Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Pengendara Motor yang Menggunakan BBM Pertamax

23 Juni 2013   12:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:33 3218 24

Di tengah hiruk-pikuk berita media serta ribut-ribut pro-kontra disusul maraknya demo berbagai kalangan terhadap kenaikan harga premium dan solar, nampak sosok yang satu ini tenang-tenang saja. Penampilannya yang bersahaja, santai, kalem, dan selalu tekun dalam menjalani aktivitas kesehariannya.

Itulah om Herry Sudiyatmo, seorang pekerja swasta yang tak pernah merasakan cemas, resah apalagi gelisah terkait santernya isu > sejak pemerintah berencana menaikkan harga BBM, bahkan hingga diputuskan harga BBM naik (22/6, berlaku pukul 00.00 wib), seorang om yang penampilannya selalu rapi ini nampak enjoy saja.

Om Herry yang saban hari mengendarai sepeda motor kesayangan (Honda Supta-X, keluaran tahun 2006) untuk menunjang kelancaran usahanya, ternyata menyimpan “sesuatu” yang agak lain daripada yang lain. Betapa tidak, sejak dibelinya sepeda motor – tujuh tahun lalu – hanya enam bulan mengisinya dengan BBM jenis premium, setelahnya hingga sekarang beliau selalu setia menggunakan pertamax.

Itu sebabnya, tatkala orang ribut-ribut mempersoalkan kenaikan harga BBM, beliau justru tidak ikutan terpengaruh, lantaran telah diputuskan secara matang bahwa sejak pertengahan tahun 2006 > BBM pertamax merupakan pilihan untuk memenuhi kebutuhan sarana transportasinya.

Saat penulis berkunjung ke rumahnya, di kawasan Celeban Timur, Kelurahan Tahunan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Sabtu (22/6) sore kemarin, ditanya soal mengapa beliau selalu menggunakan BBM pertamax? Dijawabnya santai, bahwa “ini adalah pilihan, menggunakan pertamax bukanlah gengsi, tetapi untuk mengoptimalkan fungsi dan kenyamanan berkendara. Mesin kendaraan terjaga, komponen/sparepart menjadi awet dan tentu tarikannya lebih enteng, tidak banyak berasap disertai bunyi halus pada mesin, membuat nyaman merasakannya.”

Di tambahkan pula, “menggunakan BBM pertamax ternyata lebih ngirit, mas. Ketika saya hendak ke Magelang beberapa waktu lalu, motor diisi full-tank > sesampai di Jogja lagi terbukti hanya berkurang dua strip, berarti per-60 kilometer hanya menghabiskan pertamax sebanyak 1 (satu) liter. Bila dibanding menggunakan BBM premium, justru cenderung boros yaitu berkisar 40 kilimeter per-liter,” tambahnya.

Berkunjung ke tempat om Herry ini lumayan menyenangkan. Di rumah yang boleh dibilang level menengah itu terkesan sejuk dengan aneka tumbuhan, bunga dan pepohonan perdu. Di sisi kiri ada mobil di dalam garasi, namun yang menarik lagi ada pula sepeda onthel Polygon yang sering dipakai untuk wira-wiri kawasan sekitar, atau setiap hari Minggu pagi > menjadikan sarana berolahraga keliling kota.

Berkait topik kenaikan harga BBM, di teras rumahnya sambil berbincang dengan penulis dituturkan, “ngapain orang ribut-ribut sampai demo yang mengganggu/merusak fasilitas publik? Demonstrasi ya silahkan, tapi jangan melanggar ketertiban umum, dong,” ujarnya. Lagi pula, “kalau subsidi dikurangi dan harga BBM naik, itu bisa dipahami, mengingat jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat pesat jumlahnya. Apakah itu semua tidak membutuhkan BBM? Kalau semua disubsidi terus, bisa-bisa bangkrut negara ini.” Demikian kilah om Herry yang ternyata jebolan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.

Di tengah perbincangan yang sedikit menghangat, terkait kompensasi untuk rakyat miskin yaitu penyaluran bantuan langsung sementara (= balsem) berupa uang Rp 150 ribu per-bulan, beliau menanggapinya dengan senyum kecut. “Uang segitu bisa difungsikan untuk apa? Saya pesimis atas efektivitas bantuan tersebut, kurang memanusiakan manusia, hanya menyenangkan beberapa saat, setelah itu miskin lagi,” ucapnya serius.

Mbok iyao, uang bantuan yang jumlahnya mencapai puluhan trilyun itu dimanfaatkan untuk membenahi infrastruktur di lingkungan warga miskin. Mempekerjakan mereka melalui model padatkarya kiranya lebih tepat sebagai upaya pemberdayaan, disusul program-program lain terkait pembenahan kampung-kampung miskin di perkotaan maupun di desa-desa,” tambahnya.

Ditanya soal bagaimana setelah harga BBM naik (per-22/6 lalu), langkah apa yang perlu dilakukan kita ke depan? Om Herry langsung berpendapat, “perlu adanya penghematan energi (BBM) di segala sektor. Lembaga-lembaga publik bisa memulai dan memberikan contoh nyata, misalnya melalui kebijakan internal masing-masing yang harus konsisten dilakukan. Seperti kebijakan kendaraan ber-plat merah wajib menggunakan BBM non-subsidi itu layak dikembangkan ke lembaga-lembaga publik yang lain, termasuk lembaga non pemerintah.

Secara umum, menyinggung masalah penghematan energi ini menurut om Herry memang rada-rada pelik dan rumit. Pasalnya banyak berkaitan dengan sikap berupa kesadaran dalam mengambil keputusan. Dari sisi regulasi, belum ada aturan kuat tentang pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor, sehingga setiap orang berhak memilikinya. Karakter orang kita yang suka ‘membeli gengsi’ akan semakin memperparah pemborosan penggunaan BBM itu sendiri.

Dicontohkan om Herry, untuk menghadiri acara/kegiatan yang tidak begitu penting saja, kenapa mereka harus mengeluarkan/memakai mobil? Bukankah ini merupakan pemborosan? Belum lagi setiap ada kendaraan bermotor produk/model baru, selalu saja ‘diserbu’ untuk dibeli sebagai pemenuhan keinginan? Sementara itu, BBM yang digunakan adalah BBM bersubsidi (premium), rada aneh kan? Lagi –lagi ia menjelaskan.

Nah, kembali pada penggunaan BBM pertamax, om Herry ini memang tetap pada keputusan pilihan “kenyamanan berkendara.” Selama hampir tujuh tahun menggunakan pertamax – telah membuatnya semakin mantap berkendara. “Sejak awal menggunakan pertamax, motor yang menemani saya kerja ini hanya sekali ganti busi, sekali ganti aki, kondisi mesin tetap kering dan bersih, knalpot masih utuh.” Soal harga pertamax biasa(Rp 9.600,-/liter)atau pertamax plus (Rp 10.100,-/liter)yang kadang berfluktuasi, itu semua sudah dipertimbangkan sesuai kemampuan. “Saya memutuskan untuk membeli kenyamanan,” paparnya kepada penulis.

Belajar dari gaya hidup om Herry ini, sesungguhnya ada sesuatu yang bisa dipetik. Walau pun di rumah beliau tersedia/memiliki sarana transportasi (mobil/Honda Jazz, sepeda motor, dan sepeda onthel) – namun penggunaan sarana tersebut selalu didasarkan atas pertimbangan fungsinya. Mobil hanya digunakan manakala memang perlu, sepeda motor paling banyak berfungsi menunjang operasional usaha di bidang biro jasa, sedangkan setiap hari Minggu bersepeda untuk berolahraga.

Dan secara langsung maupun tidak, gaya hidup demikian telah menunjukkan langkah nyata dalam efisiensi penggunaan energi, lagi pula > tanpa harus atau selalu menggantungkan diri pada harga subsidi BBM.

JM (23-6-2013).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun