Baiklah, bagaimana ya. Saya sedikit kurang menyukai prolog dan epilog naskah ini. Kenapa? Pendapat saya saja, terlalu mendayu-dayu. Memaksa menjadikan sesuatu indah. Sedangkan pada bab-bab berikutnya, bahasa menjadi mengalir wajar. Bab-bab setelah prolog begitu epik dan membuat saya kecanduan membaca hingga epilog. Tanpa pengaruh sentimen pribadi, entah saya akan membaca epilog dengan sedikit bahagia atau tidak. Benar-benar tipe karya sastra 90-an. Kalian tahu, epilognya serasa lebay. Maaf Pak Seno hehe.
Seperti dideskripsikan oleh penulisnya sendiri, karya ini bebas kita intrepretasikan sebagai apapun. Saya sendiri merasa ini adalah novel yang belum pernah diselesaikan oleh penulisnya. Saya sebagai pembaca bertanya-tanya bagaimana konklusi cerita ini? Apakah penulis tidak ingin melanjutkan ceritanya sendiri? Lalu kenapa sudah dimuat saja.
Singkat cerita, naskah ini mengisahkan seorang tokoh, wartawan, yang menyukai musik Jazz dan parfum-parfum. Saya memaknai Parfum ini hanya analogi saja. Tokoh sebenarnya menyukai musik Jazz dan wanita-wanita. Benar. Ia suka mencicipi wanita-bahasa kasar dari saya. Sambil membaca kasus-kasus berisi insiden-insiden (mungkin sebagai bentuk protes kepada Pemerintah), ia menelepon wanita-wanitanya dan mencoba membuka kenangan.Â