Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

“Total Football” Prabowo vs “Catenaccio” Jokowi

12 Juni 2014   13:33 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:06 662 3

Mumpung suasana Pilpres mulai berkembang panas dan menjadi “tidak lucu” lagi pekan ini, ada baiknya lupakan saja dulu politik. Tonton saja bola, yang meski keras pertarungannya, akan tetapi jauh lebih sportif dari politik kita. Ingatlah wahai para capres. Jika kalian terus berkampanye yang membuat ubun-ubun ini menjadi panas, maka perhatianku akan kutumpahkan pada si kulit bundar di lapangan hijau. Mulai Jumat dinihari pukul 03.00 pagi 13 Juni esok: Brasil vs Kroasia...

Ketika kedua capres berikrar damai, menjelang kampanye pilpres pekan lalu, hati ini mula luruh dan sejuk. Semoga kampanye berjalan damai sungguhan, bukan damai di mulut, panas di lapangan, dan panas pula di hati. Rakyat sudah terlalu cape dengan kampanye sumpah serapah, atau agitasi. Cape deh.

Tetapi ketika suasana kampanye mulai meningkat pekan ini, atau malah sengaja ditingkatkan menjadi pertarungan sungguhan? Wah, lebih baik nonton bola saja. Jangan lupa hai, para capres. Sepak bola, bagi kalangan rakyat adalah semacam partai. Sebuah partai yang memiliki pengikut fanatik: mana rakyat yang “die hard” untuk partai Brasil, mana yang “cinte mati” partai Jerman, mana yang “Spanyol gue banget”.

Yang justru mengherankan adalah, bagaimana bangsa dengan jumlah penduduk 253,60 juta jiwa menurut Biro Pusat Statistik, bisa kalah sama bangsa berpenduduk kecil seperti Korea Selatan yang kurang dari 50 juta di Grup H Piala Dunia 2014? Atau lihat Brasil yang memiliki penduduk lebih sedikit dari Indonesia, 202,65 juta penduduk bisa memiliki kesebelasan nasional yang menggetarkan dunia?

Memang terlalu naif dan lugu (lucu dan guoblok, kata Prabowo) jika langsung membandingkan jumlah penduduk dengan prestasi di lapangan sepak bola. Tetapi boleh dong pengen, negeri yang dikenal dengan ribuan kepulauan indah serta garis pantai terpanjang di dunia ini juga memiliki tim sepak bola yang hebat? Bukannya malah digelontor dengan garam impor dan bawang impor, ikan pun impor...

Mosok, Indonesia harus terus berbangga hanya dengan prestasi pemain kelahiran Makassar, Ramang (waktu bertanding di Olimpiade 1956 Melbourne, sudah berumur 32 tahun) dan kawan-kawan? Berbangga terus, lantaran Indonesia yang baru saja merdeka, untuk pertama kali tampil di arena dunia dan mampu menerobos perempat final Olimpiade 1956, sebelum dihentikan Uni Soviet?

Katrok bener bangsaku. Dari sejak saya masih orok (belum tahu sepak bola) sampai beranjak dewasa dan memiliki profesi sekarang ini, mosok terus Ramang yang dibanggakan? Bahwa sampai pertarungan berakhir melawan Lev Yashin dkk dari Uni Soviet, Indonesia berhasil menahan 0-0 tanpa gol di Olimpiade 1956, sebelum akhirnya ditundukkan 4-0 Uni Soviet di partai ulangan dan Ramang, yang bertubuh jauh lebih kecil dari orang-orang Soviet itu ramai dipergunjingkan dunia? Mosok negeri Indonesia yang indah ini, hanya dikenal dengan publik sepak bolanya yang beringas dan suka mengeroyok wasit, serta membakar bangku-bangku stadion?

Sungguh katrok bangsaku. Terus menjadi penonton, dan berbangga pada prestasi sepak bola orang lain. Sampai hampir 70 tahun setelah merdeka, terus ngaplo melihat kehebatan orang lain. Hopo tumon...

Total Football vs Catenaccio

Jangan salahkan pula, hai para capres, jika di masa Piala Dunia ini kami semua melihatmu seperti tim sepak bola yang bertarung. Hanya bedanya, jika di lapangan sepak bola, taktik dan strategi yang berakhir dengan skor kemenangan menjadi penentu, maka di pemilihan presiden hasil akhir kemenangannya ada di tangan rakyat. Mana pemimpin yang berhasil merebut hati rakyat, itulah pemenangnya...

Jika melihat sepak terjang kalian sedari awal kampanye, maka jangan heran jika kami rakyat menggambarkan pasukan kedua capres dan cawapres, dengan tim sepak bola yang memiliki strategi permainan sepak bola sangat kontras: Total Football versus Catenaccio...

Karakter pokok pada strategi Total Football, adalah “pressure”, tekanan. Sehingga tidak heran jika strategi ini juga disebut para pengamat sebagai “pressure football”. Pokoknya harus membuat tim lawan kebat-kebit dan jantungan sepanjang waktu, karena terus diancam dengan tekanan permainan yang tajam, dan sulit dijaga oleh barisan pertahanan lawan. Seperti karakter permainan tim Prabowo-Hatta dkk.

Kehebatan Total Football, sangat jelas terlihat saat dunia waktu itu dibuat terkagum-kagum oleh seorang pemain penyerang tengah yang genius, Johan Cruyff. Kehebatan penyerang agresif Belanda, Johan Cruyff melahirkan sebuah strategi “koalisi” yang kemudian dinamakan Total Football. Dimana seluruh tim bisa mengadaptasi diri, jika sang pemimpin ini berkehendak menjelajah di manapun: di lini depan, di lini tengah atau bahkan di lini belakang sehingga terbebas dari gangguan pertahanan lawan. Yang penting bisa mencetak gol.

Ibarat tokoh partai, maka Johan Cruyff yang jenius itu adalah bintang dari “partai” Ajax Amsterdam. Maka jangan heran, jika ketika Belanda lolos ke Piala Dunia 1974, demi Total Football dan Johan Cruyff, pelatih Rinus Michels pun mengusung sebagian terbesar pemain-pemain Ajax Amsterdam, dan didukung oleh koalisi “partai” Feyenoord, serta "partai-partai" lain yang lebih kecil.

Dunia pun pada 1974 disuguhi tontonan permainan Total Football yang mempesona, dengan kehebatan Johan Cruyff serta Johan Neeskens. Itulah saat Total Football bisa menggetarkan dunia sepak bola, meski bisa dijinakkan Berti Vogts dkk dari Jerman sekalipun.

Jokowi? Barangkali kalau di dunia sepak bola lebih cocok (meski tak tepat benar) ditempatkan pada tim sepak bola yang memakai strategi Catenaccio, alias pertahanan grendel, super bertahan, dan hanya mengandalkan serangan balik dari lini pertahanan bintangnya seperti Scirea, Colovatti, Cabrini , Tardelli.Atau serangan balik skorer hebatnya, Paolo Rossi di Piala Dunia 1982. Meski strategi permainan Catenaccio untuk saat ini bisa dibilang katrok, dan mungkin tidak modis lagi, tetapi bisa efektif memerangkap permainan menyerang lawan. Semakin lu emosi, semakin lu terperangkap Catenaccio.

Memang dunia sepak bola tidak bisa persis menggambarkan pertarungan capres-cawapres kita saat ini.Hanya sekadar mengingatkan, bahwa pekan-pekan mendatang ini perhatian publik Indonesia akan terbelah. Milyaran mata penduduk dunia pun terbelah. Pada musim demam sepak bola, jangan kaget jika rakyat lebih berapi-api melihat sepak bola ketimbang terpaku duduk mendengar pidato-pidato para capres.

Para tim sukses pemenangan capres pun mesti jeli mengatur jadwal kampanyenya, agar tidak terjadi kampanye digelar pada saat pertandingan di Piala Dunia 2014 sedang asyik-asyiknya. Bisa-bisa publik “egepe” mendengar pidato lu. Justru akan lebih diapresiasi, jika lu para capres, jago juga menganalisa permainan sepak bola? Bisa menanjak tuh, elektabilitas ente... *

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun