Ada peribahasa tentang seekor keledai bodoh yang terperosok di lubang yang sama hingga berkali kali. Entah bagaimana ceritanya hingga muncul peribahasa itu. Si keledai mungkin tidak pernah berpikir bahwa dia atau nenek moyangnya dulu pernah begitu bodohnya sampai bisa terperosok berkali kali di lubang yang sama.
Si keledai mungkin juga bertanya kenapa dia yang dipakai sebagai kiasan, bukan si kerbau (dungu) atau si (otak) udang. Bukankah semua hewan tidak punya “otak”?.
Semua hewan di hutan rasa rasanya pasti punya pengalaman terperosok ke dalam sebuah lubang atau kubangan. Lubang yang menjerat keledai tentu beda dengan lubang yang menjerat gajah, kuda nil atau bahkan manusia. Seorang manusia pun bisa terperosok dalam lubang yang dia buat sendiri bila ia tidak hati hati.
Dengan akal yang dimilikinya manusia pasti berusaha menghindari lubang yang sama yang dulu pernah menjeratnya. Entahlah kalau ia tak lagi memakai otaknya, terus memelihara kebodohannya untuk jatuh dan berkubang dalam lubang yang sama hingga berkali kali. Seperti cerita BBM ( Bahan Bakar Minyak ) kali ini.
Cerita tentang BBM tiap tahun selalu berulang. Tiap tahun selalu ada kegaduhan terutama saat harganya dinaikkan. Entah berapa kali energi dan uang terbuang untuk membeli sekaligus mendemo BBM itu sendiri.
Bahan bakar minyak itu sudah seperti lubang yang menjerat dan memerosokkan bangsa ini berkali kali hingga rasanya akal bangsa ini seperti sudah mati. Tidak ada tindakan radikal dalam level nasional untuk lepas dari jerat BBM yang tiap tahun selalu menghantui. Apakah tidak ada anak bangsa yang cukup waras yang bertekad melepas ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ini.
Bahwa energi itu amat vital, pasti!. Bahwa BBM itu penting, correct!. Tapi bahwa BBM tidak tergantikan, itu adalah pikiran bodoh dan mungkin pula sesat.
Sampai akhirnya muncul Dahlan Iskan, salah satu anak bangsa yang dengan akal sehatnya berusaha melawan ketergantungan BBM ini dengan merintis proyek mobil listrik nasional. Sederhana saja berpikirnya. Bensin dan solar untuk semua mobil, motor dan mesin pabrik itu bisa diganti dengan listrik yang sangat murah dan ramah lingkungan. Lantas kenapa bangsa ini terus larut dalam carut marut BBM yang tak berujung pangkal.
Apakah berpikir sesederhana itu sulit bagi bangsa ini. Apakah bangsa ini memang lebih suka jadi keledai bodoh dalam kubangan BBM yang tiap tahun selalu menjeratnya. Kenapa kita kemudian malah lebih suka menghujat dan mengecam Dahlan yang saat itu hampir mati saat uji coba prototype mobil listriknya. Menteri kok sukanya cari sensasi dan pencitraan kata media.
Akal sehat terkadang memang bisa tenggelam oleh hal hal sepele yang berbau gossip, cacian dan hujatan apalagi bila pelakunya seorang menteri negara.
Langkah yang ditempuh Dahlan memang tidak bisa dinikmati dalam satu atau dua tahun ke depan. Tapi pondasi mobil listrik yang ia tanamkan akan bisa dinikmati kelak oleh anak cucu kita kelak.
Pasti dari jutaan rakyat Indonesia, ada juga yang sudah berpikiran seperti Dahlan. Mengembangkan energi terbarukan seperti panas bumi, listrik dan angin sebagai pengganti bahan bakar fosil. Tetapi tentu yang dibutuhkan adalah palu kekuasaan seorang pejabat negara agar ide ide itu bisa diwujudkan dan dilaksanakan.
Energi listrik, panas bumi, angin, dan arus laut memang mudah diomongkan tapi implementasinya di lapangan tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak faktor mulai dari good will pemerintah, hitung hitungan ekonomi dan birokrasi.
Faktanya mobil listrik Dahlan mandeg sekian lama di kemenristek tanpa ada kejelasan. Investor pun tidak ada yang mau masuk dalam panas bumi bila tidak ada tax ratio dan nilai IRRnya rendah.
Maka bila Jokowi memang benar mengaku bahwa dirinya adalah ”kembaran” Dahlan, kasus kasus seperti ini harus segera dituntaskan. Sampai saat ini kita belum mendengar ”Wow Faktor” dari Presiden soal energi terbarukan ini. Publik dan media baru sebatas menikmati cara jualan presiden yang seperti sales profesional di KTT APEC kemarin. Tidak jelek tapi juga tidak wah banget.
Dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan BBM memang masih jadi isu hangat yang mendominasi. Siapapun presidennya ini fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Dengan lifting minyak nasional yang semakin menurun pemerintah harus segera menemukan revolusi kebijakan sebagai road map atau cetak biru mau kemana energi bangsa ini dikelola. Tetap bersandar pada BBM atau mencari sumber lainnya yang lebih murah dan mudah didapat.
Sulit memang tapi tidak mustahil untuk diwujudkan. Kelak anak cucu kita akan menjadi saksi apakah mereka nanti masih terperosok dalam lubang BBM yang sama yang dulu juga menjerat nenek moyangnya atau mereka sudah berlari kencang dengan mobil listrik warisan kita sekarang.
Bukankah keledai juga tak ingin di sebut bodoh dan terperosok di lubang yang sama hingga berkali kali....