Saya hanya pernah beberapa kali melakukan yang namanya belanja online dan itu pun dengan sangat selektif dan berhati-hati. Ini bisa disejajarkan dengan kebiasaan saya yang lebih suka membaca buku cetak ketimbang e-book, entah itu online maupun offline.
Mengherankan, untuk kebiasaan semacam saya, ada saja segelintir orang dengan sembarangan mengistilahkannya dengan laggard (orang yang ketinggalan) atau malah lebih kejam lagi, low-tech, seakan rencana untuk belanja itu hanya bisa dicapai dengan belanja online saja.
Saya tak pernah memikirkan, apalagi memusingkan untuk memberikan tanggapan, yang penting saya nyaman dengan cara saya yang membeli apa-apa dengan melakukan browsing toko, dengan atau tanpa tujuan spesifik untuk membeli barang apa, bukan dengan mengambil risiko membeli kucing dalam karung. Tiap orang punya alasan, kebiasaan, dan kenyamanan masing-masing dalam berbelanja. Offline atau online itu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, terbukti dari Amazon yang pernah kebingungan dan menggunakan dua-duanya dalam outletnya, dan saya yang lebih menyukai cara offline juga pernah kok mencoba cara online.
Secara offline, saya bukan hanya lebih nyaman memilih sebuah produk sesuai dengan fitur-fitur yang saya inginkan. Lebih dari itu saya juga bisa membuat komparasi antar beberapa merek produk dan biasanya saya membeli sebuah produk setelah mempertimbangkan semua hal, dan kadang-kadang harga tidak lagi menjadi masalah, asal lebih banyak fitur yang dipenuhi oleh produk itu. Dalam hal pembayaran, saya juga lebih suka melakukan pembelian tunai ketimbang kredit, lihat artikel saya, Kepuasan Hidup:
Alah membeli menang memakai.
Kompasiana sendiri memaparkan tentang sesuatu yang sudah saya lihat dialami banyak orang, yakni barang pesanan online yang tak sesuai harapan, malahan ada kejadian lucu dimana seseorang yang menemukan secara online sebuah produk yang sangat murah dan memesan dan membayarnya, lalu menerima sebuah produk mainan! Ini bisa terjadi jika sebuah pembelian dilakukan secara kompulsif sekaligus tidak dibarengi dengan pengecekan manual.
Ada beberapa alasan yang melandasi dan kiat saya melakukan pembelian online:
1. Ketika saya dikabari oleh penerbit Libri, langsung oleh editor yang saya kenal baik, bahwa mereka akan meluncurkan buku Little House Seri Rose, Negeri Apel Merah Besar, dengan harga diskon pra-pesanan plus ongkos kirim, saya memutuskan agar Putri sendiri yang melakukan pra-pesannya. Selain melatih Putri untuk melakukan belanja online, juga lebih murah dan tidak harus menunggu novel tersebut tersedia di toko, yang sama sekali tidak praktis bagi saya untuk ke sana hanya untuk membeli sebuah buku, dan nihil risiko tidak menerima produk yang dipesan, karena informasi tentang produk itu saya terima dari sumber yang terpercaya.
2. Saya pernah memesankan yukata (pakaian tradisional Jepang) untuk Putri dan saya meminta penjualnya untuk menghubungi Putri untuk urusan pembayaran. Saya tidak bisa mengatakan bahwa penjual ini 100% terpercaya karena ada teman saya yang melakukan pemesanan online dari sumber yang sudah diverifikasi oleh toko online dengan segudang tanggapan positif dari orang-orang yang sudah "menerima" produk pesanan mereka, pada akhirnya TERTIPU JUGA. Jadi, belanja yang satu ini mengandung unsur gambling. Yang membuat saya memutuskan untuk memesan adalah karena produk ini bukan produk umum, harganya didiskon khusus karena pandemi yang mengakibatkan jumlah pembeli menurun drastis, dan si penjual hendak menghabiskan sisa stoknya.
Untuk produk sehari-hari, bahkan makanan pun sekarang sudah ditawarkan secara online, dengan menyajikan fitur yang menurut saya berlebihan, seperti: dipilihkan oleh emak-emak berpengalaman. Kalau saya masih lebih nyaman melakukan pembelian offline karena alasan pengalaman saya yang suka makan dan masak sendiri tidak kurang dibandingkan dengan emak-emak online andalan toko tersebut.
3. Â Saya pernah beberapa kali kehabisan obat-obatan herbal dan melakukan pemesanan online karena terpaksa oleh keadaan pandemi, itu pun langsung dari toko obat langganan saya.
Jadi, hanya 3 belanja online inilah yang pernah saya lakukan.
Saya juga belum menemukan orang yang berbelanja online untuk produk spesifik seperti alat kesehatan langsung dari pabriknya di luar negeri, yang bagi importirnya dipersyaratkan harus registrasi lebih dulu di Kementerian Kesehatan, dan baru boleh melakukan pembelian setelah memiliki izin edar. Ini bisa juga dibaca sebagai: belum ada pabrik pengekspor alat kesehatan yang memamerkan, apalagi menjual produknya secara online. Entah sampai kapan, pameran masih dilakukan secara offline, pembeli potensial datang dan dengan mata kepala sendiri mengecek produk yang hendak mereka pasarkan.
Saya bukan pesimistik, tapi bagi saya sudah biasa berbelanja online pun bukan merupakan jaminan bahwa semuanya akan berjalan normal dan produk diterima sesuai pesanan, karena faktor-x-nya lebih banyak ketimbang berbelanja offline.
Jonggol, 19 Mei 2021
Johan Japardi