Pandangan kedua pejabat penting itu nampaknya mencerminkan pandangan mayoritas masyarakat di Indonesia, dan secara sepintas tidak terlalu salah. Namun kalau diteliti dengan mendalam, maka akan terlihat inti persoalan yang sebenarnya seperti berikut ini.
Gubernur Ahok mempunyai pendirian bahwa keputusannya untuk menjadi pejabat publik, baik ketika masih sebagai anggota DPRD Belitung, kemudian bupati, anggota DPR, dan sekarang gubernur, tidak ada lain kecuali memberikan yang terbaik bagi negeri ini dengan hidup dari penghasilan yang sah secara aturan, tanpa mau sedikit pun berkompromi untuk "mengambil" sesuatu untuk pribadi atau keluarganya. Itulah pandangan sesungguhnya dari seorang Ahok. Sebenarnya atas pandangannya itu baik JK maupun Chrisnadi, termasuk mungkin sebagian anggota DPRD DKI, tidak berkeberatan.
Lalu di mana letak persoalannya? Persoalannya adalah Ahok merupakan sosok unik di Indonesia karena dia memiliki prinsip hidup yang baik dan dia melaksanakannya dengan teguh dan tulus. Sementara sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk politisinya, tidak memiliki pendirian sedalam dan setulus itu. Bagi mayoritas masyarakat dan politisi Indonesia, prinsip baik itu memang perlu tapi dalam pelaksanaannya masih boleh "bermain" asal tidak terlalu kelihatan dan asal tujuannya untuk kebaikan. Istilah lazimnya dalam masyarakat "harus bermain cantik" kalau mau mendapatkan sesuatu.
Sementara bagi Ahok, ketika sudah memutuskan untuk menjadi pejabat publik, sikap seperti itu sudah tidak boleh lagi. Walaupun tujuannya baik, namun dia sudah tidak mau kompromi lagi. Dalam APBD DKI misalnya, para anggota DPRD itu nampaknya berharap akan mendapatkan uang tambahan dari anggaran DKI yang sangat besar itu. Karena tidak tahu caranya, maka "bermain cantiknya" adalah dengan memberikan peralatan UPS kepada sekolah (walaupun mereka tidak minta) dan harganya dianggarkan sangat tinggi, padahal harga sesungguhnya rendah. Akibatnya para anggota DPRD itu nantinya akan mendapat tambahan penghasilan dari gaji yang sudah mereka terima.
Gubernur Ahok menghitung anggaran seperti itu mencapai Rp. 12 triliun; dan Ahok yang susungguhnya sangat santun dan baik jika tidak menghadapi kejadian yang mempermainkan anggaran, akan langsung berubah "marah besar" jika mengetahui ada orang (baik stafnya maupun anggota DPRD) yang mau mempermainkan anggaran negara, ya jika ada yang mau mempermainkan anggaran! Marahnya Ahok terhadap penyalahgunaan anggaran negara bisa muncul dengan ungkapan "bajingan," " nenek lu," dll. Gubernur DKI sebelumnya, atau politisi Indonesia, belum ada seperti itu!
Sementara bagi mayoritas masyarakat Indonesia, termasuk JK dan Chrisnandi, walaupun menghadapi penyalahgunaan anggaran negara, tidak perlulah marah seperti itu, harus tetap dengan kepala dingin dan dengan komunikasi yang baik. Itulah letak persoalan utamanya.
Mungkin bagi JK dan Chrisnandi, jika anggota DPRD DKI mau mendapatkan "sebagian" dari APBD DKI itu, dibahaslah dengan baik dengan Gubernur Ahok. Namun karena Ahok tidak akan mau membiarkan anggaran itu dinikmati DPRD maupun dirinya, maka sampai kapan pun tidak akan pernah terjadi anggaran negara diberikan kepada anggota DPRD selain penghasilan yang sudah cukup besar itu. Masyarakat Indonesia tidak pernah mempersoalkan puluhan toko Haji Lulung di Tanah Abang dan mobil-mobil mewah Lamborghini dan Ferarinya, padahal seharusnya para politisi perlu bertanya apa yang telah disumbangkan untuk negara ini bukan berapa harta kekayaannya dengan bekerja untuk negara ini.
Ke depan kelihatannya masih akan terjadi masalah antara Gubernur Ahok jika DPRD dan politisi Indonesia tidak berubah. Ibaratnya Ahok adalah Abraham Samad, sementara JK dan Chrisnadi dan mayoritas politisi Indonesia adalah Komjen Budi Gunawan. Walau masyarakat sudah tahu bahwa Budi Gunawan memiliki rekening gendut yang tidak jelas asal usulnya senilai Rp. 57 miliar, namun karena dia berhasil meyakinkan lembaganya sendiri bahwa itu tidak masalah, maka itu dianggap sebagai sikap bijaksana.
Itulah sesungguhnya akar persoalan Gubernur Ahok dan DPRD DKI.