[caption id="attachment_149084" align="alignleft" width="285" caption="NYANYIAN SEPANJANG BOULEVARD"][/caption] Jay “Jeger” Wijayanto tidak bisa dilepaskan dari The Indonesia Choir yang dibidani kelahirannya bersama Samuel Pangaribuan pada tahun 2008. Sebuah kelompok paduan suara komunitas plural dengan menggunakan bahasa ucap seni pertunjukan paduan suara yang berakar dari akar musik identitas bangsa tradisi Indonesia Setelah konser pertamanya bertajuk Bunga Rampai Tanah Airku (2009) digelar di Jakarta dengan sukses, The Indonesia Choir (TIC) selalu menggelar konser setiap tahunnya. Setelah pagelaran Nusa Silang Budaya (2011), Dua Kisah Nusantara (2011) dan terlibat beberapa kolaborasi di Jakarta, TIC memulai tour pagelaran di Solo dan di Yogyakarta pada tanggal 11 Desember 2011 di Auditorium UKDW Yogyakarta dengan tema Nyanyian Sepanjang Boulevard. Ide tema konser ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konser Dua Kisah Nusantara, dua ekspresi budaya Indonesia Timur dan Barat, dua latar belakang budaya relatif berbeda dimana di Timur dipengaruhi oleh kedekatan masyarakat dengan alam asli, hutan, binatang atau laut, sedangkan budaya Indonesia Barat, misalnya Jawa, lebih banyak dipengaruhi magisme budaya agraris. [caption id="attachment_149085" align="alignright" width="300" caption="Jay "][/caption] Dalam suatu waktu setelah kira-kira 6 bulan tidak bertemu Jeger, tanggal 9 Oktober 2011 saya sempat ngobrol di salah satu jaringan sosial, Jay bercerita sedang mempersiapkan konser TIC dan TCC dan akan pentas di Jakarta jelang akhir tahun 2011. Pertanyaan saya pada saat itu,..kenapa harus di Jakarta? Berbagai argumentasi disampaikan oleh sang pemeran Bang Zaitun, yang pada intinya adalah sebagaimana dia kutipkan salah satu pendapat
,...” Rendra mengatakan Jogja adalah kasur tua untuk melahirkan tokoh,..bukan untuk membesarkannya”. Ya,..kenyataanya memang begitu,.. saya membenarkan pernyataan itu, tetapi juga saya sentil dengan pernyataan tanya, “Sementara kasur tua semakin tipis berdebu dimakan usia,..pertanyaanya,..apakah tokoh-tokoh yang telah dilahirkanya punya kesempatan menjemur kasur tua ? atau sekedar membersihkannya untuk bayi-bayi tokoh yang akan dilahirkannya lagi?” pada saat itu tanya belum terjawab, dan baru 1 bulan kemudian dijawab dengan pagelaran semalam. Bagi saya pagelaran Dua Kisah Nusantara di Jogja adalah usaha Jeger “menjemur kasur tua” dan kangenan-kangenan dengan teman-teman lama di Gelanggang Mahasiswa, Boulevard UGM dan komunitas-komunitas plural lainnya di Djogja yang melahirkannya sebelum menghijrahkan diri ke Jakarta. Dua kelompok paduan suara dengan style berbeda tampil dalam satu pagelaran, ETERNAL CHOIR dengan style serius “Grejani” dan THE INDONESIA CHOIR yang ber style “plural” di komposisi panggung, lagu, kostum dan celoteh gerak panggung. Konser (terlebih lagi paduan suara) didalam angan hampir setiap orang adalah “keseriusan”, tetapi bukan Jeger Jay Wijayanto jika tidak ber”cocot-lunyu” menyelipkan guyon “maton” plesetan gaya Mataraman dan Basio diantara keseriusannya sebagai konduktor. Semalam ber-roller coaster mengenal dan memahami kembali budaya Indonesia Barat dan Indonesia Timur melalui gerak dan lagu. Berawal dari Yogya-Jawa Tengah, Gundul-gundul pacul [caption id="attachment_149086" align="alignleft" width="504" caption="TIC, The Indonesia Choir; Foto: Sumo Gambar"][/caption] Gundul gundul pacul-cul, gembelengan Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah Pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat Wakul ngglimpang segane dadi sak latar...
Jika gembelengan (se enaknya sendiri, sombong dll) bakul Nasi akan tumpah di tanah tak akan bisa dimakan lagi karena kotor. Maka gagallah tugasnya mengemban amanah rakyat. Kemudian beberapa lagu tentang pop cinta, doa dan Ke-Esaan, meloncat ke Biak Papua dengan lagu Diru Diru Nina, berselancar balik ke barat lagu Melayu Burung Nuri,..mampir sebentar di serambi Aceh dengan lagu Tarek Pukat,..meluncur bali ke timur ujung Jawa Banyuwangi Luk-Luk Lumbu. Sebuah perjalanan imaginer yang membawa penonton melintasi keragaman gerak, dan lagu khas yang mencirikan rangkaian wilayah barat dan wilayah timur Indonesia. Lagu-lagu Jawa yg penuh makna simbolik meskipun kadang sangat lugas menunjukan kehidupan sehari-hari seperti lagu Rujak Uleg yang terasakan sensasi pedas cabe dalam aransemenya. [caption id="attachment_149087" align="alignleft" width="300" caption="Tanda terima kasih, disampaikan Joko Kobong. Bukan bunga tetapi ULOS; Foto: Sumo Gambar"][/caption] Sampai dipertengahan acara ditampilkan lagu Ave Maria Nusantara yang dinyanyikan bersamaan dengan lantunan surat Maryam (QS 19) oleh santri salah satu pondok pesantren di Plosokuning. Menurut cerita Jeger, lagu ini sebenarnya menggambarkan suasana di tahun 1994 ketika bersama komunitas paduan suara di Jogja berlatih di dekat masjid. Suara koor lagu Ave Maria yang dinyanyikan pada waktu latihan terselimuti suara pelan pengajian dari masjid sebelah rumah tempat latihan, dan suasana itu juga mengingatkan saya pada salah satu lagu di Youtube hasil rekaman
AL BAYRUTH Academia. Setelah berkelana sebentar di dunia ke-Esaan, tanpa jeda O Tao Natio membangunkan kembali ke alam budaya Tapanuli/Batak yang mengungkap keindahan alam danau Toba dilanjutkan dengan lagu dengan judul tanpa arti Sin Sin Sibatumanikam yang menunjuk memang bangsa ini suka bermain bunyi dan mengolah bunyi menjadi musik. Yapo Mama Cica dari Papua menjadi lagu terakhir pagelaran malam ini,..lagu yang cukup rancak dengan gerak tari lincah dan dinamis,..sebagaimana seharusnya kita semua secara dinamis dan lincah memahami perubahan dan keberagaman bangsa ini. Bravo Jay, Nyanyian Sepanjang Boulevard sukses,..penonton terpesona dan tidak beranjak dari tempat duduknya,..meskipun mereka belum mampu menjentikan tangan dan bergerak mengikuti musik,..mungkin karena ini memang “konser”, applaus hanya diberikan di akhir lagu. Bawa kembali mereka yang dilahirkan di Jogja,..
menata dan menjemur kasur tua yang semakin tipis berdebu dimakan usia ini untuk melahirkan kembali bayi-bayi tokoh baru. Djogja, 11 Desember 2011 JH
KEMBALI KE ARTIKEL