Karena sudah menjadi sebuah premis bahwa sebuah puisi adalah curahan, penuangan, pengejawantahan gejolak jiwa penulisnya. Puisi ditulis karena naluri si pemuisi untuk melestarikan buah pikiran yang pada gilirannya bisa dinikmati dan diambil manfaatnya oleh si pembaca.
Manfaat pembelajaran dari sebuah puisi antara lain:
1. Ikut merasakan gejolak jiwa yang dibagikan oleh si pemuisi.
2. Membukakan wawasan bahwa salah sebuah hakekat puisi adalah penyampaian secara stenografik atau shorthand dari rasa yang diolah si pemuisi.
Di atas, saya memilih penggunaan kata "derajat" pemaknaan pembaca, karena saya sedang membuat perbandingan tanpa prasangka mengenai pemaknaan si penikmat puisi dengan si empunya puisi. Meningkatkan derajat itu memerlukan penambahan jam terbang (baca: jam baca puisi), tetapi deviasi standar tertentu tetap ada.
Di sini terlihat jelas keberkelindanan jam baca dengan eksperimen saintifik, yang bukan untuk menemukan kebenaran 100 persen tetapi memperkecil error (deviasi standar), statistically speaking.
Satu yang yang hendak saya tegaskan di sini, tentu saja juga tanpa prasangka, saya tidak mengatakan bahwa pemuisi juga ada derajatnya, sama sekali tidak.
Ini adalah situasi yang sangat berbeda. Coba kita lihat saja ada berapa banyak pemuisi di Kompasiana? Hanya segilintir kan? Yang terpantau oleh saya: Ali Musri Syam, Bambang Syairuddin, Fatmi Sunarya, Ari Budiyanti, dll. (maaf tidak saya sebutkan nama rekanda Kompasiana). Yang saya sebutkan baru nama-nama pemuisi yang pernah saya "coba-coba" nikmati karyanya.
Kata "derajat" sama sekali tidak bisa dan tidak boleh saya gunakan karena:
1. Ada pemuisi yang memang menjadi pemuisi karena panggilan jiwanya.
2. Ada pemuisi yang awalnya mengekplorasi bidang ini untuk mencaritahu apakah dia bisa menulis puisi, dan dengan berjalannya waktu dia pun menjadi seorang pemuisi.
Kedua jenis pemuisi ini mengolah rasanya melalui kilatan gagasan maupun hasil perenungan, yang semuanya dituangkan ke dalam tulisan yang sesingkat mungkin.
Saya sangat menghargai para pemuisi karena berdasarkan pengalaman saya, saya selalu mengajarkan kepada anak-anak bahwa konten buku teks apapun hanya 10 persen intisari dan selebihnya adalah pemaparan. Nah, yang dikerjakan oleh para pemuisi adalah menciutkan lebih lanjut yang 10 persen itu!
Konsekuensinya, meningkatlah ketersiratan makna rasa. Saya pernah membaca puisi Bambang Syairuddin yang hanya berkonten persis 20 kata, ya, 20 kata! Di sini saya melihat adanya kemiripan selembar puisi dengan selembar foto, berjuta maknanya.
Eit, apa macam? (Meniru gaya bicara seorang teman Tamil saya), yang unik adalah (kita mulai masuk ke pokok bahasan), atas komentar saya mengenai puisinya di atas, pak Ali Musri Syam:
1. Menanggapi dengan mengatakan tidak paham dengan fisika.
2. Meminta saya mengkaji puisi-puisinya dari sudut pandang fisika (ini jelas karena pak Ali melihat bahwa belakangan ini saya menayangkan artikel-artikel Fisika untuk Hiburan dari berbagai topik bahasan).
Pak Ali, yang bisa saya janjikan adalah jangan "puisi-puisi" dulu pak, 1 per 1 puisi saja ya? Dimulai dengan puisi yang 1 ini dulu, yang kontennya memang terbaca, dengan derajat apresiasi saya, adalah bukan hanya konsep fisika, tetapi juga....... kimia dan biologi!
Puisi ini mendatangkan pencerahan bagi saya:
1. Bahwa disadari atau tidak, pak Ali telah menuliskan banyak konsep fisika dalam sebuah puisi 4 bait, sedangkan yang saya tulis dalam setiap artikel Fisika untuk Hiburan paling-paling hanya 1 atau 2 konsep yang berkelindanan.
2. Pak Ali telah membuat stenografi berbagai konsep saintifik dengan metode "tanpa rumus" seperti dalam artikel-artikel saya, tapi jauh lebih singkat dan itulah "masalah" bagi saya, bagaimana mengekspansi atau memelarkan kembali apa yang sudah dikemas oleh pak Ali dengan kompresi atau penciutan yang bahkan mengalahkan 7Zip atau Winzip dsb.
Bagi pembaca yang tergelitik untuk mengecek tingkat kompresi relatif antara puisi pak Ali dengan artikel ini, hitung saja rasionya hahaha.
Itulah alasan saya, kalau hendak memaknai (baca: unzip) "file zip" puisi, saya harus meluangkan waktu untuk bisa benar-benar menggunakan algoritma yang seakurat-akuratnya, atau mendingan jangan saya baca dulu jika hal ini tidak bisa saya pastikan.
Dekompresi Kidung Asmara kita mulai.
/1/
Sebelum gempa terjadi, getaran bumi menjadi penanda
Setiap kapal berlayar, getaran mengitari sekelilingnya
Setiap udara berhembus, alam bergetar meresapi maknanya
Seperti itulah diriku, kekasih
Setiap bersua denganmu, betapa jantungku bergetar hebat tiap detik
/2/
Perihal udara, setiap yang hidup membutuhkan
Manusia, hewan, tumbuhan; tanpanya, tak mampu melanjutkan kehidupan
Setiap yang bernyawa memastikan ketersediaan
Kekasih, begitulah dirimu
Adalah udara bagi tiap hela nafasku
/3/
Perihal langit, adalah atap bagi segenap alam
Yang hidup maupun mati; di bawah perlindungan
Segala yang ada di kolongnya, menikmati curahan
Kekasih, demikianlah dirimu
Adalah rabung bagi rumahku
/4/
Perihal air, ialah sumber bagi segala kehidupan
Semua makhluk membutuhkan
Tak ada satupun penghuni bumi tak mengindahkan
Kekasih, khatamlah dirimu
Jika kasihmu tak tercurah, adalah takdir kehausan bagi diriku