Cerita bersambung
Jodhi Yudono Pesta telah usai. Pot-pot bunga, meja, kursi, dan perkakas lainnya yang tadi ditata sedemikian rupa, kini telah kembali ke tempatnya semula. Malam belum larut benar, tapi Pay dan Ijah telah berada di peraduannya, demikian juga Onah. Barangkali mereka kecapekan setelah sore tadi disibukkan oleh acara ultah anak semata wayang keluarga Paijo itu. Malam ini Pay memang sengaja menolak semua pekerjaan. Dia ingin hari ini waktunya hanya buat keluarga, terutama Onah. Padahal ada job besar mengisi sebuah acara pernikahan anak seorang pengusaha yang meminta Pay untuk bermain selo, berpasangan dengan Irul yang memainkan gitar klasik. Akhirnya pekerjaan itu dia berikan ke Mas Jassin. Ya, ya... pada titik tertentu, Pay memang harus mengutamakan keluarga dan mengabaikan pekerjaan di luar rumah. Seperti seharian ini. Pay ingin bersama orang-orang yang dia kasihi dan juga menyayangi dirinya. Pintu kamar telah tertutup rapat, tak ada lagi suara televisi ataupun bunyi panggilan dari telepon seluler. Suara yang terdengar hanyalah desau angin dan gerimis di luar rumah. Ah.. sebuah simfoni alam yang menakjubkan. Bayangkanlah jika di sekitar rumah Pay ada hutan cemara, tentu desau angin yang membelai pohon berdaun jarum-jarum hijau itu tambah puitis. Namun keheningan itu tak bertahan lama, Sebab tiba-tiba... Ssssstttt... dengarlah, ada suara instrumen selo dari balik pintu kamar Pay dan Ijah. Pasti, lelaki yang piawai memainkan semua alat gesek itu sedang tergetar rasa keindahannya oleh suara angin dan gerimis. Simaklah, dia mulai memainkan sebuah komposisi indah "Song of The Bird". Entah apa soalnya, Pay membuka permainan selonya malam ini dengan komposisi yang kelam dan penuh duka. Sebuah lagu tradisional Catalan yang diaransemen ulang untuk permainan selo oleh cellist Pablo Casals "Hiks.. Ganti dong mas, jadi sedih nih. Mainin yang agak gembira, biar anak kita juga terobati luka hatinya," pinta Ijah yang masih terkenang dengan kejadian sore tadi saat Onah mengejar Hendry hingga ke luar rumah."Kangen aja memainkan komposisi ini. Baik, baik, aku akan memainkan yang lain," ujar Pay. Tapi sebelum Pay memainkan lagu lainnya, ia minta ciuman dari Ijah. Maka, dengan penuh perasaan, Ijah pun menciumi wajah lelakinya itu. Terakhir, dibekapnya mulut Pay dengan bibir Ijah yang sensual. "Dasar kolokan, mainkan buatku dan buat anak kita lagu yang indah," ucap Ijah setelah melepaskan kecupan panjang di bibir suaminya. Segera, lagu "The Swan" karya Camille Saint-Saens yang legendaris itu pun mengalun lembut dari gesekan selo Pay. Seperti cellist Yo Yo Ma yang dikaguminya, Pay pun bermain sepenuh jiwa. Suara gesekan selo yang magis, ditambah desau angin dan rintik gerimis, membuat malam di kamar Ijah dan Pay menjadi prosa liris yang manis. Meski selama ini Pay lebih sering bermain biola di kafe-kafe, tapi di dalam hatinya yang paling dalam, dia lebih mencintai alat musik yang bernama lengkap Violoncello itu. Pay mujur, saat dirinya sedang ada rezeki, ada seorang kawan butuh uang hendak menjual selo. Maka selo merk karl hofner bubenreuth itu pun bisa dia peroleh hanya dengan harga tiga juta perak. Begitu "The Swan" rampung dimainkan, Ijah memberi suaminya sebuah tepukan tangan kecil. Ijah bahagia, sangat bahagia. Teringatlah dia akan masa lalunya saat pertama mengenal lelaki yang pandai menina-bobokan hatinya itu. Kala itu, di kampungnya di kawasan Keputran, Surabaya, yang sedang menyelenggarakan acara 17-an, permainan biola dan wajah Pay sungguh-sungguh telah menarik hatinya. Maka, seperti telah berjodoh, usai konser, Pay langsung duduk di sebelah Ijah. Perkenalan pun terjadi, dan selanjutnya mereka memasuki episode cinta yang penuh kepedihan. Saat kedua orang tua Ijah tahu puterinya berpacaran dengan seniman macam Pay, tak cuma larangan keluar rumah bagi Ijah, tapi juga ancaman disertai kekerasan oleh para anak buah ayah Ijah yang juragan besi tua yang memiliki kekayaan serta kekuasaan untuk membayar orang untuk menjauhkan putrinya dari Pay. "Kon gak minggat seko kampung kene, matek!" ancam para kaki tangan ayah Ijah yang menyuruh Pay segera meninggalkan wilayah Keputran. "Wani-wanine kon pacaran ambek anake juraganku," ujar centeng lainnya sambil menohok dada Pay. Tapi dasar Pay keras kepala dan tak mau menyerah memperjuangkan cintanya kepada Ijah, kejadian apapun akan dia hadapi. Tak cuma sekali dua dia menerima siksaan dari anak buah Tuan Kadir ya ayah si Ijah itu, belum lagi makian dan hinaan, hingga aksi teror yang menimpa keluarganya; tak mampu menyurutkan langkah Pay untuk mendapatkan Ijah. Hingga akhirnya Tuan Kadir disudutkan kepada dua pilihan oleh Ijah. Kalau ingin melihat Ijah hidup, maka biarkanlah dia hidup bersama Pay. Tapi kalau keluarganya tetap menghalang-halangi, Ijah mengancam akan menenggak racun serangga. Tuan Kadir tahu, Ijah tak pernah main-main dengan ancamannya. Apa boleh buat, kendati dia meluluskan permintaan Ijah untuk hidup bersama Pay, tapi puteri sulung dari enam bersaudara anak Tuan Kadir dan Maryam itu harus keluar dari rumah besar keluarga itu. "Sana makan cinta!" ujar Tuan Kadir saat Ijah dan Pay pamitan hendak menikah. Untunglah Ijah berhasil membujuk Paman Tohir, si bungsu dari Kadir bersaudara, untuk menjadi wali dan saksi bagi Ijah saat dirinya menerima ijab kabul dari Pay di depan penghulu. Pasangan pengantin baru Ijah dan Pay benar-benar "makan cinta" kala itu. Tuan Kadir yang memiliki kekuasaan cukup luas di Surabaya, rupanya menggunakan kekuasaanya untuk meminta kepada beberapa redaktur budaya di beberapa koran lokal untuk tidak memuat tulisna-tulisan Pay. Pun demikian dengan beberapa kafe di sana, Tuan Kadir meminta pengelolanya untuk tidak mempekerjakan Pay. Keinginan Kadir cuma satu, Pay tidak berdaya dan mengembalikan Ijah kepada dirinya. Maka jadilah Pay hanya mengandalkan hasil dari lukisan potret untuk mengasapi dapur keluarga. Diam-diam Ijah menyambangi kolega ayahnya yang bersimpati kepada dirinya agar mau dilukis oleh suaminya. Namun rupanya, upaya Ijah tercium oleh sang ayah yang langsung mengontak koleganya agar mengusir anaknya jika datang ke rumah mereka Di saat semua jalan telah tertutup itulah, Pay mengajak Ijah pindah ke Jakarta. Dengan sisa uang hasil melukis dan hasil patungan kawan-kawan musisi yang prihatin terhadap nasib Pay, mereka pun bisa mengontrak kamar kecil di daerah Kwitang, Jakarta Pusat. Selebihnya, Pay mencari uang lewat mengamen di bus kota serta menulis cerpen untuk beberapa media cetak. Sementara Ijah mulai jualan rujak cingur di depan kontrakannya. Dan Jakarta... rupanya berbaik hati terhadap pasangan ini. Hari demi hari, mereka bisa memperbaiki hidup (bersambung) Catatan: -Kon gak minggat seko kampung kene, matek (kamu nggak pergi dari kampung sini mati!) -Wani-wanine kon pacaran ambek anake juraganku (berani-beraninya pacaran sama anak juraganku)
KEMBALI KE ARTIKEL