Hasil riset dan kajian Institut Studi Arus Informasi (ISAI) serta Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan, dua bulan menjelang berlakuknya secara efektif masih banyak badan publik belum siap membuka diri sesuai prinsip dan spirit UU KIP. Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring (9/3/2010), tidak menampik sinyalemen ketidaksiapan badan publik tersebut(www.hukumonline.com). Menyadari hal itu, Tifatul memberi sinyal bagi Komisi Informasi Pusat untuk melakukan sosialisasi selama tahun pertama setelah UU KIP berlaku.
Kini, sampai awal 2011, amatan penulis di beberapa daerah terutama kabupaten/kota di wilayah provinsi DIY, Jawa Tengah, dan Bali masih belum menunjukkan kesiapan Badan Publik, baik Badan Publik Negara maupun Badan Publik selain Negara. Untuk tingkat provinsi, pembentukan Komisi Informasi sudah dimulai. Sementara itu sebagian Badan Publik di beberapa daerah kabupaten/kota mulai atau sedang membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), yaitu sebagai tim yang nantinya bertugas mengelola informasi atau dokumentasi dan mampu menyediakan layanan informasi publik di setiap lembaganya.
Perlu diketahui bahwa tujuan UU KIP yaitu: (1) menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; (2) mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; (3) meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; (4) mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; (5) mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; (6) mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau (7) meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Disahkannya UU ini berarti telah memberikan legalitas asas-asas transparansi birokrasi atau badan publik menyakup hak-hak masyarakat untuk mengontrol dan mengakses informasi tentang kinerja birokrasi atau badan publik serta pejabat-pejabat publik. Otomatis seluruh penyelenggaraan pemerintahan atau badan publik (Badan Publik Negara dan Badan Publik selain Negara) dapat diawasi secara langsung oleh masyarakat, sehingga akan semakin sulit untuk melakukan penyalahgunaan anggaran.
Contoh, dalam soal pengadaan barang di suatu lembaga berdasar UU KIP, publik berhak mengetahui jenis barang apa yang dibeli dan berapa harganya, sehingga akan mempersulit terjadinya mark up terhadap pengadaan barang tersebut. Implikasinya, semua lembaga pelayanan publik memiliki tanggungjawab untuk transparan dan membuka informasi sebesar-besarnya dengan pengecualian hal-hal menyangkut keamanan negara, hak privat dan yang diatur oleh undang-undang.
Dari selintas paparan di atas, kebelumsiapan badan publik dan masyarakat luas melaksanakan UU KIP dapat dilihat beberapa hal yang menjadi sebab-sebabnya. Pertama, kurang optimalnya sosialisasi UU KIP sehingga belum semua penyelenggara badan publik dan warga negara mengetahui, mengerti dan memahami arti penting keterbukaan informasi yang telah dijamin oleh undang-undang. Jika demikian, bisa dipahami mengingat UU KIP merupakan "barang baru" yang secara berkelanjutan perlu dikenalkan dan memerlukan waktu relatif panjang. Secara teknis, kelambanan sosialisasi dapat dimaklumi mengingat luas wilayah Indonesia yang tidak semuanya mudah dijangkau. Sosialisasi sambil berjalan dan bekerjasama dengan media atau saluran komunikasi yang mampu menyentuh khalayak luas perlu dilakukan.
Kedua, terbatasnya sumberdaya manusia (SDM), baik di lingkungan badan publik maupun masyarakat luas sebagai pengguna pelayanan. Keterbatasan kualitas SDM di di lingkungan internal badan publik secara langsung akan berpengaruh terhadap layanan yang akan disampaikan kepada publik. Pembentukan PPID di setiap lembaga atau badan publik akan mengalami kesulitan karena kurangnya kualitas tenaga yang akan direkrut menjadi tim pelayanan informasi publik. Demikian halnya, belum banyaknya masyarakat luas untuk menyadari hak-hak atas informasi publik akan turut memberikan gambaran apakah UU KIP ini dapat berjalan lancar. Kesenjangan akses informasi, terbatasnya fasiltas yang selama ini masih ditemui di sejumlah tempat perlu diminimalisir agar masyarakat luas dapat dengan mudah dan murah memeroleh informasi publik yang diperlukan.
Ketiga, keengganan badan publik untuk buka-bukaan. Political will dalam setiap organisasi atau badan publik banyak diwarnai oleh aspek kepemimpinan. Sikap pimpinan yang "setengah hati" dan belum siap untuk buka-bukaan informasi terutama menyangkut anggaran, sesungguhnya menjadi hambatan dan memberi andil terhadap kebelumsiapan suatu badan publik untuk melaksanakan UU KIP. Padahal, secara yuridis formal, UU KIP sudah sah dan efektif berlaku. Ini artinya, mau tidak mau setiap badan publik harus mampu memberikan layanan informasi kepada masyarakat sesuai ketentuan undang-undang. Betapa pun nantinya telah dipersiapkan pelaksanaan UU KIP dalam berbagai aspek terkait seperti kesiapan kelembagaan, kesiapan infrastruktur, peningkatan sumber daya manusia maupun pendanaan yang memadai - namun apabila aspek kepemimpinan di setiap badan publik kurang mendukung atau belum siap untuk buka-bukaan maka implementasi UU KIP tidak akan berjalan seperti diharapkan.
JM (6-3-2011).