Kisah yang terjadi pada 1960-an ini saya dengar dari orang yang lebih tua. Saya belum lahir pada masa itu.
Kisah Persahabatan Ojak dan Uli
Ojak adalah seorang pemuda yang hidup di Tanjungbalai. Setamat SMA, Ojak bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan swasta, dengan gaji yang lumayan, sedikit melebihi pengeluaran bulanan dia.
Uli adalah seorang gadis Medan, tamatan SMA juga, tapi belum mendapat pekerjaan. Suatu hari, Butet, teman Uli, sepupu Ojak, memperkenalkan Ojak kepada Uli. Setelah mendapat persetujuan dari Uli dengan mempromosikan segala kelebihan dan kebaikan Ojak, Butet pun memberitahukan tentang alamat Uli kepada sepupunya itu ketika dia pulang kampung. Ojak dan Uli pun menjadi sahabat pena.
Di rumah Uli ada telepon, tapi di rumah Ojak belum, dan pada masa itu komunikasi yang paling umum adalah dengan bersurat-suratan. Uli tertarik dengan pribadi Ojak setelah menerima surat pertama. "Seorang pemuda yang tulisannya rapi, isi suratnya menunjukkan bahwa Ojak adalah seorang terpelajar, baik, dan santun. Hubungannya dengan sesama saudara, kerabat dan temannya pun harmonis, disimpulkan dari sebuah paragraf yang ditulis Ojak tentang mereka."
Tak terasa, persahabatan Ojak dan Uli sudah berlangsung 2 tahun. Mereka semakin mengenal pribadi masing-masing, apalagi Ojak pernah satu kali datang ke Medan dan bertamu ke rumah Uli, dan berkenalan dengan keluarganya. Uli sudah bekerja setahun lebih dan banyak mendapat saran barharga dari Ojak, di antaranya kiat menabung. Mereka berdua saling menyemangati untuk menabung lebih banyak lagi, demi masa depan.
Setiap minggu, pada hari antara Kamis dengan Jumat, Uli selalu menanti-nantikan kedatangan surat dari Ojak, dan memesankan kepada adiknya agar memperhatikan apakah ada surat yang datang pada hari-hari itu.
Belakangan ini surat yang diterima Uli sudah mulai berisi pantun karangan Ojak. Isinya tentu hal-hal yang berbentuk curahan rasa cinta. Sepertinya suasana hati Ojak yang sesekali galau karena kejadian tertentu tidak membuat Ojak kehabisan rasa maupun gairahnya dalam mengolah rasa itu menjadi surat.
Memang, dalam periode 2 tahun itu Ojak terus mengasah keterampilannya dalam menulis, dan secara bertahap tulisannya itu semakin mendekati karya seorang pujangga. Uli sangat suka dengan itu. Ojak tahu saja cara-cara membuat hatinya berbunga-bunga, semangat hidupnya melambung tinggi, dan menjadi seorang gadis periang dan disukai semua orang.
Beberapa bulan setelah tahun ketiga, Uli menerima sepucuk surat berisi lamaran Ojak untuk menikahi dia. Uli sangat terkejut dan tidak tahu bagaimana memberikan jawaban atas rencana Ojak itu. Dia pun dengan berat hati lalu memilih untuk berdiam diri dan surat-surat Ojak sampai dengan 3 bulan berikutnya tidak dia balas.
Kisah di Balik Kisah Persahabatan Ojak dan Uli
Kita mundur ke belakang. Ucok adalah seorang pegawai kantor pos Medan yang setiap minggu mengantarkan surat Ojak kepada Uli. Setelah beberapa kali bertemu, Ucok pun memberanikan diri berkenalan dengan Uli. Setahun kemudian, Ucok hendak dipindahkan oleh atasannya ke bagian lain, namun dia menolak penugasan itu dengan memberikan berbagai alasan yang bisa diterima. Pernah juga Ucok hendak dipindahkan ke wilayah lain di Medan, di luar wilayah tempat rumah Uli berada, dan Ucok pun berhasil menolaknya.
Pada tahun ketiga, Ucok mulai sering bertamu ke rumah Uli, bahkan kadang-kadang diajak makan bersama orangtua dan saudara Uli. Hubungan mereka meningkat dan pada suatu hari, Ucok membawa orangtuanya untuk dikenalkan dengan orangtua Uli. Sungguh dunia ini kecil, ternyata ayah Uli dan ayah Ucok sekampung, bahkan pernah satu kelas di SR (Sekolah Rakjat) sebelum kakek Uli pindah ke Medan. Dua sahabat yang terpisah selama puluhan tahun itu pun akhirnya bisa melanjutkan kembali persahabatan mereka.
Sebulan sebelum menerima surat lamaran Ojak, orangtua Ojak dan Uli sudah mematangkan rencana menikahkan anak-anak mereka, tanggal pernikahan sudah ditentukan bersama persiapan-persiapan lain yang diperlukan.
Sebulan setelah Uli menerima surat lamaran Ojak, dia berhasil menenangkan dirinya dan mendiskusikan hal itu dengan Ucok. Dengan beberapa masukan dari Ucok, itu pun setelah berdiam diri 2 bulan lagi, akhirnya Uli pun mengirimkan balasan kepada Ojak.
Isinya:
Bang Ojak sahabatku yang baik,
Saya tidak tahu harus bilang apa kepada abang setelah menerima surat abang yang terakhir. Maafkan saya bang, kalau selama ini saya membuat abang menaruh harapan besar atas diri saya. Jangan marah yang bang, saya tidak bisa menerima permintaan abang itu.
Saya sudah punya pacar dan sudah memutuskan akan menikah (Uli tidak tega menyampaikan tentang kapan dia akan menikah, apalagi mengundang Ojak ke pernikahan itu).
Saya mohon kerelaan abang untuk menerima saya tetap sebagai seorang sahabat, dan saya akan mendoakan abang agar cepat mendapat jodoh.
Medan, ........... 196...
Sekali lagi, maafkan saya.
Dari sahabat yang telah mengecewakan abang,
Uli
Penutup
Setelah menerima surat balasan Uli, Ojak mendadak berubah dari seorang yang periang menjadi pemurung, tidak fokus bekerja, dan akhirnya dipecat dari tempatnya bekerja.
Ojak pun tidak pernah lagi bersurat-suratan dengan Uli. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Ojak untuk bangkit kembali dari titik terendah hidupnya itu, setelah dia membaca sebuah buku berisi pepatah Jepang: jatuh 7 kali, bangun 8 kali, karena sesungguhnya semua orang memulai dari posisi berdiri. Namun, Ojak telah mengambil sebuah keputusan drastis: melajang seumur hidup.
Keberadaan HP, jalan tol, transportasi canggih, termasuk mobil pribadi, dll, telah membuat hal-hal semacam sahabat pena usang, lalu hilang dari hidup kita, dan sempat menyisakan seorang Ojak (sekarang almarhum), si orangtua yang bercerita kepada saya itu.
Jonggol, 29 Mei 2021
Johan Japardi