Di atas meja, kertas yang belum terisi tergeletak, menunggu, seperti sebuah ruang kosong yang terus mengintai. Di sampingnya, sebuah buku terbuka dengan halaman-halaman yang penuh, namun tak ada tangan yang menghaluskan setiap tulisan atau menghitung angka-angka yang sudah lama menunggu. Sementara itu, selembar kertas lain masih tampak begitu kosong, seakan menantang untuk dipenuhi dengan bentuk, namun tak ada yang menyentuhnya.
Seiring berjalannya waktu, suasana seakan terhenti. Angin luar mulai mendingin, menyisakan keheningan yang semakin pekat. Setiap menit yang berlalu menambah jarak antara yang tertinggal dan yang ingin digapai. Ketegangan itu semakin terasa, seolah waktu yang tak henti bergerak justru menunggu sesuatu untuk terisi, sesuatu yang belum ditemukan.
“Kenapa semua ini terasa begitu berat?” Aruna bergumam, suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri, menyatu dengan suara jam yang terus berdetak. Matanya melirik ke arah kertas yang kosong itu. Seperti ada yang menariknya untuk menggoreskan sesuatu di sana, tapi ia ragu. Di sisi lain, buku yang penuh rumus dan catatan masih tergeletak, menunggu untuk diselesaikan, namun saat ia menatapnya, rasa kebingungannya justru semakin membesar.
Setiap kali tangan Aruna bergerak, seolah ada dua dunia yang saling menarik—satu memanggil untuk menyusun angka dengan rapi, mencari jawaban yang pasti, sementara yang lain mengajak untuk melayang, menciptakan sesuatu yang bebas, penuh warna dan bentuk. Keduanya datang dengan janji yang tak kalah menggoda, namun tak bisa dipenuhi sekaligus.
Di luar jendela, senja semakin gelap, dan suara malam mulai masuk, memberi tekanan lebih pada ruang yang sepi ini. Angin berhembus lebih keras, seakan ikut membawa keraguan yang semakin membesar. Dunia luar sudah bergerak, sedangkan di dalam, hanya ada dua pilihan yang menunggu untuk dijalani.
Setiap malam terasa lebih berat, dan dalam keheningan itu, suara samar dari jauh—sebuah ketukan yang entah berasal dari mana—mengingatkannya akan waktu yang terus bergerak. Tak ada yang tahu seberapa banyak waktu yang tersisa, hanya saja di balik setiap pilihan yang ada, ada hal yang lebih besar menunggu untuk ditemukan. Tapi apakah semua ini akan bisa berjalan seiring, ataukah salah satunya harus ditinggalkan?
Aruna memandangi kertas itu lagi, kini lebih lama. Pensilnya tak lagi hanya tergeletak, tetapi diangkat perlahan, terasa lebih berat dari biasanya. Angin yang masuk melalui celah jendela menyapu permukaan kertas, menggiring selembar catatan yang sempat terjatuh.