Artikel ini bukan mengulas aneka kuliner Tanjungbalai yang bisa Anda telusuri sendiri secara daring, namun hanya sekadar berbagi beberapa pengalaman "makan" saya di kampung halaman saya itu.
Hari ini hari terakhir Ramadhan, dan kerinduan saya akan bubur pedas yang pernah saya tuliskan dalam artikel: Kartini-kartini yang Tersembunyi (atau Disembunyikan?) tak kunjung terlepaskan. Sebenarnya bubur pedas itu hanya satu di antara begitu banyak makanan Tanjungbalai yang sedang saya ingat. Siapa yang tak rindu makanan khas kampung halaman?
Salah sebuah makna tersirat peribahasa kita "Lain lubuk, lain ikannya" saya baca sebagai "Lain kampung halaman lain pula makanan khasnya."
Nah, karena saya anak Tanjungbalai dan sejak lahir sampai sebelum saya merantau, lidah saya pun sudah terbiasa dengan segala macam makanan Tanjungbalai. Sampai sekarang juga kalau saya ditanya makanan apa yang paling enak, jawaban saya bukan nama makanannya secara spesifik, tapi MAKANAN TANJUNGBALAI ASAHAN.
Saya memiliki banyak sahabat Barat dan sama sekali tidak sentimen dengan orang bule itu, tapi dalam hal pandangan tentang makanan, sebagian di antara merekalah yang tanpa logika, hanya berdasar sentimen, mengatakan hal-hal yang tak perlu mereka katakan tentang makanan Timur yang memang bukan makanan sehari-hari mereka.
Cara berpikir yang dipengaruhi oleh sentimen ini terlihat dari pernyataan-pernyataan yang sangat konyol seperti:
1. Why do people get hungry an hour after eating Chinese food? (Mengapa orang-orang lapar lagi sejam setelah memakan makanan China?)
Yang bikin kenyang itu justru makanan Timur friend, datanglah ke Indonesia dan cobalah makanan tinggi karbohidrat kami, dijamin Anda tidak akan lapar sampai jam makan berikutnya. Kami semua di sini begitu adanya.