Bulan Ramadhan baru bermula, namun kerinduan saya akan bubur pedas (lihat: Kartini-kartini yang Tersembunyi (atau Disembunyikan?) di kampung semakin menjadi-jadi. Mau masak sendiri repot sekali (bahan-bahannya 30 macam lebih). Jadi, saya pun mengalihkan kerinduan saya yang juga sedang susah tidur ke pencarian tulisan saya yang terkait Tanjungbalai dalam catatan harian saya.
Dari Catatan Harian, 21 September 2019
Bahasa Tanjungbalai, sebagaimana halnya bahasa Indonesia, merupakan keberlanjutan atau derivasi dari bahasa Melayu yang beratus-ratus tahun yang lalu menjadi lingua franca di kawasan Asia, utamanya Asia Tenggara. Terlalu luas jika kita membahas tentang transformasi bahasa-bahasa ini sampai sekarang, jadi saya membatasinya hanya ke bahasa Tanjungbalai.
Jika ditilik definisinya, lingua franca adalah bahasa pengantar atau bahasa pergaulan. Nah, bahasa Indonesia sejak Sumpah Pemuda menjadi bahasa pengantar yang mempersatukan bangsa Indonesia dalam berkomunikasi lisan maupun tulisan.
Saya amati, bahasa Tanjungbalai sendiri, yang masih bisa disebut bahasa Melayu, lebih menunjukkan identitas sebagai bahasa pergaulan, setidaknya di Tanjungbalai Asahan. Ayatrohaedi mengistilahkan bahasa pengantar sebagai basantara (bahasa antara), jadi bolehlah saya mengistilahkan bahasa Tanjungbalai sebagai basaulan (bahasa pergaulan), dengan mengambil paruh kedua dari definisi di atas.
Nah, dalam fungsinya sebagai basaulan, ditambah dengan nilai rasa yang tinggi dari orang Tanjungbalai sendiri,* bahasa ini menjadi sangat lentur bak ballet di antara tarian-tarian lain.