pembelajaran dan penerimaan. Segala kekhawatiran dan gusar yang disulap menjadi tenang. 


Semua bisa terjadi berkat perdebatan sengit yang selalu terjadi di dalam kepala kecil ini. Menjalani yang bisa dijalani, mengubah yang bisa dirubah, meninggalkan yang menjadi beban, mengikhlas lepaskan yang harus dilepas. Mungkin takkan pernah kudapatkan, bila aku berpikiran sama seperti pada umumnya.



https://bit.ly/KONGSIVolume1

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun