Dipersembahkan untuk: almarhumah Bu Situmorang, guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) saya di kelas 2 SMA.
Bilangan yang sangat kecil dalam judul artikel ini bisa dibaca dengan mudah menjadi 1 (satu) orang. Persentase ini saya peroleh dengan membagi 1 dengan 270.200.000, hasil pembulatan jumlah total penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk (SP 2020) pada September 2020 yang didata oleh Badan Pusat Statistik.
Satu orang yang saya maksudkan ini adalah seorang.............. Kompasianer, Johanes Krisnomo yang dalam salah sebuah artikelnya memuat video rekaman wawancara dengan pak Yadi, seorang pemulung: Yadi (45 Tahun), Pemulung Bawa Anak yang Bercita-cita Jadi Bos.
Di mata kebanyakan orang, pak Yadi "hanyalah" seorang pria yang sangat bersahaja, usia 45 tahun, pernah mengecap pendidikan hanya sampai kelas 5 SD, dan "wajarlah" kalau beliau hanya bisa menjadi seorang pemulung. Siapa gerangan yang bersedia mempekerjakan (baca: berbagi keadilan kepada) pak Yadi dengan kompetensi yang sangat terbatas, ijazah SD pun tidak beliau miliki, dan batang usianya* sudah tinggi pula?
*Saya pinjam istilah ini dari puisi Menyesal, karya Ali Hasjmy (1914-1998).
Pak Johanes, sang penulis artikel, bisa kita lihat sebagai seorang pengamal sila ke-5, kenapa? Apakah karena dia memberi pekerjaan kepada pak Yadi? Bukan.
Perekaman video wawancara dengan pak Yadi menunjukkan kepedulian pak Johanes untuk membuka mata kita semua, dengan harapan agar kita juga memiliki kepedulian yang sama, kepedulian kepada orang-orang yang tidak mendapat bagian dari pengamalan sila pamungkas Pancasila, sila ke-5, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang hanya bisa diberikan oleh orang-orang yang sudah mengamalkan 4 sila yang mendahuluinya, terutama sila ke-2, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, lihat artikel saya: Sila Ke-2 dalam Keluarga, dan Sila Ke-2 dalam Bermasyarakat.
Kepedulian ini tidak harus dengan melakukan hal-hal "besar."
Saya contohkan dalam dalam dunia korporat:
1. Tidak menzalimi karyawan.
2. Tidak memotong uang makan karyawan setiap kali dia terlambat masuk kantor hanya dalam hitungan menit, dan karyawan yang suka telat diberi pengarahan sampai peringatan agar dia berubah, dan kalau memang tidak bisa juga barubah, baru dia dijatuhi berbagai macam sanksi, sampai jika terpaksa, diPHK.
3. Mempekerjakan karyawan bukan atas dasar familiisme, nepotisme, atau koncoisme, tapi kompetensi dan kejujuran.
4. Memperlakukan karyawan bukan atas dasar favoritisme.
5. Menjaga keseimbangan reward-punishment.
6. Menjalin hubungan baik dengan siapa saja atas dasar menjaga keseimbangan take-give, yakni take-give keadilan itu sendiri
7. Memberi penghargaan yang sesuai dengan kontribusi masing-masing karyawan, yang didasari oleh rasa syukur atas bantuan yang telah diterima dari setiap karyawan dalam menyukseskan perusahaan.
8. Dll
Sebagian pengamalan sila ke-5 dalam perusahaan itu juga bisa dilakukan dalam masyarakat.
Contoh lain:
1. Berpartisipasi dalam kegiatan bakti sosial.
2. Berpartisipasi dalam menyalurkan bantuan kepada orang yang tak dikenal sekali pun.
3. Membantu seorang ibu penyapu jalan dengan memberikan "uang buat tambahan membeli cabe*." *cabai yang mengalami sandi fonologis, lihat artikel saya: Sandi Fonologis: Sebuah Artikel Inpromptu Saya.
4. Masih banyak lagi, termasuk yang dilakukan oleh rekan kita, pak Johanes.
Gunakanlah waktu untuk memberikan sebanyak-banyaknya manfaat kepada sebanyak-banyak orang, bukan "kura-kura menertawai labi-labi tidak punya ekor," padahal dia sendiri juga sama.
Penghayatan, dan selanjutnya pengamalan sila demi sila dari Pancasila bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, butuh pembelajaran seumur hidup.
Jonggol, 4 Juni 2021
Johan Japardi