Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Selalu Ada Pilihan Untuk Tidak Memilih Dahlan

21 Mei 2014   22:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16 295 1
Tepat 20 Mei 2014 secuil sisa prasangka baik itu habis sudah. Benar benar habis tak bersisa bahkan meninggalkan prasangka buruk, makian dan umpatan. Dengan alasan elektabilitas SBY benar benar tidak mau memperjuangkan Dahlan. Bagi SBY cukuplah Dahlan hanya sebagai menteri tak perlu melompat lebih tinggi lagi karena elektabilitasnya tidak mencukupi.

Memang SBY yang sudah memberikan Dahlan Iskan ruang dan kekuasaan sebagai menteri. Dengan gebrakan gebrakan Dahlan sebagai dirut PLN dan menteri BUMN bukan hanya nama Dahlan yang bersinar, pemerintahan SBY pun ikut pula menuai pujian. Bahkan sempat ada yang mengatakan bahwa satu satunya keputusan terbaik yang diambil SBY adalah mengangkat Dahlan sebagai pejabat negara.

Selama ini Dahlan selalu menghormati dan membanggakan SBY selaku Presiden RI, dan sampai kapanpun akan seperti itu. Dahlan adalah Jawa tulen penganut falsafah mikul dhuwur mendem jero dan penganut prinsip atasan yang baik dulunya adalah bawahan yang baik pula. Dahlan juga sepakat bahwa kebijakan SBY di bidang ekonomi wajib diteruskan tanpa harus belok belok lagi.

Bukan berarti dengan demikian kebijakan Dahlan mengelola BUMN selalu selaras dengan kebijakan SBY mengelola negara. Dahlan Iskan dan Susilo Bambang Yudhoyono adalah dua orang dengan tipikal berbeda meski tujuan keduanya sama mengabdi kepada negara. Dahlan terbiasa berpikir dan bertindak cepat, sedangkan SBY penuh perhitungan bahkan terkesan lamban. Tidak ada yang meragukan kecerdasan berpikir seorang SBY tapi juga tidak sedikit yang mengakui hasil kerja nyata seorang Dahlan Iskan.

Kebijakan kebijakan Dahlan yang populis dan strategis seperti sehari sejuta sambungan listrik, tol laut Bali, dan pembentukan holding BUMN tentu sangat dibanggakan oleh SBY. Setidaknya SBY pernah memuji Dahlan sebagai menteri yang tangkas dan cekatan. Tapi Dahlan tetap lah seorang Dahlan. Baginya membangun negara tidak harus bersandar pada sebuah kebijakan itu populis atau tidak. Disini lah letak perbedaan SBY dengan Dahlan.

Dahlan adalah menteri yang berani mengatakan bahwa kenaikan BBM bersubsidi oleh pemerintah kemarin sudah sangat terlambat, harusnya sudah dilakukan setahun sebelumnya agar defisit keuangan negara tidak semakin besar. Kebijakan Pertamina soal kenaikan elpiji 15 kg yang sudah disetujui Dahlan akhirnya dibatalkan oleh SBY dengan alasan meresahkan masyarakat. Padahal semua orang tahu elpiji 15 kg ini tidak disubsidi negara, bukan konsumsi masyarakat miskin dan usulannya pun sudah diajukan sejak 5 tahun yang lalu.

Demikian pula soal akuisisi BTN oleh Mandiri yang sudah dikaji mendalam oleh tim konsultan luar negeri juga diveto oleh Presiden SBY dengan alasan kerawanan sosial mendekati pemilu. Soal akuisisi ini Dahlan bahkan berniat menghadap SBY sendiri mengingat begitu pentingnya dan strategisnya langkah akuisisi kedua bank BUMN ini. Bila terus ditunda, tidak ada jaminan pemerintahan mendatang akan melanjutkan proses yang sudah diakui banyak pengamat akan memperkuat sektor perbankan nasional itu.

Istilah Dahlan sudah terlalu sering bangsa ini kehilangan momentum untuk berlari mengejar ketertinggalan dari bangsa lainnya.

Meski mengagumi prestasi ekonomi yang dibangun SBY bisa jadi Dahlan sebenarnya juga sudah sangat gregetan pada hal hal yang seharusnya bisa dikerjakan lebih cepat dan bisa diusahakan dengan lebih baik. Mobil listrik nasional, tol laut Jawa dan jaringan tol listrik Sumatera adalah isu isu strategis yang harusnya bisa diputuskan lebih dini tanpa harus terganggu ruwetnya birokrasi.

Mungkin karena SBY adalah juga seorang politikus maka memandang sesuatu tidak harus hitam putih belaka, ada area abu abu diantara keduanya. Sedangkan Dahlan tegas membedakan kalau hitam ya hitam, putih tetap putih. Menentukan hitam atau putih tidak perlu harus berdebat dan rapat berlama lama, cukup menggunakan mata dan akal sehat saja.

Karena itulah saat pengumuman pemenang konvensi nama Dahlan tidak disinggung sama sekali karena SBY rupanya belum yakin sepenuhnya akan kemampuan Dahlan mengelola negara. Bagi SBY mengelola sebuah negara tentu beda dengan memimpin sebuah perusahaan. Bahwa Dahlan punya kelemahan tentu saja ada, bahwa mungkin Dahlan terlalu polos dalam berpolitik bisa jadi benar.

Tapi haruskah menunggu atau berharap hingga Dahlan piawai memainkan lobi lobi politik yang prakteknya sudah sedemikian korup dan kotor. Sampai kiamat pun Dahlan tak akan bisa memainkan peran seperti itu. Bukankah dalam situasi seperti sekarang ini yang dibutuhkan rakyat adalah politisi jujur tapi juga cerdas dan berani mengambil resiko.

Lihatlah tokoh tokoh macam KH. Agus Salim, Muhammad Natsir, dan Bung Hatta. Mereka adalah politikus ternama tapi juga sederhana yang bisa membedakan dengan jelas hitam dan putihnya sebuah masalah tanpa harus kehilangan akal sehat dan harga diri. Terlalu jauh membandingkan seorang Dahlan dengan tokoh tokoh besar diatas, tapi paling tidak SBY harusnya bisa melihat bahwa integritas, kejujuran, kecerdasan serta visi Dahlan membenahi PLN dan BUMN adalah cikal bakal bagi kemajuan bangsa ini.

Membandingkan elektabilitas Dahlan dengan Jokowi atau Prabowo memang cukup jauh. Tinggal SBY sendiri apakah lebih yakin kepada kemampuan dan kapasitas Dahlan sebagai menterinya atau kepada Jokowi yang elektabilitasnya habis habisan ditopang media. Elektabilitas yang rendah masih bisa diusahakan dan diperjuangkan, yang penting ada niat dan kemauan. Bukankah disitu letak essensi sebuah perjuangan bukan soal kalah atau menang.

Dengan hanya selisih satu persen dengan Gerindra sebenarnya Demokrat dan SBY sangat bisa membangun sebuah koalisi. Kasus Fujimori di Peru dan elektabilitas Jokowi di pilgub DKI yang sebelumnya selalu dibawah Fauzi Bowo bukankah bisa dijadikan rujukan. Timbul pertanyaan bagaimana bila kandidat semacam PEW yang menang konvensi, apakah SBY akan berlaku sama memilih pasrah bersikap netral.

Bila sudah seperti ini tentu mudah menuding bahwa konvensi tak lebih hanya sebagai alat agar suara PD tidak terjun bebas terlalu dalam, konvensi hanya sekedar pencitraan belaka tanpa makna apa apa. Konvensi bukan untuk menaikkan suara Demokrat karena sejatinya elektabilitas PD memang cenderung terjun bebas tak bakalan naik ke atas. Antara menaikkan elektabilitas dan menahan laju ambrolnya suara Demokrat adalah dua hal yang berbeda.

Tentu juga gampang menuding adanya kekhawatiran dalam benak SBY bahwa bila jadi Presiden Dahlan akan tutup mata memberangus siapa saja yang tersangkut korupsi termasuk keluarga besarnya bila kelak ada yang jadi tersangka. Bahwa sehormat apapun Dahlan pada SBY tentu Dahlan tidak akan mengorbankan harga dirinya melindungi siapapun termasuk keluarga besar SBY.

Prinsip Dahlan hubungan baik pertemanan dan kekerabatan tak harus dilanjutkan dengan lobi lobi kekuasaan untuk mengelabuhi penegakan hukum itu sendiri.

Semoga saja semua tudingan itu hanya gosip belaka dan bukan fakta. Semoga memang ijtihad politik SBY kali ini benar benar didasari kepentingan bangsa yang lebih besar bukan demi kepentingan dan keselamatan keluarga besarnya. Karena seperti SBY bilang selalu ada pilihan untuk menata masa depan bukan selalu ada pilihan atau alasan untuk menolak Dahlan....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun