Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Charlie Hebdo: Antara Kebebasan Berpendapat dan Etika

9 Januari 2015   07:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:30 323 5



Serangan terhadap kantor majalah mingguan Perancis Charlie Hebdo tanggal 8 Januari 2015 telah menimbulkan 12 korban tewas, termasuk dua orang polisi dan satu orang di antaranya wanita. Penyerang dengan senjata AK-47 keluar dari kantor tersebut dengan sangat cepat sambil menembak dua polisi bersepeda motor yang melintas di depan mereka lalu masuk ke dalam kendaraannya sambil berteriak keras, “Katakan pada media massa, kami dari Al-qaeda Yaman” (Al-Qaeda Arabian Peninsula).

Majalah mingguan Charlie Hebdo yang mulai beroperasi tahun 1972 itu memang dikenal gemar menerbitkan berita aneh demi melaksanakan prinsip “kebebasan berpendapat.” Sepanjang 2014 majalah tersebut menerbitkan sejumlah karikatur dan kartun yang menyinggung agama lain dan tokoh penting. Charlie Hebdo edisi 3 November 2013 kembali menuai protes karena menerbitkan kartun yang dinilai merendahkan Nabi Muhammad SAW.

Dengan serangan majalah Charlie Hebdodi Paris ini muncul lagi lagu lama apakah kebebasan berpendapat itu tanpa batas atau ada yang membatasi. Jawabannya sebenarnya sudah diketahui bersama yakni kebebasan itu tidak boleh melanggar kebebasan orang lain. Itu merupakan prinsip yang berlaku secara universal. Presiden Perancis Jacues Chirac sendiri mengakui itu dengan mengatakan atas penerbitan kartun yang meresahkan edisi  9 Februari 2006. Dia mengatakan bahwa apa pun yang melukai keyakinan orang lain dalam agama tertentu harus dihindari.

Kebebasan berpendapat juga dibatasi oleh etika. Majalah Charlie Hebdo menyadari bahwa dia tidak perlu mempublikasikan gambar atau karikatur hubungan seksual yang dilakukan secara vulgar atas nama kebebasan berpendapat karena mereka menganggap itu tidak pantas. Secara otomatis setiap individu sesungguhnya memiliki kemampuan menilai apakah tulisan atau karyanya akan menimbulkan masalah bagi orang lain.

Jadi kalau media sudah tahu bahwa isu menyangkut agama atau kepercayaan itu dapat menimbulkan masalah, terutama jika menggambarkan tokoh agamanya dengan nada merendahkan atau menghina, apa pula untungnya itu bagi media tersebut? Kenapá tidak menerbitkan hal-hal lain yang lebih menarik dan tanpa menimbulkan masalah? Adalah keliru menerapkan prinsip kebebasan berpendapat hanya untuk menunjukkan kemampuannya tanpa peduli dampaknya. Kalau itu yang terjadi, maka itu bisa dikategorikan sebagai diktator atau tirani kebebasan berpendapat.

Tentu saja tindakan kekerasan yang dilakukan penyerang majalah Charlie Hebdoitu tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun. Sebaiknya, pihak yang berbeda pendapat pun seharusnya mencari titik temu untuk menyelesaikan perbedaannya. Kekerasan bukanlah cara yang terbaik dalam menyelesaikan perbedaan.

Semoga kita di Indonesia semakin dewasa dalam menyatakan atau mengungkapkan “kebebasan berpendapat” dengan senantiasa menghormati etika dan dampak akibat pelaksanaan prinsip itu. Seperti peribahasa yang sudah lazim kita dengar “Lakukanlah apa yang anda harapkan orang lain lakukan kepada anda, dan jangan melakukan sesuatu yang tidak anda harapkan orang lain lakukan kepada anda.”

Indonesia beruntung karena dalam UUD 1945 telah dijamin kebebasan berpendapat dalam pasal 28 E: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan “kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun