Buku yang Tidak Saya Sukai
1. Buku yang Mengandung Kobaran Api
Penilaian banyak orang belum tentu sama dengan penilaian saya. Begitu saya memulai membaca sebuah buku, kesan yang saya peroleh dari permulaan bab pertama itulah yang langsung menjadi bahan bakar pendorong saya untuk terus membaca. Bisa jadi halaman berikutnya justru berisi api yang dengan cepat membakar habis bahan bakar itu dan saya pun tidak meneruskan membaca.
Wow! Jadi seorang penulis itu tidaklah mudah. Dia harus memperhatikan kesinambungan jalinan cerita dalam paragraf pertama, dari paragraf ke paragraf berikutnya, dan dari bab ke bab selanjutnya, yang tidak mengandung sedikit pun api itu.
Kualitas buku yang hanya berisi bahan bakar pendorong ini pertama kali saya temukan semasa kanak-kanak, mulai dari Makna Hidup (The Importance of Living) karya Lin Yutang, lalu cersil-cersil Kho Ping Hoo dan sebagainya, yang sudah saya bagikan dalam beberapa artikel saya sebelumnya.
Bagaimana saya menilai apakah, katakanlah hanya sebuah frasa itu adalah sebuah kobaran api? Saya berikan contoh tanpa menyebut nama buku dan penulisnya, dan saya yakin sebagian pembaca artikel ini pernah membaca buku yang saya maksud dan sebagian lagi akan membacanya.
Coba simak pernyataan berikut:
"Si Polan tidak mau ditunjuk menjadi presiden negara anu dan akhirnya dia diangkat menjadi bapak negara. Ini serupa dengan bapak rumah tangga yang kedudukannya jauh lebih tinggi dan mulia dibanding kepala rumah tangga." Saya enggan menjelaskan mana api dalam kalimat ini, yang bagi saya tidak layak diteruskan baca. Paksa banget.
Boleh jadi pembaca lain sama sekali tidak melihat adanya sang api, dan itulah yang menunjukkan selera orang yang berbeda-beda. Perkataan Yuan Zhonglang, "Tinggalkan buku yang kamu tidak suka baca, dan biarkan orang-orang lain membacanya" bukan berarti kalau seseorang menemukan buku yang isinya jelek, tapi yang tidak sesuai dengan seleranya. Lihat artikel saya: Seni Membaca.
Jika selera sudah tidak sama, standar penilaian masing-masing juga tidak akan sama. Itulah yang mendasari saya untuk "tidak mengatakan bahwa seseorang itu salah, kecuali kalau tidak logis, jauhi dia." Semua orang benar di bawah kondisi masing-masing: Biarkanlah Kata "Salah" Hanya di dalam Kamus: Mengapa Ayam Menyeberangi Jalan? Versi 1.1.
Itulah contoh sebuah buku yang penulisnya hanya kejar target, pokoknya sekian lama sekali harus menerbitkan buku, mumpung ada penerbit yang pasti menerbitkan buku apa pun yang dia tulis, entah itu buku emas maupun besi tua, dan mumpung ada pembaca fanatik.
Pernyataan bahwa "kualitas selalu berbanding terbalik dengan kuantitas"Â masih dengan sangat mudah diperdebatkan lebih lanjut, bagaimana dengan "kualitas selalu berbanding terbalik dengan eksesivitas?"
2. Buku yang Bukan dalam Cakupan Bidang Pengetahuan Saya
Ini wajar, walau tidak berarti bahwa saya memantangkan membaca buku jenis ini. Salah sebuah buku warisan kakek saya berjudul The Introduction of Quantum Mechanics karya Linus Pauling, seorang pemenang hadiah Nobel, terbit pada 1935. Buku ini sempat hilang dari kepemilikan saya pada 2001, dan saya sangat beruntung bisa menemukannya kembali di sebuah toko buku bekas di Terminal Pasar Senin.
Inilah yang saya sebut keterbatasan jumlah buka membuat orang lebih fokus untuk membaca....... buku yang ada. Sebagian isi buku Pauling ini saya jadikan bahan pembelajaran saya.
3. Buku dengan Konten yang Tak Jelas Juntrungannya
Saya pernah membeli sebuah buku kumpulan cerpen seorang penulis asing, versi bahasa Indonesia, dan menemukan bahwa kontennya sangat membingungkan, tak sejalan dengan nama besar yang disandang oleh penulisnya. Bagi saya, meneruskan membaca ini adalah pemubaziran waktu.
Bahkan buku best seller belum tentu kontennya bagus.
Sebelumnya saya pernah punya pengalaman yang jauh lebih parah. Ketika saya berada di AS pada 2001, saya pernah dihadiahi oleh Irene Coombs, tetangga Ivan Burnell, sebuah buku yang sangat menggemparkan pada masa itu, dan jumlah print-runnya dalam hitungan juta. Kontennya............. sampah. Kembali ke Indonesia, ada seorang teman yang setiap hari membicarakan tentang penulis buku itu, yang tiba-tiba menjadi idolanya, saya biarkan teman saya membaca sepuas hatinya dengan menghadiahi dia buku tersebut.
Inilah contoh buku yang menjadi best seller karena promosi yang superhiperbolik. Ada juga:
4. Buku yang Judulnya Superhiperbolik
Anda pernah melihat buku dengan sampul berisi tulisan, kira-kira seperti:
Bagaimana Anda bisa kaya dalam 3 Minggu?
Bagaimana menernakkan uang Anda?
Cara Berpikir Seorang Triliuner.
Apa yang ditabur itu yang akan dituai, yang dikuantifikasi menjadi: Berilah 100 kali lipat, dan Anda akan mendapat 100 kali lipat.
Dll.
Kalau saya menjadi kaya raya, saya pastikan bukan dengan cara mana pun yang disebutkan di atas.
5. Dan lain-lain. Tiap orang punya pengalaman masing-masing dalam hal tidak menyukai sebuah buku.
Buku yang Saya Sukai
1. Sudah pasti yang hanya berisi bahan bakar pendorong. Bukan hanya buku, sebuah puisi pun bisa memiliki karakteristik ini. Bahan bakarnya bukan hanya mendorong saya untuk membaca habis puisi yang memang singkat, tapi lebih dari itu mendorong saya untuk memaknainya sekomprehensif mungkin. Lihatlah puisi di Kompasiana, Seringkas Brosur Puisi, yang baru-baru ini cuma mampu saya beri komentar singkat: 17 kata, plus judul 20 kata, namun saya mendapat pencerahan lanjutan:Â 17 (jitu, siji pitu), angka keramat; 20 jumlah sifat wajib Gusti Pangeran.
2 - 5: Antitesis 2-5 dari Buku yang Saya Tidak Sukai di atas.
Memulai membaca buku, menemukan daya tarik konten buku, menemukan penulis favorit, dan selera akan jenis buku yang dibaca, semuanya berbeda menurut pengalaman masing-masing orang. Ini terlepas dari tingkatan usia, bibit, bobot, dan bebet seseorang, maupun ketersediaan buku itu sendiri.
Ramanujan si jenius di atas segala jenius (Ramanujan, Satu Lagi Keluhuran Timur yang Dirampas) sejak masih anak-anak sudah belajar bahasa Inggris yang lalu dia gunakan untuk membaca buku-buku matematika berbahasa Inggris. Sebagai anak dari keluarga yang sangat miskin, dia melakukan semua itu dari luar sekolah.
Orang-orang yang tidak mau keluhuran Ramanujan terlihat oleh banyak orang, mencari berbagai cara untuk merampas keluhurannya, antara lain dengan mengatakan: "Ramanujan menuliskan teorinya setelah tanggap sasmita dari Dewa-dewi Hindu yang dia sembah." Mungkin ada benarnya, tapi terlalu dibesar-besarkan.
Jonggol, 30 Mei 2021
Johan Japardi