Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Tabiat Sun Go Kong, Si Kera Sakti

14 Agustus 2021   16:06 Diperbarui: 14 Agustus 2021   16:06 1181 3
Jika di sela kesibukannya sehari-hari, seseorang meluangkan waktu untuk merenungkan tentang apa makna hidup, renungan itu bisa membantu dia untuk lebih menghargai keindahan dan irama kehidupan, dan memberikan penyadaran tentang keterbatasan dirinya sebagai sesosok manusia.

Ditinjau dari taksonominya, manusia adalah spesies Homo sapiens, dan termasuk dalam genus Primata (manusia, kera, monyet, dan lain-lain). Jika dalam perenungan itu, orang tersebut juga bisa melihat keberlindanan dirinya dengan kera, maka dia akan memiliki gambaran  tentang siapa dia sebagai hewan, dan ini memungkinkan dia untuk lebih memahami dirinya sendiri dan kaitannya dengan sesama manusia.

Sikap penuh simpati, lebih bermurah hati, atau bahkan sinisme yang toleran, akan muncul seiring pemahaman yang lebih benar dan lebih dalam tentang sifat manusia yang berakar pada genus Primata di atas.

Jika orang yang kita bicarakan adalah orang Indonesia, dia akan dengan lemah-lembut mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia adalah keturunan dari 1 di antara 8 spesies manusia purba Indonesia, yaitu Meganthropus Paleojavanicus, Pithecanthropus Mojokertensis, Pithecanthropus Erectus, Pithecanthropus Soloensis, Homo Wajakensis, Homo Floresiensis, Homo Soloensis, atau Homo Sapiens, atau jika lebih jauh lagi, dari Simiiformes atau Anthropoidea, primata yang lebih tinggi: kera.

Sampai di situ, dia akan bisa mencapai kapasitas untuk menertawakan dosa dan keterbatasan dirinya, serta mengagumi kepintaran kera, yang disebut akal komedi manusia, sebuah pemikiran indah yang disarankan dalam esai karya Clarence Shepard Day yang mencerahkan, This Simian World (Dunia Simian Ini) pada 1920 dan dikisahkan juga dalam novel karya William Saroyan, The Human Comedy (Komedi Manusia) pada 1943.

Dengan memahami komedi manusia, dia bisa memaafkan semua saudaranya, temannya, para penyensor, kepala redaksi, editor, penyiar radio, anggota parlemen, diktator, pakar ekonomi, dan semua orang sibuk yang mencoba "mengganggu" urusan hidup orang lain. Dia bisa memaafkan mereka karena dia mulai memahami mereka.

Sekarang, mumpung kita sedang membicarakan tentang kera, mari kita tinjau tentang komedi manusia dari epik besar China tentang Sungokong (Mandarin: Sunwukong), yaitu Xiyouji (Perjalanan/Ziarah ke Barat), tentang ziarah dari China ke India untuk mencari kitab suci, yang dilakukan oleh 4 tokohnya, yaitu biksu Xuanzang atau Tang Sanzang (harf. Guru Tripitaka dari dinasti Tang) yang merepresentasikan kearifan dan Jalan Suci, kera sakti Sunwukong (harf. tersadarkan dalam kekosongan), yang merepresentasikan kecerdasan manusia, siluman babi Zhubajie (harf. babi 8 petunjuk/aturan) yang merepresentasikan sifat rendah manusia, siluman sungai/air Shawujing (harf. biarawan pasir) yang merepresentasikan akal sehat.

Selain 4 tokoh ini, ada juga Yulong, putra ke-3 Raja Naga Laut Barat, yang dijatuhi hukuman mati karena membakar mutiara agung ayahnya, lalu diselamatkan oleh Guanyin dari eksekusi untuk menunggu panggilan tugasnya. Yulong hampir tidak memiliki peran berbicara, karena sepanjang cerita dia tampil sebagai kuda tunggangan biksu Xuanzang.

Biksu Xuanzang yang dilindungi oleh para pengawal yang penuh rasa ingin tahu itu terlibat dalam perjalanan dari China ke India untuk mendapatkan benda-benda suci Buddhis.

Kisah kemajuan umat manusia pada dasarnya mirip ziarah rombongan makhluk tak sempurna yang beraneka ragam ini, yang terus-menerus menemui bahaya sekaligus situasi yang menggelikan.

Xuanzang harus sering-sering mengoreksi dan menghukum si kera yang nakal dan si babi yang sensual, karena muridnya yang satu itu selalu bertindak berdasarkan pikirannya yang tidak sempurna dan yang satu lagi nafsunya yang lebih rendah.

Instink manusia berupa kelemahan moral, kemarahan, balas dendam, ketidaksabaran, sensualitas, kurangnya pengampunan, kesombongan diri, kurangnya kerendahan hati, dll. selalu muncul selama ziarah umat manusia menuju ke kesucian.

Peningkatan daya rusak berjalan seiring dengan peningkatan kepintaran manusia, karena seperti si kera sakti dengan kekuatan sihirnya, sekarang kita bisa berjalan di atas awan dan jungkir balik di udara, mengganggu orang lain seperti si kera yang mencabut bulu kakinya dan mengubah bulu itu menjadi kera-kera kecil untuk menyerang musuhnya, atau mengetuk gerbang-gerbang surga, menyingkirkan para penjaga gerbang surgawi dengan kasar dan meminta kedudukan di antara para dewa.

Sunwukong pintar, tetapi dia juga sombong. Dia memiliki ilmu sihir untuk memuluskan jalannya ke surga, tetapi dia tidak memiliki cukup kewarasan dan keseimbangan dan kesederhanaan untuk hidup damai di sana. Ada kenakalan dan jiwa memberontak dalam dirinya, dan itulah sebabnya ketika dia memasuki surga dia menciptakan suasana ketakutan yang hebat, seperti singa liar yang dilepaskan dari kandang hewan di jalanan kota, dalam episode pendahuluan sebelum dia bergabung dengan para peziarah di bawah bimbingan Xuanzang.

Kenakalan bawaan Sunwukong sangat sulit dikoreksi, dan dia bahkan mengacaukan Pesta Makan Malam Tahunan yang diselengggarakan Ibu Suri Surga Barat.

Jika kita berperilaku seperti Sunwukong, kita akan memberontak dan tidak akan ada kedamaian dan kerendahan hati dalam diri kita sampai kita disadarkan sebagaimana Sunwukong disadarkan oleh Guanyin, sang Dewi Welas Asih. Setelah itu, dia bahkan masih banyak melakukan perbuatan yang memperturutkan kesombongan, yang secara panjang lebar bisa kita ikuti dari novel Xiyouji maupun serial drama dari berbagai versi.

Catatan:
Artikel ini adalah tulisan yang saya buat dalam rangka memberikan ringkasan pengantar untuk anak saya, Putri Natalia, ketika dia mulai membaca novel Sun Go Kong, Legenda Kera Sakti, karya Yan Wijaya. Ringkasan ini saya buat hanya berdasarkan ingatan saya hasil membaca buku Yan maupun menonton serial drama.

Jonggol, 14 Agustus 2021

Johan Japardi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun