Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Kenaikan Harga Kartu Perdana, Penyalahgunaan Layanan, dan UU ITE

19 Desember 2010   06:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:36 505 1
Lebih dari 10 tahun yang lalu, harga SIM Card Rp 250.000,- adalah murah. Tapi hari ini perdana murah adalah dua ribu rupiah. Pemerintah mewacanakan kembali kenaikan harga kartu perdana karena dua sebab. Pertama, banyaknya penyalahgunaan, kedua habisnya alokasi nomer yang dibatasi 15 digit (ITU-T specification E.164).

Antara terbatasnya alokasi nomer, penyalahgunaan nomer perdana, dan kenaikkan harga, ada beberapa hal yang bisa dikupas.

Harga Sebagai Alat Kontrol Akses Teknologi

Tahun1985 hanya ada 50 ribu komputer di dunia, sedangkan pada 1995, ada 50 ribu komputer terjual setiap 10 jam di seluruh dunia. Hadirnya antarmuka grafis bagi pengguna lewat Windows 95 menyebabkan kebutuhan akan komputer meningkat. Peningkatan kebutuhan secara bertahap akan memperbanyak produksi, menurunkan harga, memberi pengguna sebuah akses yang lebih besar pada teknologi.

Demikian pula terjadi pada industri telekomunikasi. Peningkatan teknologi berdampak kenaikkan kecepatan. Kecepatan tinggi membuka peluang layanan baru. Layanan baru menarik banyak pasar. Mengguritanya pasar, akan korelatif terhadap harga (termasuk margin keuntungan per pelanggan yang direndahkan untuk mengejar kenaikan volume). Akhirnya dari 131 juta pelanggan seluler di Indonesia pada 2008, naik menjadi 180 juta pada Juni 2010. Hilirnya sama, akses yang lebih besar pada teknologi.

Lalu angka 180 juta pelanggan ini dihadapkan pada masalah alokasi nomer pelanggan.

Yang kemudian menarik, pada umumnya keterbatasan pada dunia teknologi akan disikapi dengan rekayasa teknologi, bukan rekayasa harga. Keterbatasan IP Address disikapi dengan IPv6, bukan dengan menaikkan harga yang umumnya 1,5 USD/IP, menjadi misalnya 15 USD/IP. Keterbatasan beban kanal disikapi dengan rekayasa multiplexing, dan seterusnya.

Jika yang menjadi keterbatasan adalah alokasi nomer pelanggan, dan tidak lagi masuk akal memaksakan ITU menggeser batasan digit, mengapa Indonesia tidak menerapkan number portability? Dimana seseorang dapat berpindah operator tanpa berganti nomer ponsel.

Pembatasan berdasarkan harga hanyalah menutup akses mereka yang tidak sanggup membayar. Bagi pelanggan dengan ekonomi cukup, kenaikan harga tidak mempunyai makna sebagai pembatasan. Solusi kenaikkan harga hanyalah bentuk persetujuan atas pembedaan hak berdasar tingkat ekonomi pelanggan.

Kenaikan Harga Akibat Banyaknya Penyalahgunaan

Harga senjata ilegal tidaklah murah. Dulu di Aceh, AK-47, senapan kejut yang dikenal tahan uji dalam keadaan minim perawatan, bisa dibeli di pasar gelap antara 17-40 juta rupiah. Dibeli untuk disalahgunakan. Harga scanner magnetik card dengan antarmuka USB, seperti yang digunakan pada kasus pembobolan ATM BCA, mencapai 6 digit dalam rupiah. Dibeli untuk disalahgunakan. Terlihat bahwa mahal atau murahnya harga tidak korelatif pada potensi penyalahgunaan.

Yang mempu meredam potensi tindak kejahatan adalah sistem yang fondasinya berupa regulasi yang diundangkan. Dan setelah ada regulasi, sesudah develop & deployment perangkat, yang mesti dijaga adalah keberlangsungan penggunaan  tetap berada pada relnya agar mencapai tujuan.

Di lapangan, setelah keluar peraturan bahwa setiap pelanggan kartu seluler baru wajib mendaftarkan diri ke 4444, sistem bekerja tidak optimal, berjalan tidak sesuai, dan tujuan tidak tercapai. Dari segi sistem, tidak ada verifikasi saat pemasukan data. Misalnya, masukkan saja 1900 sebagai tahun lahir maka sistem pun tetap menerima. Setelah sekian tahun berjalan, tidak ada data resmi berapa pelanggan yang meregistrasikan diri dengan data valid. Jangan-jangan karena terlalu sedikit, hingga tidak ada release resmi dan evaluasi terbuka. Semua menjadi tidak berguna.

Banyaknya kejahatan menggunakan media ponsel, mulai dari undian-undian palsu, permintaan pulsa, permintaan transfer uang, hingga tindakan terorisme berupa ancaman bom lewat SMS, bermula dari ketidakmauan operator untuk serius mengidentifikasi jatidiri pengguna. Akhirnya nomer pelanggan, layanan data/voice, menjadi bola liar yang boleh digunakan oleh siapa saja sesuai kecerdikan masing-masing.

Dengan membeli HP bekas di kota kecil, menggunakan nomer baru, menyalakan telepon dari kota berbeda-beda hanya maksimal dua kali untuk mengancam, lalu membuang telepon dan kartu perdana, maka operator tidak akan mendapat data apapun. Rekaman data di HLR, detail IMEI, MSISDN, record pesan di SMSC, tidak akan relevan sejauh pelaku bermain bersih.

Maka, sekali lagi, yang menjadi sebab banyaknya kejahatan adalah tidak terdentifikasinya pelanggan oleh penyedia layanan.

Boleh bila kita bertanya, apakah identifikasi pelanggan adalah kewajiban? Setiap hal yang memiliki potensi untuk disalahgunakan, mulai dari proses kepemilikan senjata api hingga pembukaan rekening bank, registrasi untuk mengecek validitas pelanggan adalah proses wajib dan vital. Demikian pula semestinya yang terjadi penggunaan nomer seluler.

Pelanggan wajib membeli perdana dari gerai resmi, mengajukan data valid, dan mendapat persetujuan penggunaan nomer seluler.

Namun bukankah hal ini akan mempersulit tumbuhnya pelanggan baru, lambatnya ROI, susahnya memperluas ekspansi dari revenue yang didapat, dan seterusnya? Jika demikian yang dipersoalkan, tinggal kita evaluasi, sebenarnya masyarakat telekomunikasi semacam apa yang kita harapkan? Apakah senada dengan pola-pola pertumbuhan masyarakat internet Indonesia sebelum tahun 2005? Mencoreng muka Bangsa ini hingga sukses masuk scam alert transaksi finansial hingga detik ini.

Pun jikalau memang registrasi perdana melalui gerai adalah tidak efektif, maka rekayasa sistem (memperkuat sistem validitas data user, pemblokiran user dengan data non valid, dsb) yang harus ditempuh untuk mengurangi penyalahgunaan. Bukan solusi khas Indonesia, menaikkan harga.

Kepedulian Penyelenggara pada Tanda Tangan Elektronik

Siapa yang belum pernah mendengar sentilan bahwa Undang-Undang dibuat hanya untuk dilanggar? Apakah termasuk UU ITE? Secara prinsip, ada beberapa detail UU ITE yang menarik untuk dicermati, salah satunya adalah tentang Tanda Tangan Elektronik.

Pada BAB I - KETENTUAN UMUM - Pasal 1 - Ayat 12

Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik  yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

Pada dunia telekomunikasi, di Indonesia, sebagian pelanggan mendapatkan nomer seluler baru cukup dengan membeli SIM (subscriber identity module) Card, atau sering disebut kartu perdana. SIM Card inilah yang menjadi jembatan penghubung antara telepon seluler dengan perangkat milik penyedia layanan disekitarnya. Mulai dari BTS, BSS, BSC, dsb.

Dalam SIM Card yang telah dibeli tersebut terdapat dua modul penting, pertama ICCID  (Integrated Circuit Card Identifier), dan selanjutnya IMSI (International Mobile Subscriber Identity). Identitas fisik kartu seperti tanggal produksi, atau tempat produksi terkandung dalam ICCD. Sedangkan 15 digit identitas unik pelanggan terdapat pada IMSI. Sedangkan nomer seluler (semisal 0815234432) adalah MSISDN (Mobile Subscriber Integrated Services Digital Network Number) yang digenerate operator yang bersama dengan ICCD dan IMSI akan melakukan proses verifikasi dan autentifikasi pelanggan ke jaringan. Setelah pemberlakuan registrasi 4444, maka MSISDN tidak hanya korelatif terhadap HLR (home locator register) tetapi juga data-data terkait identitas pribadi pelanggan.

Dari karakteristik diatas maka sebuah nomer pelanggan seluler, sesuai UU ITE, bagi penulis termasuk Tanda Tangan Elektronik. Awamnya, nomer ponsel Anda akan diasosiasikan dengan diri Anda.

BAB III - INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK - Pasal 12

(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya.

(2)    Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:

a.     sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;

(3)    Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.

Dari 3 ayat dalam pasal 12 telah cukup menjelaskan bahwa setiap orang yang terlibat, dalam hal ini operator maupun pengguna, memiliki kewajiban dalam menjaga Tanda Tangan Elektronik.

Lain ladang lain ilalang, lain tulisan lain kenyataan. Tidak seluruh operator di Indonesia bisa menjaga validitas nomer MSISDN (nomer pelanggan) yang tampil pada ponsel tujuan berasal dari nomer tersebut.

Bahasa awamnya bagaimana? Bahasa awamnya adalah Bpk. A dapat mengirim SMS menggunakan nomer HP Ibu. B tanpa sepengetahuan Ibu.B sehingga seolah-olah SMS yang dikirim dari Bpk.A berasal dari Ibu.B. Hal diatas adalah mungkin karena beberapa operator masih mengijinkan override nomer pengirim dengan menggunakan layanan internasional tanpa harus mengurus perijinan apapun.

Suatu ketika penulis pernah mencoba menghubungi salah satu operatortentang hal ini dan mendapat jawaban : "

Dapat kami sampaikan, untuk saran dan masukkannya akan kami perhatikan dengan sungguh-sungguh, dan akan kami jadikan sebagai bahan evaluasi di masa mendatang. Sekali lagi, terima kasih atas respon yang diberikan terhadap fitur layanan *** " Sesudah itu tidak ada perubahan apapun.

Jikalau SIM Card telah mengolaborasikan MSISDN, ICCD, IMSI, dan tambahan korelasi data pengguna melalui layanan 4444, maka dalam hal ini telah menjadi Tanda Tangan Elektronik. Dan membiarkan celah pada sistem untuk duplikasi Tanda Tangan Elektronik, berarti pelanggaran operator pada UU ITE Republik Indonesia.

Jikalau operator sendiri tidak mempunyai itikad baik untuk secara internal mengatur override identitas pengirim melalui gateway luar Indonesia, maka penyalahgunaan layanan seluler juga merupakan kesalahan penyedia layanan.

Pelanggaran undang-undang oleh operator, pembiaran kelemahan sistem oleh pemerintah, hingga akhirnya saat terjadi kendala dan masalah, lagi-lagi konsumenlah yang disudutkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun