Kejadian rombongan yang terdiri dari beberapa pengurus FPI 'dilarang' menginjakkan kakinya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada beberapa hari lalu guna meresmikan kepengurusan organisasi itu menimbulkan dua kisah utama, yaitu kisah pihak yang mengalami penolakan oleh masyarakat setempat dan kisah versi masyarakat setempat yang umumnya berlatar-belakang kebudayaan dan suku Dayak.
Kisah yang satu amat membuat kita rasa miris seperti diiris kesedihan karena ditinggal kekasih hati terkasih, mungkin selamanya. Antara lain timbul cerita yang menggambarkan bahwa masyarakat itu amat 'negatif', antara lain bisa disebut sebagai para kafir. Tentu kisah seperti itu amat patut kita sayangkan dan mudah-mudahan tidak terjadi lagi. Suku atau manusia manapun tidak ingin dikisahkan sebagai manusia dan sekelompak masyarakat yang kafir, apalagi jika kafir ini secara amat dangkal dipahami antara lain dalam arti "halal" darahnya. Dalam catatan sejarah muslim, kata kafir sangat membantu manusia untuk makin berbakti pada yang mahakuasa karena diartikan dalam konteks toleransi dan sama sekali tidak ada unsur agama atau kepercayaan tertentu. Termasuk dalam kisah ini adalah dikatakan bahwa masyarakat pemrotes adalah seperti para preman yang mungkin hasil asuhan serta binaan oleh salah satu pejabat publik tertentu. Termasuk dalam kisah pertama ini adalah sebutan atau analisa tak bertuan yang secara amat memprihatinkan mau menyimpulkan bahwa penolakan ala "preman" oleh masyarakat dengan mengacungkan senjata tajam adalah dimaksudkan untuk mengancam dan sejenisnya. Masih dalam kisah pertama ini adalah tuturan dan pemikiran tak bertuan lain yang ingin menjustifikasi bahwa keberadaan FPI di tanah Dayak amat penting dan berguna dalam menyelesaikan masalah agraria.
Sedangkan kisah yang satunya tidak kalah akan membuat kita tertegun, mungkin kaget dan mungkin pula berpotensi positif yaitu melahirkan kesadaran baru bahwa persoalan sekecil apapun harus sesegera mungkin ditangani sebelum memama-biak menjadi kengerian alam bawah sadar. Masalah yang ditumpuk terus adalah bayangan hitam yang dapat membuat pikiran dan hati kalut pribadi dan kelompok, sehingga yang menyembul tinggal luapan emosi tak tertahan. Apalagi ini dalam konteks massa. Dalam kisah yang kedua ini juga termasuk justifikasi yang mau mengatakan bahwa aksi penolakan masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu hanyalah murni aksi spontan. Dan yang tak kalah seru adalah tuturan kisah yang mau mengatakan bahwa mana mungkin dalam negara hukum apabila terdapat masalah agraria di tengah masyarakat harus dilaporkan atau ditangani oleh organisasi yang bukan penegak hukum. Bukankah masyarakat memiliki daya preventif ketika dengan amat baik berhasil merekam dalam alam sadarnya tentang 'track-record' destruktif kelompok-kelompok yang dapat mengacam kenyamana sosio-kulturalnya?