[caption id="" align="alignnone" width="630" caption="UU Hortikultura Masih Jadi Hambatan Investasi "][/caption] Ternyata UU Hortikultura masih menjadi faktor penghambat utama dalam berinvestasi. Pasalnya di dalam salah satu pasalnya yaitu pasar 100 ayat 3 disebutkan bahwa penanaman modal asing dibatasi paling besar 30 %. Ketua Komite Tetap Pengembangan Pasar Pertanian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Karen Tambayong, mengatakan, pasal itu bertentangan dengan kebutuhan investasi perbenihan yang mencapai 70 %. Apalagi modalnya masih sebagian besar didominasi oleh asing. Menurutnya, pembatasan investasi akan berdampak pada banyaknya benih impor dan produk holtikultura segar karena tidak tersedianya benih dan produk segar dalam negeri. "Perusahaan dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan benih dan produk holtikultura saat ini padahal kebutuhan tersebut akan terus meningkat 10-15 persen setiap tahunnya," katanya. Karen menjelaskan implementasi atas UU tersebut juga akan menimbulkan beberapa potensi kerugian seperti 10 juta petani pengguna benih kehilangan akses benih berkualitas, 45 ribu petani produsen benih kehilangan kemitraan, hilangnya transfer teknologi, hilangnya peluang ekspor, dan ribuan karyawan kehilangan pekerjaan. "Sejumlah 70 persen PMA di Indonesia seluruhnya menggunakan jasa karyawan lokal, sehingga UU ini akan berdampak pada meningkatnya angka pengangguran di sektor pertanian," tuturya Berdasarkan data Kadin Indonesia, kebutuhan benih dan produk holtikultura pada tahun 2014 sebanyak 14.000 ton dengan konsumsi sayuran nasional mencapai 40 kilogram per kapita. Tingkat konsumsi tersebut masih jauh di bawah standar yang ditetapkan Food and Agriculture Organization (FAO) yaitu 70 kilogram per kapita/tahun. Sementara itu, Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura Indonesia (Hortindo) mengatakan penerapan UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura telah menurunkan minat investasi asing. “UU Hortikultura memberi dampak langsung pada penurunan minat asing. Kami telah mengamati ini sejak digulirkannya UU itu," kata Ketua Umum Hortindo Afrizal Gindow. Pasal 100 ayat (3) dalam UU Hortikultura menyebutkan perusahaan multinasional hanya boleh menanamkan investasi maksimal 30 persen di usaha hortikultura, termasuk di dalamnya sektor perbenihan. Aturan tersebut berlaku surut terhadap perusahaan perbenihan yang telah menanamkan investasi dan menghasilkan ratusan varietas benih sayuran hibrida berkualitas di Indonesia seperti yang terdapat dalam Pasal 131 ayat (2). “Banyak investor yang berminat di bidang ini tapi mereka terhambat karena divestasi dalam UU Hortikultura ini. Makanya kami minta bantuan Kepala BKPM soal divestasi ini. Kami mohon kemudahan, apakah kiranya perlu menggunakan peraturan pengganti perundangan atau Perppu,” ujarnya. Menurut Afrizal, dengan diberlakukannya UU Hortikultura, maka peluang investasi bisa lari ke negara tetangga. Dalam kondisi seperti itu, Indonesia dipastikan akan mengimpor sayur mayur dalam jumlah fantastis karena belum bisa memenuhi kebutuhan sendiri atas pemberlakuan UU Hortikultura itu. “Dengan pembatasan investasi asing, kita bisa impor dengan negara tetangga karena pasokan sayur mayur segar kita saja saat ini 50 persennya impor,” ucapnya
KEMBALI KE ARTIKEL