Untuk bisa menghadapi dan mengatasi kesedihan dibutuhkan seorang pribadi yang tangguh, dan dengan demikian kesedihan yang serupa yang menimpa orang yang berbeda pun dihadapi dan diatasi dengan sikap, cara, dan dalam tempo yang berbeda. Ini juga bergantung pada pengalaman seseorang apakah pernah atau tidak pernah mengalami sebuah kesedihan tertentu, walaupun bisa jadi sebuah kesedihan yang sudah pernah dialami sebelumnya dihadapi dan diatasi dengan sikap, cara, dan dalam tempo yang berbeda pula.
Dalam menghilangkan kesedihan, sebagaimana halnya mensyukuri kenikmatan, doa sangat dibutuhkan, karena sebagai orang yang beragama, setangguh-tangguhnya seseorang, dia membutuhkan solusi dari Tuhan. Yang jadi masalah adalah orang cenderung berdoa ketika bersedih dan lupa bersyukur ketika diberi kenikmatan.
Di mana harus menjemur, jika tidak di panas matahari (Ke mana kita harus meminta pertolongan jika tidak kepada Tuhan yang Mahapemberi).
Itulah sebabnya saya memilih kata "menyikapi" alih-alih "mengatasi" dalam judul artikel ini, yaitu Menyikapi Kesedihan dengan Peribahasa para leluhur yang telah lebih dulu mengalami kesedihan itu. Zaman beralih, musim bertukar, namun kesedihan menimpa siapa pun yang hidup di zaman-zaman yang berbeda itu.
Belajar peribahasa dalam tema ini bermakna belajar pengalaman si pembuat peribahasa, entah kita belum atau sudah mengalami sebuah kesedihan. Jadi merupakan sebuah antisipasi.
Dilihat dari 2 arah sebagaimana halnya kesedihan dan kenikmatan di atas, kesedihan disebabkan oleh kehilangan maupun belum tercapainya keinginan, yang bersumber dari diri sendiri maupun orang lain.
Pada titik tertentu dalam kehidupan seseorang, bisa saja dia mengalami kesedihan yang diakibatkan oleh perubahan kebijakan perusahaan tempat dia bekerja: Dari jung turun ke sampan (Turun pangkat, jabatan yang lama lebih tinggi dari yang sekarang). Kesedihan di sini karena turun pangkat bisa berdampak pada turunnya harga diri dan merasa dipermalukan.
Kesedihan seseorang bahkan bisa sampai membuatnya merasa hanya dijadikan teman ketika ada uang dan dikhianati ketika jatuh miskin: Kalau tak ada uang di pinggang sahabat yang karib menjadi renggang, bumi dipijak rasa terpanggang, tangan tak dapat dibawa melenggang (Kalau seseorang sudah jatuh miskin dan melarat, sahabat kenalannya pun menjauhkan diri).
Kesedihan dalam percintaan dan dendam: Kasih tak sampai, dendam tak sudah (Ketidakpuasan yang mengakibatkan kesedihan). Inilah contoh kesedihan akibat keinginan yang tak tercapai. Mengatasi kesedihan ini tidak semudah yang dikatakan oleh peribahasa: Karena emas kemas, karena padi menjadi (Asal ada uang dan padi apa saja yang dimaksud bisa dicapai), karena ini bukan soal uang, ini soal hati.
Keadaan yang menimbulkan kesedihan, terlepas dari segala upaya yang sudah dicurahkan, dan solusinya adalah doa kepada Tuhan, Sang Pemberi Rezeki: Ke langit pun menjemur takkan kering (Meski ke mana berusaha mencari uang, kalau belum nasib belum juga akan beroleh rezeki).
Orang yang dirundung kesedihan yang tak putus-putus: Lepas dari mulut buaya, jatuh ke mulut harimau (Terlepas dari kemalangan kecil, datang lagi kemalangan yang lebih besar).
Kesedihan akibat keadaan yang sangat sulit dan tidak bisa mengharapkan pertolongan orang lain: Seperti air di daun talas (Dalam keadaan yang sangat sulit, tidak ada yang akan menolong, sedikit saja salah dapat celaka atau cepat hilang tak berbekas).
Penyikapan yang sangat berbeda ketika kesedihan menimpa orang lain dibanding diri kita sendiri, mudah dikatakan, sulit dialami sendiri: Seberat-berat mata memandang, berat juga bahu memikul (Betapa pun susah melihat penderitaan orang lain, lebih susah orang yang menanggungkannya).
Setelah melalui pengalaman dideru oleh berbagai macam kesedihan, kecil maupun besar, sebentar maupun lama, diharapkan kita memiliki kesiapan dan ketangguhan dalam menghadapi kesedihan berikutnya: Pandai menyelam di air yang dangkal (Pandai bertenggang di dalam keadaan yang sukar).
Demikian artikel Menyikapi Kesedihan dengan Peribahasa ini saya sampaikan, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi para pembaca sekalian.
Jonggol, 17 Juni 2021
Hasil renungan,
Johan Japardi